Di sebuah kota kecil, hidup seorang wanita cantik bernama Runa dan seorang laki-laki yang bekerja sebagai barista bernama Cala. Runa tak pernah menyangka bahwa pertemuan singkatnya dengan Cala di kedai kopi akan mengubah hidupnya.
Hari demi hari berlalu, keduanya semakin dekat. Hubungan mereka begitu dalam hingga seolah kehidupan lain di sekitar mereka lenyap.
“Runa, boleh enggak Mas ketemu sama kedua orangtuamu? Mas, mau menyampaikan keseriusan Mas atas hubungan kita,” ucap Cala, mengejutkan Runa yang tengah mengecap segelas kopi buatan kekasihnya itu.
“Mas Cala serius?”
Cala menganggukkan kepalanya dengan sorot mata penuh keyakinan. “Mas, enggak mau kehilangan kamu, Run. Mas, mau kamu jadi pasangan terakhir yang akan menemani Mas hingga tua nanti. Tapi, sejujurnya Mas khawatir dengan tanggapan kedua orangtuamu tentang status Mas yang sudah duda.”
Runa meraih tangan Cala, menggenggamnya dengan kuat. “Ayo berjuang, Mas. Apapun yang terjadi Runa akan tetap memilih Mas, mencintai Mas Cala hingga umur Runa habis.”
Cala tersenyum. Hatinya menghangat ketika mendengar ketulusan Runa, yang sejak awal tak pernah memandang rendah status dudanya. “Run, ini hanya seandainya….” Ia menarik napas dengan raut sedikit ragu. “Jika seandainya, hubungan kita ditentang, apa Runa mau pergi bareng sama Mas?”
Runa terdiam sejenak, memandang cukup lama wajah Cala yang dihiasi kekhawatiran. “Iya, Mas. Kita lakukan apapun supaya bisa bersama.”
Cala tersenyum mendengar persetujuan Runa. Kemudian, mereka kembali menikmati kopi di malam yang syahdu itu.
***
Waktu yang dinantikan tiba. Cala datang ke rumah Runa, dan menyampaikan niatnya menikahi Runa. Mengetahui Cala sudah pernah menikah dan bercerai, Ayah Runa murka dan dengan keras menolak keinginan mereka untuk bersama.
"Maaf. Kami tidak bisa menerima pria seperti kamu," ujar Ayah Runa dengan nada tegas. "Runa, adalah satu-satunya anak saya. Seorang pria yang sudah pernah menikah dan bercerai bukanlah pasangan yang layak untuk putri kami."
Runa memohon kepada orang tuanya agar Cala diberi kesempatan, tetapi sikap mereka tetap keras. Cala diusir dari rumah dan dilarang menemui Runa, sedangkan Runa dipaksa masuk ke dalam kamar dan dikunci dari luar.
“Jika kamu sayang sama Bapak dan Ibu, dan masih mau melihat kami berumur panjang, putuskan hubunganmu dan jangan lagi bertemu dengannya!” ucap suara Ibu Runa dari luar pintu kamar.
Runa menangis sejadi-jadinya melihat kepergian Cala dari jendela kamar. Cala yang melihat balik pada sosok kekasihnya, berusaha tenang dan tersenyum. Mulutnya bergerak tanpa suara. “Enggak apa-apa. Semua akan baik-baik saja.” Lalu, ia pergi.
Berhari-hari kemudian, Runa terpaksa menjalani aktivitas dengan pengawasan ketat dari kedua orangtuanya. Bahkan, ayah Runa menyewa bodyguard untuk mencegah Runa menemui Cala. Larangan itu membuat Runa jatuh dalam dilema, terjebak antara cintanya yang begitu dalam kepada Cala dan kesetiaannya kepada keluarga.
Ketika tekanan emosional terasa semakin berat, Runa mulai menarik diri dari dunia. Wajah ceria yang dulu selalu memancarkan kebahagiaan kini digantikan dengan ekspresi muram. Meski ia masih sering berkomunikasi dengan Cala melalui pesan singkat atau telepon, namun tetap saja hari-harinya diisi dengan air mata karena kerinduannya pada sosok Cala.
Di sisi lain, Cala pun tak kalah hancur. Ia merasa kehilangan alasannya untuk hidup. Ia memilih menghabiskan waktu di bar, tenggelam dalam botol demi botol alkohol setelah pulang bekerja dari kedai. Cala mencoba melupakan rasa sakit dan kerinduannya. Namun, semakin ia mencoba melupakan, justru semakin tajam kenangan tentang Runa menghantui pikirannya.
Waktu terus berjalan, Runa mulai sering sakit-sakitan. Tubuhnya yang dulu kuat kini rapuh. Dokter mendiagnosisnya dengan penyakit kanker stadium empat yang diperparah oleh tekanan emosional.
Suatu malam di kamar, Runa mencoba mengirimi Cala sebuah pesan.
"Cala, kamu tahu kan, kalau aku akan selalu mencintaimu. Meski dunia ini tidak adil, meski takdir tidak membiarkan kita bersama, tapi aku akan tetap memohon pada Tuhan untuk memintamu jadi pasanganku di kehidupan berikutnya."
Deretan kata itu ternyata menjadi pesan terakhir Runa. Ia mengembuskan napas terakhirnya, meninggalkan dunia ini dengan hati yang penuh luka dari ketetapan takdir, dan rindu mendalam akan sosok kekasihnya.
Cala yang mengetahui kabar kematian Runa setelah meminta temannya untuk memata-matai rumah kekasihnya, seperti mendapatkan pukulan terakhir yang menghancurkan dirinya. Ia berhenti bekerja. Menghabiskan malamnya di bar dan meminum berbotol-botol alkohol.
Dalam keadaan mabuk berat, Cala mengendarai motornya dan melaju di jalanan malam yang gelap. Air mata mengaburkan pandangannya, tetapi ia tidak peduli. Di sebuah tikungan tajam, motor Cala kehilangan kendali karena licinnya jalanan setelah seharian diguyur hujan. Cala menabrak pembatas jalan yang terbuat dari beton, hingga menghantam aspal dengan keras. Kecelakaan tunggal itu seketika merenggut nyawanya. Tubuhnya kemudian ditemukan oleh penduduk sekitar, tergeletak di bawah cahaya bulan yang redup.
***
Sejak kematian keduanya, kota kecil itu mulai dihantui oleh cerita aneh yang beredar di kalangan penduduk. Kedai kopi di sudut jalan, tempat Cala dan Runa pertama kali bertemu, menjadi pusat kisah misteri yang sulit dijelaskan.
Setiap malam tepat pukul 12, lampu kedai yang biasanya sudah dimatikan tiba-tiba kembali menyala redup. Para saksi yang pernah melintas di sana mengaku melihat sepasang bayangan duduk di sudut ruangan. Mereka tidak berbicara, tetapi kehadiran mereka begitu nyata hingga membuat bulu kuduk siapa pun berdiri.
Mereka tidak tahu kalau sepasang bayangan itu adalah Cala dan Runa, pasangan yang akhirnya bersatu sebagai arwah.
“Kita akhirnya bisa bersama, Run,” bisik Cala, menggenggam tangan Runa yang dingin namun terasa hangat di hatinya.
“Ya, Mas, meskipun belum bisa pulang ke alam seharusnya, aku tak peduli. Asalkan aku bisa bersamamu,” jawab Runa dengan senyum, sinar matanya redup namun penuh cinta.
Kedai itu menjadi tempat mereka mengulang kenangan indah di dunia. Mereka duduk di meja yang sama, bercakap-cakap dalam keheningan malam. Runa mengenakan midi dress putih tanpa lengan berwarna putih yang pernah ia pakai saat pertama kali bertemu Cala, dan Cala memakai kaos dan celana hitam yang menjadi ciri khasnya.
Kini, tidak ada lagi rasa sakit karena batasan dan penolakan. Cinta Cala dan Runa membawa kehangatan. Setiap malam, mereka berbicara tentang banyak hal mengenai kenangan awal pertemuan, perjalanan kasih di antara mereka hingga apa yang tidak bisa mereka capai—tentang pernikahan, tentang rumah kecil yang pernah mereka impikan, dan tentang kehadiran anak-anak yang tak pernah bisa mereka miliki.
***
Suatu hari, kedai kedatangan seorang barista dengan kemampuan bisa melihat dan berkomunikasi dengan makhluk tak kasat mata. Barista itu bernama Reza, dan ia sudah tahu kisah kehadiran sepasang arwah yang muncul di jam 12 malam di kedainya.
Suatu malam, Reza mendengar percakapan yang samar dan merasakan kehadiran sosok selain dirinya. Ia memberanikan diri untuk mengamati dan melihat mereka—Runa dan Cala, duduk bersama, tertawa kecil, tetapi dengan kesedihan yang terpancar dari mata mereka. Bukannys merasa takut, Reza justru merasa iba.
“Kenapa kalian masih di sini?” tanya Reza dengan suara pelan.
Runa menoleh, senyumnya lembut namun penuh duka. “Kamu bisa melihat kami?”
Reza mengangguk, menunggu jawaban atas pertanyaannya.
“Kami tidak bisa pergi. Cinta kami terikat pada tempat ini, di mana semuanya dimulai. Di dunia nyata, kami tidak bisa bersama. Di sini, setidaknya kami bisa memiliki satu sama lain,” jawab Cala.
Kemudian, Reza merasa tergerak untuk menyalakan lilin di meja mereka, sebagai penghormatan. Cala dan Runa tersenyum dan mengucapkan terima kasih atas sikap Reza. Lilin itu akan menjadi tanda bahwa cinta mereka tidak akan pernah padam, meski tubuh mereka telah meninggalkan dunia ini.
***
Penduduk kota yang awalnya takut, berubah sikap ketika mendengar cerita Reza, dan mulai ikut menghormati kisah Cala dan Runa. Mereka percaya bahwa pasangan itu adalah simbol cinta sejati yang tidak dapat dikalahkan oleh apa pun, bahkan kematian.
Dan hingga kini, jika kau melewati kedai itu saat tengah malam, kau mungkin akan melihat mereka—sepasang bayangan yang duduk di sudut, dengan lilin kecil yang menerangi cinta mereka yang abadi.