Marrinette bekerja di kafe sedangkan Alya di restorant.
Suatu ketika, kafe tempat Marrinette bekerja kedatangan tiga pembeli berandalan. Namanya Fadli, Alex dan Rian.
"Heh! Pelayan," panggil Fadli. Kakinya disilangkan menunjukkan betapa songongnya dia.
Marrinette mendekat. "Ada apa?"
"Ada apa ada apa. Lo pikir kita ke kafe ngapain? Berenang?"
Kedua teman Fadli tertawa.
Marrinette menghela nafas. "Maksud saya, mau pesan apa?"
"Biasa."
"Maaf, saya tidak tau Anda biasanya memesan apa?"
"Ooh, pelayan baru ya. Cari tau sendiri lah. Udah pergi sana. Muak liat muka lo."
Huuh, sabar Marrinette, sabaar.
Marrinette berbalik, salah satu temannya memberitahu minuman yang diminta pria itu.
"Iced tiramisu latte."
Marrinette mengangguk, ia lalu pergi ke dapur sesudah mendengar teriakan Fadli.
"Lima menit. Telat satu detik saja gue nggak akan bayar!"
Marrinette mendengus.
Lima menit? Bagaimana mungkin ia dapat membuatnya dalam waktu secepat itu? Sedangkan statusnya masih anggota baru. Bahan-bahannya saja ia tidak begitu tau.
Ditengah kebingungan itu, Ella pelayan lain masuk ke dapur.
"Kau membuatkan Iced Tiramisu Latte untuk orang itu ya?"
"Darimana kau tau?"
"Dulu aku pernah berada diposisimu. Baru menjadi karyawan tapi sudah dihadapkan oleh makhluk macam dia. Dari dulu minuman favoritnya hanya itu. Tapi waktunya cuma diberi lima menit. Dan dia berlaku semena-mena terhadap semua pelayan disini-."
Marrinette cepat memotong.
"Berhenti bercerita. Aku butuh bantuan. Apa saja bahan-bahannya?"
Ella membantunya, namun mulutnya tak berhenti bercerita.
"Dia adalah anak Tuan Takur yang terkenal dan kaya raya. Karena itu ia sangat sombong. Ayahnya ditakuti oleh berbagai kalangan, termasuk Pak Danu, bos kita. Itulah mengapa dia bisa bersikap semena-mena disini."
Marrinette memperhatikan Ella yang dengan cekatannya meracik minuman.
"Kau harus berhati-hati dengannya. Jangan sampai kau bermasalah. Dia orangnya berbahaya, nekad, dan tak tau belas kasih.
Minuman selesai dibuatkan, Marrinette langsung membawanya. Ia agak terburu-buru, mengingat yang dia layani bukan manusia, melainkan iblis. Dalam hati ia sumpahi bajingan itu.
Tanpa sadar, roknya tersangkut di gagang pintu, hampir saja minuman yang dipegangnya tumpah.
Uuh! Gerutunya.
"Hati-hati Marrinette." Ella memperingati.
Marrinette menoleh, sekedar mengangguk lalu pergi ke tempat dimana Fadli dan genknya duduk.
"Nih, minumannya," kata Marrinnette seraya meletakkan minuman di depan Fadli lalu berbalik. Males menghadapi orang seperti itu.
"Heh!"
Marrinette berhenti.
"Kau telat satu detik."
Marrinette mendengus. "Cuma telat satu detik saja dipermasalahkan? Memangnya kau pikir aku ini apa? Seenaknya saja semena-mena."
Semua mata tertuju pada mereka. Ada yang mengagumi keberanian Marrinette. Namun ada juga yang kasihan, tapi mereka tak bisa berbuat apa-apa. Sebab mereka tau siapa Fadli.
"Heh! Gue kan udah bilang telat satu detik saja maka gue nggak akan bayar!"
"Gampang sekali kau berbicara seperti itu. Coba kau bikin sendiri bisa nggak!"
Fadli terdiam. Ya, Marrinette benar, dia cuma bisa memerintah, dan belum tentu dapat melakukannya sendiri. Namun, keangkuhan membutakan matanya.
"Heh! Lo nggak tau berhadapan dengan siapa hah!"
Dibalik pintu dapur, Ella yang sedari tadi mengintip menggigit jari. Duuh, Marrineet, kenapa mesti dilawan.
"Buat apa aku harus mengenalmu? Tidak penting!"
Fadli naik pitam. Ia membanting gelasnya di depan Marrinette.
"Pasukan!"
"Yap!"
"Hancurkan isi kafe ini! Perempuan ini ingin tau siapa kita!"
Mereka langsung membanting meja dan kursi kafe, memecahkan gelas-gelas para tamu. Terdengar teriakan-teriakan ketakutan dari perempuan pengunjung dan pelayan kafe. Tapi sekali lagi, mereka tak bisa melawan.
"Hei, hentikan! Apa salah mereka!"
"Apa!" seru Fadli seraya mendorong Marrinette hingga terjatuh.
Marrinette emosi. Ia bangkit, menatap pria di depannya dengan tajam. Sepertinya orang ini harus diberi pelajaran. Ia akan membuat muka pria itu kepanasan dengan kekuatannya. Menarik nafas, lalu mengarahkan tangannya kemuka Fadli, beserta suara erangannya.
"KYAAAA!"
Sesaat, Marrinette kebingungan sendiri. Apa? Kekuatannya, tidak beraksi? Marrinette menatap tangannya dengan heran, ada apa ini?
Fadli yang melihat tingkah aneh Marrinette, tertawa terbahak-bahak.
"Lo ngapain heh? Main sihir-sihiran, heh? HAHAHA."
Marrinette terdiam.
"Hey, lihat. Orang ini terobsesi dengan film sihir. Sampai dia ingin menjadi penyihir tapi gagal. BWAHAHAHA! "
Alex dan Rian tertawa keras.
Marrinette benar-benar malu sekaligus sedih mengingat nasibnya. Apa yang terjadi? Mengapa kekuatannya tidak berfungsi?
"Dasar payah!" hina Fadli.
Lalu ia dengan kedua temannya pergi meninggalkan kafe itu sambil tertawa puas.
"Aku baru pertamakali melihat manusia bodoh seperti kamu," kata Helen yang sedari tadi memperhatikan tingkahnya.
"Apa maksudmu?!" sahut Marrinette tambah kesal.
Helen tak menyahut. Ia mengambil tasnya lalu pergi.
Marrinette mengejarnya.
"Hei berhenti! Apa maksudmu mengolok-olokku?"
Helen menoleh, tersenyum. Kemudian menyelinap di balik tanaman pagar. Marrinette menyusulnya, namun ia tak melihat wujudnya lagi.
"Aneh sekali, baru tau ada manusia yang bisa hilang dalam sekejap," pikirnya bingung.
Dering hp mengalihkan pikirannya. Marrinette mengangkatnya dan kemudian terkejut membuat hapenya nyaris terjatuh. Suara itu kencang sekali.
"Marineeeeeeeet! Keruangan saya sekarang!"
"Baik, Pak," sahutnya cepat.
Ia berlari menemui bosnya.
Di ruangannya, Pak Danu meluapkan emosinya.
"Liat semua ulahmu! Kafe saya hancur berantakan!"
"Bukan salah saya Pak." Marrinnette membantah.
"Bukan salah kamu? Jelas-jelas ini memang salah kamu!"
"Dia yang datang membuat kekacauan, menyuruh saya membuat minuman hanya dalam lima menit. Dan saya telat satu detik lalu dia marah-marah. Mana ada orang yang mau diperlakukan semena-mena seperti itu."
"Apa salahnya kau diam saja? Andai kau tidak melawan, kafe ini takkan hancur!"
"Bagaimana mungkin saya bisa diam sedangkan harga diri saya terinjak-injak."
"Kau tau dia anak siapa? Dia anak Darlius, seorang Tuan Takur, keluarga terhormat, terkuat, dan ditakuti. Masa depan kafe saya berada ditangannya."
"Lalu apakah dengan kekuasaan Bapak membutakan kebenaran dan membela kesalahan?"
"Lancang sekali kau bicara seperti itu! Kau dipecat!"
Marrinette menelan ludah. Ia sudah paham bahwa itulah konsekuensinya.
“Kembalikan hape yang pernah saya pinjamkan padamu!”
Marrinette merogoh sakunya, mengembalikan barang milik bosnya.
"Sekarang kamu pergi dan jangan pernah menampakkan wajahmu disini lagi!"
Marrinette keluar dari ruangan itu, bertemu dengan Ella yang sedari tadi mengintip dari balik tembok.
"Marrinette, kau dipecat?"
"Itu lebih baik daripada aku harus bekerja dengan bos penjilat itu."
"Lalu, habis ini kemana?"
"Bukan urusanmu."
Marrinette melangkah dengan lesu. Semua pelayan di kafe memperhatikannya, mereka semua sudah paham apa yang terjadi. Ada tatapan kasihan, namun sekali lagi, mereka tak bisa berbuat apa-apa.
Marrinette pergi ke restorant tempat kakaknya bekerja.
Melihat ada perempuan yang celingukan dibalik pintu kaca, Halim yang sedang melayani tamu berhenti. Wajah cantik Marrinette menarik perhatiannya. Setelah meletakkan pesanan pembeli, ia menemui cewek itu.
"Maaf, nyari siapa ya?"
"Nyari kakak saya."
"Emang kakak mbak namanya siapa?"
"Alya."
"Oh, adiknya Alya. Sebentar saya panggilkan."
Sesaat datanglah Alya.
"Kamu ngapain disini? Nggak kerja?"
Marrinette menceritakan kronologinya, saat tengah mengobrol, Helen datang.
"Alya, bicara sama siapa?"
"Kau, kau yang tadi mengolok-olokku! Apa maksudmu hah?!" celetuk Marrinette emosi.
"Marrinette, jaga bicaramu. Dia pemilik restoran ini," bisik Alya.
"Hah?"
"Hai, aku Helen, pemilik restoran ini. Namamu siapa?" Dengan ramah Helen mengulurkan tangan.
Marrinette membalas dengan ragu-ragu. "Mmarrinette."
"Barusan aku dengar, kau dipecat?"
Marrinette diam.
"Kebetulan restoran ini membutuhkan satu orang pelayan lagi. Apa kau mau bekerja disini?"
"Persyaratannya?"
"Tidak ada. Cukup berperilaku baik."
Alya berbisik pada Marrinette. "Terima saja. Lagipula, kau mau kerja dimana lagi. Ditempat lain mereka meminta persyaratan-persyaratan rumit. Sedangkan, kita kabur dari Antlantis tidak membawa apapun dan kita tidak mempunyai surat-surat seperti manusia."
Marrinette menoleh pada Helen. "Baiklah, saya mau."
"Baik. Besok kamu sudah bisa masuk kerja." Helen meninggalkan mereka berdua.
"Jadi..., kamu mau pulang atau...."
“Aku menunggu kamu saja boleh? Perutku lapar,” potong Marrinette cepat.
"Boleh. Duduk disini saja." Alya memilihkan tempat duduk untuknya. Lalu ia pergi kebelakang, membuatkan makanan dan minuman untuk Marrinette.
Halim yang sedari tadi memperhatikan Marrinette diam-diam, melangkah dan duduk dihadapannya.
"Boleh kenalan?" tanya Halim berbasa-basi.
"Boleh?"
"Namamu siapa?"
"Marrinette."
"Rumahmu dimana?”
"Diatas bumi."
Halim tergelak.
"Kenapa tertawa? Memangnya ada orang yang membangun rumah di udara?"
"Maksudku, alamatnya dimana?"
"Buat apa?"
"Buat mengenalmu lebih jauh."
"Marrinette besok masuk kerja disini. Jadi kamu bisa bertanya banyak hal tentang dia."
Alya muncul dibelakang membawakan makanan untuk Marrinette.
"Tapi sekarang, kamu jangan ganggu dia dulu. Karna dia lagi lapar dan belum makan dari tadi. Sebaiknya kamu kerja dulu sana. Banyak pengunjung yang menunggu."
"Seriusan kamu kerja disini Marrinette?"
"Iya." Marrinette mengangguk.
Halim tersenyum. Dalam hati ia tak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Dengan perasaan bahagia ia melayani pengunjung restoran.
***
Sepulang kerja
"Alya, aku tak menyangka kekuatanku bisa hilang." Marrinette berkata dengan nada murung.
"Hilang bagaimana?"
"Ya hilang, tidak berfungsi. Tadi aku melawan tiga orang bajingan di kafe tapi tanganku tidak mengeluarkan apa-apa."
"Apa iya? Mungkin kamunya yang kurang fokus."
Di dekat air mancur, Marrinette meminta Alya berhenti.
"Coba liat sendiri."
Marrinette memfokuskan pandangannya pada air mancur, mengarahkan tangannya, dengan sekuat hati, ia berusaha mengeluarkan tenaga dalamnya, untuk membuat air itu mendidih. Namun tidak ada hasilnya.
"Lihat sendiri kan? Dulu aku melakukan dengan mudahnya. Kali ini tidak bisa. Sekarang giliranmu."
Alya mengangguk, melakukan hal yang sama seperti Marrinette, tapi tujuannya adalah untuk membekukan air itu. Alhasil, sia-sia.
"Bagaimana bisa?" Alya Frustasi.
"Itulah yang kupikirkan," sahut Marrinette.
"Apa jangan-jangan, karena kita berada di dunia manusia? Makanya kita tak mempunyai kekuatan."
Marrinette mengangkat bahunya.
"Mungkin lain kali bisa kita coba di dalam air," usul Marrinette.
"Sudahlah, ayo pulang. Aku ingin cepat-cepat istirahat." Marrinette menarik tangan kakaknya agar berjalan lebih cepat.
Tanpa mereka sadari, dari tadi Helen mengikuti mereka, mengintip dari kejauhan, memperhatikan mereka.
Entah mengapa, aku selalu merasa ada hal yang aneh dari mereka. Batinnya berkata.
Dua hari kemudian.
Helen mengikuti mereka sampai rumah, tapi kali ini ia menggunakan penutup kepala.
"Nek, sebaiknya Nenek tidur lebih cepat hari ini. Karena keliatannya Nenek lelah sekali," kata Alya.
"Nanti saja, Nenek belum ngantuk," sahut Siti.
"Sudahlah Nek, istirahat saja. Bukannya besok Nenek harus berjualan ikan asin ke pasar? Nenek harus istirahat cepat. Biar tenaganya pulih siang hari." kata Marrinette.
"Biar Nenek cepat istirahat, kita pijitin ya," kata Alya yang mulai memijitnya.
Setelah Siti terlelap karena pijatan Alya dan Marrinette, mereka turun dari dipan dengan hati-hati, pelan-pelan keluar dari kamar itu, agar tak diketahui oleh Siti.
Mereka kemudian pergi ke arah dapur, kekamar mandi yang ada di belakang gubuk. Kemudian menyirami tubuh masing-masing, dengan air di baskom yang sudah mereka timba sebelumnya.
Tak lama, kaki mereka berubah menjadi ekor. Lalu mereka bersiap mengumpulkan tenaga dalam, untuk mengeluarkan kekuatan mereka. Namun sia-sia.
Tanpa mereka sadari, Helen mengintip, memperhatikan dari celah-celah. Dan ia terkejut saat melihat ekor duyung.
Sementara Alya dan Marrinette tidak menyerah, mereka melakukan sekali lagi. Hingga tiga kali percobaan, tetap gagal. Ditengah percobaan itu, Marrinette melihat ada yang mengintip.
"Alya, ada yang mengintip," bisik Marrinette.
Alya menghentikan kegiatannya.
Sadar dirinya ketauan, Helen pergi meninggalkan tempat itu dengan tergesa-gesa.
Marrinette yang lebih dulu berevolusi menjadi manusia, mengejar orang berpenutup kepala itu.
"Hei! Berhenti!"
Gegas Helen berlari. Marrinette terus mengejarnya. Di cahaya yang remang-remang, Marrinette kehilangan jejaknya.
"Huh," Helen bersandar kepayahan di batang pohon yang besar. Ternyata benar dugaannya, anak-anak itu, seekor duyung.
Sebelum semuanya terlambat, ia harus mendapatkan mereka. Mereka adalah aset berharga baginya. Jangan sampai lepas ke tangan orang lain.
"Bagaimana Marrinette, kau menemukannya?" tanya Alya yang melihat Marrinette sudah kembali dengan terengah-engah.
"Gagal!"
Alya mengeluh dalam, kuatir.
"Gawat, bagaimana kalau ada yang tau kita adalah duyung, ini bisa bahaya."
"Tidak, tidak akan," sahut Alya.
"Darimana kau tau?"
"Dia hanya melihat kita dari sumur. Sedangkan sumur itu terpisah dari gubuk dan siapapun bisa memasukinya. Nanti kalau ada orang yang datang memaksa kita mengaku, kita berlagak tidak tau saja. Bersikap seolah-olah itu bukan kita dan bisa saja orang lain."
Marrinette mengangguk. Untuk sementara ia mempercayai saran kakaknya. Ingat, hanya sementara.