Dami tak bisa lagi menahan air matanya. Hari itu terasa begitu berat, bukan hanya karena tubuhnya yang masih lelah, tapi juga karena emosi yang ia pendam selama ini. Dia sudah berusaha kuat, menjaga sikap dan tetap profesional di depan Seungjae, namun kali ini ia merasa semuanya terlalu berlebihan. Tidak ada tempat yang aman untuk meluapkan perasaannya kecuali di depan Jian, sahabat yang selalu ada di sisinya.
Di sebuah kafe kecil yang sering mereka datangi, Dami duduk dengan tangan menutupi wajahnya. Tangisannya pelan tapi terdengar jelas oleh Jian, yang duduk di seberangnya. Jian tahu, Dami bukan tipe yang mudah menangis, apalagi di tempat umum seperti ini. Tapi kali ini, Jian bisa melihat betapa berat beban yang Dami tanggung.
"Gwaenchana, Dami-ya. Lepaskan saja," Jian berkata dengan lembut sambil menepuk-nepuk pundak sahabatnya. Ia tidak mencoba menghentikan tangisan Dami, hanya menawarkan kehadiran dan dukungannya. Dami butuh ruang untuk merasakan apa yang ia rasakan, dan Jian tahu betul itu.
"Aku sudah tidak tahan lagi," suara Dami terdengar serak di sela tangisnya. "Aku muak bekerja untuknya. Dia selalu memanfaatkan situasi, mempermainkanku, dan—oh, astaga, Jian, aku bahkan harus kembali ke apartemennya hanya untuk mencari USB yang ternyata ada di kantong celananya! Bayangkan betapa bodohnya aku merasa saat itu."
Jian mendengarkan dengan penuh perhatian, memastikan Dami bisa mengungkapkan semua kekesalannya.
"Dan aku sakit! Tapi tetap saja, aku memaksakan diri untuk datang, karena dia punya pertemuan penting. Aku pikir... aku pikir, dia akan menghargainya. Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Cih."
Dami menghela napas panjang, lalu mengusap air matanya. Jian menyerahkan tisu kepadanya, lalu Dami mengambilnya dan menyeka wajahnya.
"Lalu apa yang kau lakukan sekarang? Kau tidak mungkin terus begini," Jian bertanya, suaranya tenang, tapi penuh perhatian.
"Aku tidak mau bertemu dengannya lagi," Dami berkata tegas. "Pesan, telepon, lihat saja, tidak akan aku jawab. Aku bahkan berpikir untuk berhenti saja. Aku lelah. Aku tidak bisa terus begini."
Jian mengangguk, memahami keputusan sahabatnya. "Kalau memang itu yang terbaik untukmu, aku dukung. Kau sudah cukup bersabar, Dami."
Dami tersenyum kecil, meski matanya masih terlihat merah. Jian selalu tahu bagaimana membuatnya merasa lebih baik, meski hanya dengan kehadiran dan kata-kata sederhana. Dami merasa sedikit lebih ringan, walau perasaan campur aduk itu belum sepenuhnya hilang. Setidaknya, untuk saat ini, dia bisa bernapas lega.
***
Di sisi lain, Seungjae mulai merasa ada yang salah. Sudah tiga hari sejak Dami pergi dari pertemuan itu tanpa sepatah kata, dan selama tiga hari pula, pesan maupun teleponnya tidak pernah dijawab. Biasanya, Dami tidak pernah seperti ini. Dia selalu profesional, bahkan ketika Seungjae bertindak semaunya. Ada sesuatu yang berbeda kali ini, dan itu membuat Seungjae tidak tenang.
Awalnya, ia berpikir bahwa Dami hanya butuh waktu sendiri. Tapi setelah tiga hari, kegelisahannya mulai tumbuh. Ia menyadari ada kemungkinan besar bahwa Dami benar-benar marah padanya. Tapi kenapa? Apakah karena insiden USB? Apakah karena lelucon-lelucon kecil yang biasa ia lakukan?
Seungjae duduk di sofanya dengan ekspresi termenung. Ia tidak pernah benar-benar berpikir bahwa tindakannya akan membuat Dami semarah ini. Tapi semakin lama ia berpikir, semakin ia merasa bahwa mungkin ia sudah terlalu berlebihan. Mungkin, Dami benar-benar terluka.
Ponselnya kembali diam, tanpa balasan dari Dami. Akhirnya, Seungjae memutuskan untuk bertindak. Ia menelepon Sangho, adik Dami, yang mungkin bisa memberinya jawaban.
"Sangho hyung, aku butuh bantuanmu," Seungjae berkata setelah sambungan tersambung.
"Ada apa?" Sangho bertanya dengan nada hati-hati.
"Kau tahu di mana Dami tinggal? Aku... aku ingin bicara dengannya. Aku rasa aku sudah membuat kesalahan."
Sangho terdiam sejenak, lalu menghela napas. "Kau berbuat apa memang? Kau melakukan ospek lagi ya?"
"Bagaimana kau tahu?"
Terdengar helaan napas di ujung telepon sana sebelum Sangho melanjutkan kata-katanya. "Karna aku juga pernah melewatinya. Orang tidak tahu alasanmu melakukan itu. Jadi sepertinya kau bisa melupakan untuk melakukan itu pada orang lain, Lim Seungjae-ssi."
Seungjae jadi merasa bersalah sekarang setelah mendengar kata-kata Sangho. Dia tidak menjawab apapun melainkan hanya diam. Setelah beberapa detik hening, Sangho akhirnya memberikan alamat Dami. Seungjae merasa lega, namun rasa bersalah tetap menghantui pikirannya. Ia tidak tahu apakah Dami mau mendengarkannya atau bahkan bertemu dengannya, tapi setidaknya, ia akan mencoba.
***
Hari itu, Seungjae memutuskan untuk pergi ke tempat tinggal Dami. Di sepanjang perjalanan, pikirannya dipenuhi oleh berbagai skenario tentang apa yang akan terjadi. Apakah Dami akan marah? Apakah dia akan memaafkannya? Seungjae bukanlah tipe orang yang mudah meminta maaf, tapi kali ini, ia merasa bahwa tidak ada pilihan lain. Dami layak mendapatkan permintaan maaf.
Begitu sampai di depan rumah Dami, Seungjae berdiri sejenak, ragu-ragu. Tangannya terangkat untuk mengetuk pintu, namun ia menariknya kembali. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya. Setelah beberapa detik, ia akhirnya mengetuk pintu dengan lembut.
Pintu terbuka tak lama kemudian. Dami muncul di ambang pintu, dengan ponsel di tangan, sepertinya sedang berbicara dengan seseorang. Ketika melihat Seungjae berdiri di depannya, ekspresi Dami berubah seketika. Ia segera mematikan panggilan teleponnya dan menatap Seungjae dengan ekspresi yang sulit dibaca.
Seungjae berdiri canggung di sana, sementara Dami tidak mengatakan sepatah kata pun. Hanya ada keheningan yang terasa begitu berat di antara mereka.
"Kita... bisa bicara sebentar?" Seungjae akhirnya membuka mulut, suaranya rendah dan penuh kehati-hatian.
Dami diam saja, tidak memberikan senyum atau isyarat hangat seperti biasanya. Ia hanya berdiri diam di pintu, tak memberikan Seungjae akses untuk masuk ke dalam rumahnya. Suasana seakan sedikit mencekam diantara mereka berdua.
"Kau tak mau bicara apa-apa? Kalau begitu, pergilah." Pintu hendak ditutup di hadapan wajah Seungjae, saat lelaki itu sadar dan menahan pintu itu sebelum ditutup.
"Aku... aku tahu kau marah padaku," kata Seungjae pelan. "Dan aku mengerti. Aku mungkin sudah keterlaluan. Aku tidak tahu bahwa tindakanku membuatmu merasa seperti ini."
Dami menatapnya dengan tatapan dingin, tidak berkata apa-apa.
"Pulanglah. Aku sedang tidak mau bicara denganmu."
"Bisakah kau memberiku sepuluh menit?"
Kepala Dami penuh dengan dua jawaban pasti yang menghasilkan hasil berbeda. Iya atau tidak. Tapi Dami memilih untuk memberikan lelaki di depanya ini sebuah kesempatan, jadi Dami mengangguk.
"Ku tunggu di kafe depan sana ya."