Suatu hari---mungkin itu sekitar tahun ketiga aku tinggal bersama Nona Rambut Ikal---saat kami sedang jalan-jalan di Minggu sore, secara tidak sengaja kami berjumpa dengan teman lama dari Nona Rambut Ikal. Dia adalah perempuan yang cantik, sama seperti Nona Rambut Ikal. Aku memanggilnya Nona Pita Merah, sebab dia selalu menggunakan hiasan pita merah di rambutnya yang panjang.
Tetapi, bukan dia yang ingin aku ceritakan saat ini. Yang akan aku ceritakan adalah anjing yang dibawa Nona Pita Merah.
Anjing itu bernama Olly dan dia berasal dari ras yang sama denganku---pomeranian. Bulunya putih, tetapi sebelah wajahnya hingga telinganya justru berwarna cokelat cenderung ke oranye sebenarnya. Dia lebih muda dariku, usianya baru dua tahun sementara aku pada waktu itu sudah berusia tujuh tahun.
Saat pertama kali melihat Olly, dia mengingatkanku pada saudara lelakiku. Saudaraku juga memiliki warna bulu yang hampir sama dengan anjing itu. Hanya saja, saudaraku memiliki warna bulu cokelat di wajah kanannya, sementara dia di sebelah kirinya.
Kedua pemilik kami memutuskan singgah sejenak di sebuah café untuk mengobrol dan melepas rindu. Kalau tidak salah, mereka sudah berpisah selama hampir tujuhbelas tahun tanpa ada komunikasi sama sekali. Sementara kedua pemilik kami saling melepas rindu, aku dan Olly saling berkenalan.
Ketika dia mengetahui namaku, dia berkomentar, “Wah kita memiliki nama yang mirip. Aku Olly dan kau Molly. Untung saja pemilikmu menambahkan huruf M di bagian depan namamu. Jika tidak, kita akan memiliki nama yang sama.” Dia lalu terkekeh.
“Ya kau benar. Jika kita memiliki nama yang sama, saat mereka memanggil nama kita, pasti kita akan menoleh,” ucapku yang disetujui olehnya. “Omong-omong, kau memiliki warna bulu yang sama dengan salah satu saudaraku.”
Aku memutuskan untuk menceritakan kemiripan Olly dengan saudara lelakiku itu.
“Benarkah?” Olly terlihat tertarik dengan topik pembicaraan yang aku buka. Dia bahkan sampai mendekatiku. “Ayahku juga memiliki warna bulu yang sama sepertiku. Apa jangan-jangan ayahku adalah saudaramu, Molly?”
Aku sedikit berharap jika Olly adalah anak dari saudaraku itu setelah dia membahas warna bulu dari ayahnya. “Apakah ayahmu memiliki warna bulu cokelat di wajah kanannya?”
“Ya! Dia memiliki warna bulu cokelat di wajah kanannya,” jawabnya bersemangat. “Tidak hanya itu saja, ayahku memiliki ekor pendek. Sehingga dia selalu dipanggil Si Ekor Pendek.”
Aku sungguh senang dan semakin berharap saat mendengar ciri-ciri ayah Olly yang sangatlah mirip dengan saudaraku. Aku lalu bertanya, “Apakah ayahmu dulu sempat tinggal di tempat penampungan hewan?” Aku ingin memastikan lebih jauh.
“Oh? Bagaimana kau bisa tahu hal itu?” Olly terkejut saat aku bertanya seperti itu. Dari sorot matanya waktu itu, aku bisa menebak jika dia pasti berpikir bahwa aku seorang peramal.
“Ayahku dulu memang tinggal di sana. Menurut ceritanya dia adalah anak ke lima dari enam bersaudara. Dia dan saudara-saudaranya lahir dan besar di tempat itu, sebab nenekku yang dibuang pemilik lamanya berhasil ditemukan oleh pemilik penampungan,” jelas Olly.
Aku tidak bisa berkata-kata lagi setelah mendengar jawaban tersebut, jadi saat itu aku menghampiri Olly dan mencium---ah bukan, tetapi menjilati bulunya---dengan penuh kasih sayang, seperti yang pernah ibuku lakukan padaku dan pada saudara-saudaraku yang lain.
“Lihat, sepertinya Molly menyukai Olly,” ucap Nona Pita Merah saat melihatku menjilat bulu Olly.
“Kau benar sekali. Mereka akrab dengan cepat,” setuju Nona Rambut Ikal.
“Kenapa kau menjilatiku? Apakah aku kotor?”
“Tidak, kau tidak kotor, Olly,” jawabku. “Aku menjilatimu karena kau adalah keponakanku. Ayahmu adalah saudaraku.”
Aku bisa melihat raut wajah terkejut pada Olly saat mendengar fakta yang baru aku ucapkan. Lalu tidak lama kemudian dia terlihat gembira.
“Jadi kau adalah bibiku?” tanyanya yang kujawab dengan anggukkan kepala. “Wah ini luar biasa! Aku sangat senang bertemu dengan saudara ayahku! Aku akan memberitahu ayah tentang pertemuan ini nanti. Dia pasti akan senang mendengarnya.”
“Aku juga senang bisa bertemu dengan keturunan dari salah satu saudaraku,” ucapku.
“Omong-omong, apa kau lahir di hari yang sama dengan ayahku?”
“Ya, kami lahir di hari yang sama. Kenapa?”
“Ah itu, aku hanya penasaran saja kenapa warna bulu kalian bisa berbeda. Kau berbulu cokelat semua, sedangkan ayahku hanya mendapatkan di sebagian wajahnya saja.”
Aku tertawa mendengar ucapan yang disampaikan Olly. Pertanyaan itu sering aku dengar saat di penampungan. Anjing-anjing yang baru datang selalu bertanya, kenapa kami memiliki warna bulu yang berbeda padahal bersaudara.
“Kalau kata pemilik penampungan, tinta cokelat yang seharusnya disalurkan pada enam bersaudara itu habis. Jadi, ayahmu hanya mendapatkan warna cokelat di sebelah wajahnya saja. Bahkan adik ayahmu justru tidak mendapatkan warna cokelatnya, dia berbulu putih sepenuhnya dan itu membuat pengurus dan pemilik penampungan kebingungan.”
“Ah begitu rupanya.” Olly mengangguk karena percaya dengan apa yang baru saja aku sampaikan. “Kalian kehabisan tinta.”
Aku tertawa kembali. “Olly kau sungguh polos karena percaya dengan ucapanku.”
“Oh? Jadi itu tidak benar?” Dia mendekatkan diri padaku dan memberikan tatapan yang penuh keingintahuan.
“Tentu saja tidak.”
“Lalu, yang benar apa?”
“Ya mungkin saja ayah kami, yaitu kakekmu memiliki warna bulu bukan cokelat sepenuhnya, karena itulah ayahmu bisa memiliki bulu berwarna beda denganku.”
“Ah, aku mengerti sekarang.”
“Omong-omong, aku rasa dulu ketika ayahmu diadopsi, orang yang mengadopsinya bukan pemilikmu ini,” ujarku karena baru teringat orang yang datang mengadopsi saudara laki-lakiku itu bukanlah Nona Pita Merah.
“Ya kau benar. Nona Pita Merah memang bukan orang yang mengadopsi ayah,” jelas Olly.
“Apa mungkin pemilik lama ayahmu sudah tidak sanggup merawatnya lagi, jadi menyerahkannya pada Nona Pita Merah?” tanyaku.
Olly justru tertawa mendengar pertanyaan yang aku ajukan waktu itu. Aku jelas kebingungan kenapa anjing itu tertawa.
“Itu sama sekali tidak benar dan bahkan tidak akan pernah terjadi,” jawab Olly. “Pemilik pertamaku begitu menyayangi ayah, jadi dia tidak akan mungkin menyerahkan ayah pada siapapun.”
“Lalu, kenapa kau justru berakhir bersama Nona Pita Merah? Bagaimana dengan ayahmu? Apa dia sehat? Dan apa nama yang diberikan pemilik pertamamu pada ayahmu?”
“Ayah dan ibuku dibawa oleh pemilik pertamaku pindah ke luar negara,” jelasnya. “Mereka baru pindah enam bulan lalu. Aku dan dua saudaraku yang lain akhirnya diberikan kepada teman-teman pemilik pertamaku, karena katanya akan repot membawa lima anjing.
“Nona Pita Merah lalu mengadopsiku, sementara dua saudaraku diadopsi oleh orang yang sama. Mengenai nama ayahku, dia diberi nama Dexter. Sejujurnya setiap kali mendengar namanya disebut, aku selalu tertawa,” jelasnya.
“Kenapa kau justru tertawa saat mendengar nama ayahmu?” Aku jadi penasaran apa yang membuat keponakanku ini tertawa saat mendengar nama ayahnya sendiri.
“Dengar, bukankah Dexter lebih cocok untuk anjing besar? Contohnya pitbull, rottweiler, atau bahkan doberman yang garang. Sementara ayahku … dia hanya anjing pom kecil yang menggemaskan. Kau setuju denganku, bukan?”
Aku tertawa mendengar alasan yang diberikan Olly padaku. Rupanya dia tertawa karena nama itu sangat tidak cocok dengan saudaraku. Ya, aku setuju dengannya. Anjing berukuran kecil seperti kami lebih cocok mendapatkan nama yang imut, bukan nama yang garang seperti itu.
“Ya, kau ada benarnya juga. Apalagi dia memiliki nama panggilan Si Ekor Pendek. Rasanya lucu juga, Dexter Si Ekor Pendek,” ungkapku membuatnya tertawa.
Lalu, pertemuan yang memakan waktu hampir tiga jam itu berakhir. Kedua pemilik kami bertukar kontak telefon dan alamat rumah. Mereka juga bahkan berjanji akan saling berkunjung dan bermain bersama sambil membawa kami.
Walaupun aku tidak bisa bertemu dengan saudara lelakiku atau saudara-saudaraku yang lain, tetapi aku sangat bersyukur bisa bertemu dengan keturunan dari salah satu saudaraku yang mirip sekali dengannya. Seandainya saat itu aku dan Nona Rambut Ikal tidak pergi ke luar, mungkin aku tidak akan bertemu dengan Olly.