(Flashback)
Di akuarium, suasana dipenuhi oleh warna biru dan suara gemericik air. Makhluk laut yang bereneng di dalam akuarium besar membuat Jian tersenyum kagum. Dia memandangi ikan-ikan yang berenang dengan gerakan halus, sesekali menunjuk satu atau dua hewan favoritnya kepada Dami dan Sangho.
Sangho, yang berdiri di belakang mereka, melihat kebersamaan kedua gadis itu dengan senyum lembut. Setelah beberapa saat, ia melempar pertanyaan santai, namun penuh perhatian, kepada adiknya.
"Dami-ya, kau sudah kepikiran belum mau ambil jurusan dan kampus mana nanti?" tanyanya sambil bersandar di pagar kaca akuarium.
Dami, yang awalnya asyik mendengarkan cerita Jian tentang makhluk laut, menoleh ke arah kakaknya. Ada sedikit keraguan di wajahnya sebelum ia menjawab, "Aku pikir aku bakal ambil kampus yang sama dengan Jian juga. Kami berdua sudah banyak bicarakan soal itu."
Sangho tertawa kecil, mengangguk. "Wah, jadi kau sama Jian bakal sekampus lagi, ya? Kalian tidak bosan?" godanya dengan nada hangat. "Kau sudah yakin jurusannya juga?"
Dami menatap Jian sebentar sebelum kembali menatap Sangho. "Masih ada beberapa pilihan, sih, tapi kemungkinan besar aku akan mengambil jurusan teknologi informasi. Jian akan mengambil jurusan ilmu kelautan."
Jian, yang mendengar namanya disebut, tersenyum dan mengangguk antusias. "Kita berdua sudah banyak diskusi soal ini, Oppa." Suaranya penuh keyakinan, seolah mereka sudah merencanakan semua sejak lama.
Seekor ikan penyu kecil yang baru saja melewati mereka menarik perhatian Jian dari yang tadi sedang bicara dengan Sangho. "Oh lihatlah!! Lucu sekali kan penyu itu!" katanya dengan suara sedikit keras sambil menunjuk penyu yang hampi menghilang itu. "Ayo kita keliling lagi." Jian berbalik dengan mata berbinarnya, menatap Dami dan Sangho yang saling lihat dengan tatapan ambigu.
"Tto?" Sebuah kata yang sangat singkat tapi dapat menafsirkan maksud dari kata-katanya dengan baik.
Jian menyengir tak bersalah pada keduanya.
"Ah tak mau. Kalian berdua saja. Aku sudah lelah keliling dua kali. Sudah banyak foto yang kalian ambil kan."
"Kau yakin, Oppa?" tanya Dami yang sebenarnya sedang mencari bantuan untuk menariknya juga dari samping Jian, karna dirinya juga sudah lelah sebenarnya.
Tapi seakan tidak mengerti sign tersebut, Sangho mengangguk lemah tapi tegas. "Kalian saja."
"Jaaaa. Gajaaaaa," ujar Jian riang sambil menarik Dami pergi dari sana yang sedang memandang ke arah Sangho minta bantuan. "Sampai ketemu nanti, Oppa!"
***
Dua ekor hiu yang sedang tidur di atas pasir yang dikelilingi terumbu karang itu menarik perhatian Jian yang memang menyukai kehidupan di laut. Sehingga ia selalu tertarik dengan hal-hal berbau laut.
Jarinya mengetuk-ngetuk kaca tebal yang memisahkannya dari ikan-ikan tersebut dengan wajah yang gembira. "Dami-ya."
Dami yang sedari tadi hanya berdiri di belakang Jian, menemani temannya itu, merasa terpanggil. "Eo. Wae?"
"Aku tidak menyangka kita bisa bertemean selama ini. Sudah 2 tahun sejak kau pindah sekolah, kan? Sekarang kita sudah mau masuk kuliah."
Perkataan Jian tidak ada salahnya, Dami pun juga tidak menyangka akan hal itu. Berteman sampai 2 tahun lebih dan akan kuliah di kampus yang sama, tidak pernah terpikirkan oleh Dami akan melakukan hal itu dengan temannya. "Aku pun juga tidak menyangka hal itu."
"Uri.. sauji malja. Jeoldaero sauji malja." Kepala Jian tiba-tiba menoleh, menatap Dami dalam dengan wajah seriusnya. "Apalagi ribut karna hal kecil. Jangan, oke?" kata Jian sangat serius sekarang.
Dami terdiam sebentar, sebelum akhirnya tersenyum dan mengangguk. "Jangan sampai kita juga menyukai pria yang sama. Oh, aku bahkan tidak bisa membayangkan hal itu."
"Hei, pria kesukaanmu dan kesukaanku berbeda, tahu."
"Ya ya ya. Aku hanya mengingatkan saja."
***
Tahun terakhir kuliah...
Beberapa hari ini, Dami dan Jian sedang perang dingin. Suasana mencekam dapat dirasakan saat keduanya sedang berpas-pasan. Siapapun yang mengenal keduanya, pasti tahu jika mereka sedang ribut.
Semua bermula ketika Jian mengetahui hal yang mengejutkan tentang pria yang selama tiga bulan terakhir mendekati Dami. Jian memberitahu Dami bahwa pria itu ternyata hanya bertaruh untuk bisa mendapatkan Dami. Tapi, Dami tak percaya dan merasa mustahil pria yang selama ini dekat dengannya bisa melakukan hal seperti itu. Pertengkaran pun tak dapat dihindari, dengan Dami yang bersikeras mempertahankan pandangannya.
Sudah seminggu lewat sejak adu mulut itu terjadi. Sampai sekarang belum ada satu orangpun yang mulai untuk buka suara terlebih dulu. Dan yang menyebalkannya lagi, terlebih untuk Sangho, karna mood Dami jelek, dia juga kena imbasnya.
Dengan usaha keras, Sangho akhirnya berhasil mempertemukan Jian dan Dami untuk berdamai. Sangho sudah tidak kuat menangani mood jelek adiknya yang sedikit mengerjainya itu. Huh... Tidak lagi deh. Tapi seakan memang tidak dikabulkan keinginan Sangho, mereka berdua tidak berbaikan sama sekali. Saat bertemu, Sangho malah harus melihat tatapan membunuh yang saling mereka lemparkan satu sama lain. Tidak ada yagn membuka suara sama sekali.
Sangho hanya bisa duduk diam, menghela napas berat beberapa kali melihat kedua adiknya seperti itu. "Kalian benar-benar akan terus seperti ini?"
Tatapan membunuh itu terus dilemparkan tak henti-hentinya. Suasana dingin di sekitar mereka, selain memang karna ruangan kafe ini juga dingin sih.
Sangho hendak membuka suara lagi, saat perhatian mereka bertemu pria tersebut yang membuat mereka ribut baru saja masuk ke kafe yang sama. Di sana, pria itu tengah berbicara dengan teman-temannya sambil tertawa, "Sebentar lagi aku menang nih. Tinggal sedikit lagi, Dami bakal jadi pacarku."
Merasa kesal karna mendengar itu, Dami tak bisa lagi menahan amarahnya. Ternyata yang dikatakan oleh Jian selama ini benar. Jian yang ikut mendengar itu juga langsung memeriksa perubahan wajah Dami yang langsung menakutkan. Berbeda dengan Sangho yang hanya bisa menutup kembali mulutnya dan menatap kedua perempuan itu bingung.
Tanpa ragu, Dami berjalan ke pria itu, lalu menumpahkan es jeruk ke atas kepala pria itu dengan senyum penuh kemenangan.
"Kau?!" kata pria itu tak senang kepada Dami. Tapi Dami tidak menciut.
Dengan langkah anggun, Dami meninggalkan kafe. Jian yang tertinggal sejenak, menghampiri pria itu dan berkata, "Selamat, Anda silphae. Dami tidak akan pernah jadi pacar Anda." Jian kemudian berlari menyusul Dami. (gagal).
***
Sesampainya di rumah Dami, keduanya langsung menjatuhkan diri ke kasur Dami yang terletak tentu saja di kamar tidur Dami. Jian memandang Dami dengan mata penuh penasaran sambil menyalakan lampu baca. Dami sibuk membuka novel barunya, tampak begitu tenang, seolah kejadian di kafe tadi hanyalah angin lalu. Jian menghela napas panjang, menahan rasa ingin tahunya yang semakin membesar.
"Song Dami," Jian mulai dengan nada lembut, "Aku benar-benar penasaran. Kok kau tidak menangis, sih? Maksudku, setelah kejadian tadi... bukannya kau seharusnya sudah ada rasa sama dia?"
Dami menghentikan sejenak usahanya membalik halaman novel, mengalihkan pandangannya pada Jian dengan alis terangkat, seolah pertanyaan itu tidak masuk akal. "Rasa?" Dia tertawa kecil. "Aku kan tidak sebaper itu. Toh, aku belum sampai tahap suka banget padanya. tertarik iya, tapi belum suka, kok."
Jian menatap temannya tak percaya, mulutnya terbuka lebar. "Serius? Dia sudah mendekatimu selama tiga bulan loh! Kalau aku di posisi kau, mungkin aku sudah nangis di toilet sambil dengerin lagu galau."
Dami tertawa, kali ini lebih keras. "Jeogiyo, Jian-nim, aku kan beda. Lagipula, masih banyak yang suka sama aku. Kenapa aku harus nangis cuma karena satu pria gagal?"
Jian menahan tawa, tapi gagal, dan akhirnya tertawa terbahak-bahak. "Astaga, Dami dan kepercayaan dirinya. Masih banyak yang suka sama kau?" Jian hampir terguling dari sofa, memegang perutnya yang sakit karena tertawa.
Dami tersenyum puas, meletakkan novelnya dan bersandar ke sofa. "Loh iyaloh. Gini, ya, kalau satu orang gagal, masih ada sepuluh lainnya yang menunggu giliran."
Jian tertawa lebih keras lagi, kini air mata mulai menggenang di sudut matanya. "Neo jinjja... entah terlalu percaya diri atau memang... yah, kau benar sih. Neon nae chingu jiman, daedanhae. Tidak semua orang bisa kayak kau." (Kau ini memang temanku sih, tapi kuakui kau keren).
Dami mengangkat bahu dengan santai, "Kenapa harus galau kalau aku bisa memilih? Lagipula, hidup ini terlalu pendek buat nangisin cowok yang jelas-jelas tidak worth it."
Jian masih tertawa kecil, mengusap air mata dari pipinya. "Oke, oke, aku menyerah. Kau menang! Tapi serius, Song Dami, kau harus ngajarin aku cara biar bisa setenang kau pas ngadepin drama kayak gitu."
Dami tersenyum penuh kemenangan, mengangkat novelnya lagi. "Itu gampang. Kuncinya? Jangan terlalu invest ke orang yang tidak penting. Fokus ke diri sendiri, itu lebih menyenangkan."
Jian mendengus geli. "Baiklah, Daedanhan Seonsaengnim. Lain kali, kalau aku galau, aku akan ingat kata-kata emasmu ini." (guru besar).
Mereka tertawa bersama, dan akhirnya suasana kembali tenang. Novel-novel terbuka di pangkuan mereka, tapi obrolan ringan dan tawa yang terus terulang malam itu membuat mereka hampir melupakan cerita yang ada di buku.
(Flashback off)