Jika ada yang bertanya padaku, “Apakah rumah yang kau tinggali saat ini adalah rumah pertamamu?”
Maka aku akan menjawab, “Bukan, sebab rumah pertamaku adalah sebuah tempat penampungan hewan telantar.”
Setelahnya mereka pasti akan bertanya lagi, “Bagaimana kau bisa tinggal di sana? Apa dulu kau dibuang oleh pemilikmu ketika kau masih kecil? Jadi kau tidak ingat di mana rumah pertamamu?”
Lalu dengan senang hati aku akan menceritakan kisahku.
Belasan tahun lalu, ibuku yang sedang mengandung diriku dan saudara-saudaraku dibuang oleh pemilik lamanya.
Ketika aku bertanya, “Kenapa dia membuang ibu?”
Ibu menjawab, “Dia sudah tidak mau merawat ibu lagi. Karena itu ibu dibuang olehnya. Padahal dia bisa saja memberikan ibu pada teman atau keluarganya yang mau merawat ibu, bukan begitu?”
Lalu ibu menambahkan, “Beberapa manusia yang memelihara hewan memang terkadang bersikap seperti pemilik lama ibu. Jika dia sudah bosan atau hewan peliharaannya sudah tua dan jatuh sakit, maka mereka memilih untuk membuangnya, seolah kita ini sudah menjadi barang rongsokan.”
Setelahnya ibu mendoakan kami---anak-anaknya---agar bisa mendapatkan manusia yang tulus dan mampu merawat kami hingga kematian menjemput kami semua.
Walaupun saat itu aku masih berusia sekitar empat bulan, mendengar kisah ibu yang dibuang oleh pemilik lamanya sama sekali tidak membuatku takut atau menjadi tidak ingin tinggal bersama manusia di dalam rumah.
Aku justru memiliki keinginan untuk tinggal di dalam rumah bersama sebuah keluarga, seperti yang pernah dirasakan ibu. Aku selalu merasa iri ketika melihat anjing-anjing lain diadopsi oleh manusia. Bahkan saat melihat satu per satu saudaraku diadopsi, rasa iri itu justru semakin bertambah.
Kalian tahu? Aku pernah menangis seharian dan tidak mau makan ketika pertama kalinya aku melihat saudaraku dipilih untuk diadopsi. Ibu sampai cemas dan membujukku untuk makan.
Ibu lalu berkata, “Tidak perlu bersedih, Nak. Suatu hari nanti juga akan ada manusia yang mengadopsimu. Jadi bersabarlah dalam menunggu, Sayang.”
Setelah mendengar ucapan ibu, aku mulai tenang dan mau untuk makan. Jujur saja, walaupun saat itu aku melakukan aksi mogok makan, tetapi perutku yang kecil terus berbunyi karena kelaparan. Untung saja tidak ada yang mendengarnya selain aku. Jika sampai ada yang mendengarnya, aku pasti sudah menjadi bahan ejekan dan itu akan membuatku malu.
Ah benar! Aku adalah anjing dari ras Pomeranian. Tubuhku kecil dengan bulu lebat berwarna cokelat. Dan aku adalah anjing betina dan anak pertama yang dilahirkan. Dari enam anak yang ibu lahirkan, hanya ada satu jantan terlahir yaitu anak yang lahir kelima.
Mengenai tempat penampungan yang sempat aku tinggali, tempat itu sangat besar, dengan halaman belakang yang luas dan dipenuhi oleh bunga-bunga yang cantik. Aku dulu sangat suka bermain di sana, berlarian bersama saudara-saudaraku, dan juga teman-temanku yang lain. Kami sangat senang ketika bisa keluar bebas tidak hanya berdiam diri di dalam kandang saja.
Di tempat itu hanya menampung hewan anjing saja dari berbagai ras yang ada. Dimulai dari Pomeranian seperti aku, Cihuahua, Chow-Chow, Poodle, Siberian Husky, bahkan sampai anjing yang terkesan garang seperti Doberman, Pitbull, dan German Sheperd juga ada di sana.
Karena anjing-anjing di sana memiliki ukuran tubuh yang berbeda, jadi kami ditempatkan sesuai dengan ukuran tubuh kami. Bahkan waktu untuk bermain juga ditentukan, jika saat pagi anjing-anjing kecil yang bermain, maka sore hari giliran anjing besar, begitu juga sebaliknya. Para pengurus tidak ingin anjing-anjing besar melukai anjing-anjing kecil, karena itulah tempat dan waktu kami bermain dibedakan.
Para anjing yang tinggal di sana kebanyakan memiliki nasib yang sama seperti ibuku, mereka dibuang oleh pemilik lamanya dengan berbagai alasan. Dan yang paling menyedihkan beberapa dari mereka memilih melarikan diri dari rumah karena mendapatkan perlakuan tidak baik dari pemilik lamanya. Bahkan ada satu anjing dari ras Rottweiler yang kehilangan satu kakinya akibat dipukuli oleh pemilik lamanya. Sungguh sangat menyedihkan.
Karena pernah mendapatkan perlakuan yang tidak mengenakan dari pemilik lamanya, beberapa dari mereka mengatakan tidak ingin lagi tinggal di dalam rumah bersama dengan keluarga. Kata mereka, “Tinggal di tempat penampungan jauh lebih nyaman dibandingkan tinggal di rumah lamaku. Manusia-manusia yang ada di sini sangat tulus merawatku. Jadi aku tidak ingin ada yang mengadopsiku lagi. Biarlah aku mati tua di penampungan ini.”
Kembali pada kondisi tempat penampungan, di sana tidak hanya halaman belakang saja yang luas, tetapi di sana juga terdapat kolam renang. Ada dua kolam renang yang dimiliki tempat penampungan. Satu kolam berukuran besar, itu untuk anjing-anjing berukuran sedang hingga besar. Dan satunya berukuran lebih kecil yang diperuntukkan untuk anjing kecil sepertiku.
Setiap musim panas tiba, kami akan bersenang-senang di kolam renang. Tentu saja bersama dengan pengurus yang menemani kami dan berjaga-jaga takut ada anjing yang tenggelam. Mereka semua benar-benar manusia yang baik dan aku merasakan ketulusan hati mereka dalam merawat kami semua.
Pernah suatu hari, tetapi aku lupa kapan itu terjadi. Ada seekor anjing dari ras Cihuahua yang tiba-tiba masuk ke kolam ketika mengejar seekor kupu-kupu. Tidak ada pengurus yang bertugas di sana pada waktu itu, jadi anjing yang ukurannya lebih kecil dariku itu berusaha untuk menyelamatkan dirinya.
Beruntung saja dia berhasil diselamatkan oleh pemilik penampungan yang lewat. Sejak hari itu peraturan tak tertulis mengenai pengurus tempat penampungan harus mendampingi para anjing mulai berlaku.
Lalu, saat usiaku sudah mencapai satu tahun, ibu meninggal dunia karena sakit. Sejak usiaku delapan bulan napas ibu memang berubah. Dia seperti kesulitan bernapas dan juga sering batuk.
Saat itu orang-orang berpikir ibu alergi dingin jadi dia dipindahkan ke dalam rumah agar hangat. Tetapi rupanya itu tidak terlalu berpengaruh. Dengan cepat kondisi ibu menjadi buruk dan akhirnya dibawa ke dokter.
Yang aku dengar pada waktu itu, ibu terkena asma dan saat dibawa ke dokter ibu menerima oksigen untuk melancarkan pernapasannya. Aku pikir setelah mendapatkan tindakan medis, kondisi ibu akan kembali membaik. Ternyata tidak.
Tiga jam setelah kembali dari dokter, ibu akhirnya meninggal. Ibu meninggal saat akan diberi obat. Tubuhnya tiba-tiba kejang lalu akhirnya dia pergi untuk selamanya.
Aku memang tidak melihat saat ibu kejang, aku hanya mendengar dari pengurus yang menceritakan hal itu padaku dan dua saudaraku yang tersisa pada waktu itu. Sungguh sedih rasanya kehilangan sosok ibu yang begitu aku cintai. Tetapi setidaknya dia sudah tidak menderita pernapasan lagi.
Aku merasa beruntung dan bahagia bisa tinggal di tempat penampungan itu. Bahkan aku sempat berpikir, seandainya ibu tidak ditemukan oleh pemilik tempat penampungan, di mana keberadaan kami pada waktu itu?