Sejak kehilangan ibunya dua tahun lalu, hidup Btari berubah drastis. Ayahnya, Pak Bayu, yang selalu menjadi sandaran hidupnya, tiba-tiba memutuskan untuk menikah lagi dengan seorang wanita berstatus janda bernama Rania. Menurut cerita ayahnya, suami Rania telah meninggal dunia karena kecelakaan satu tahun lalu, dan hanya tinggal bersama anak perempuannya bernama Dania.
Di awal kehidupan keluarga yang baru, Rania terlihat tulus, dan sangat perhatian pada Btari, sementara Dania juga begitu hangat menyambut Btari sebagai kakak sambung. Dania sering mengajak Btari jalan-jalan, berbagi cerita, hingga berbagi rahasia kecil khas remaja seusia mereka. Meski hati Btari sesekali dirundung kerinduan pada ibunya, namun kehadiran Rania dan Dania juga sedikit mengobati kesepiannya. Rania yang terlihat berusaha adil dalam memperlakukan kedua anaknya, membuat Pak Bayu semakin yakin telah membuat pilihan yang tepat.
“Btari, makan malam sudah siap, Nak! Ibu masak sup ayam kesukaanmu!” seru Rania dari dapur.
Btari melangkah lesu ke meja makan. Sudah 3 hari ini, ia merasa lelah tanpa alasan yang jelas. “Terima kasih, Ibu,” jawabnya seceria mungkin demi menghargai usaha Rania menyajikan makanan kesukaannya.
Dania duduk di sebelah Btari. “Kak, akhir pekan ini kita jalan-jalan lagi, ya? Aku tahu tempat bagus buat refreshing!” ajaknya sambil tersenyum.
Btari memaksakan senyum. “Mungkin. Lihat nanti, ya.”
Pak Bayu yang juga sudah menempati kursinya, menatap putrinya. “Btari, kamu kenapa? Sudah beberapa hari ini wajahmu kelihatan pucat.”
“Enggak apa-apa, Yah. Mungkin kurang istirahat, kegiatan ekskul di sekolah belakangan ini juga cukup padat,” sahut Btari, mencoba mengabaikan rasa tidak enak di tubuhnya.
“Jangan terlalu memaksakan diri, Nak. Kegiatan ekskul, kan enggak terlalu mempengaruhi nilai akademis. Kegiatan belajar kamu aja udah padat, lho karena sebentar lagi ujian akhir semester. Kalo ada waktu senggang lebih baik gunakan untuk beristirahat atau refreshing sejenak sama Dania,” Rania memberi saran dengan raut khawatir melihat kondisi anak sambungnya.
“Iya, Bu.” Btari menjawab seraya tersenyum karena senang dikhawatirkan oleh ibu sambungnya.
Setelah makan malam, semua tampak biasa. Btari, Dania dan kedua orangtuanya kembali ke kamar masing-masing. Btari memilih berbaring di tempat tidurnya alih-alih merapikan buku-buku pelajaran yang akan dibawanya esok pagi. Kepalanya terasa pusing, tubuhnya makin lemas dan pandangannya sesekali kabur. Rasa takut yang aneh juga menguasai batinnya, seolah merasa akan terjadi sesuatu pada dirinya malam itu.
Dalam keheningan, Btari memejamkan kedua matanya, berharap bisa segera tertidur dan bisa bangun dengan kondisi badan yang lebih sehat.
“Waktumu sudah tiba anak cantik.” Terdengar suara bisikan yang membuat Btari sontak membuka matanya kembali. Ia berusaha bangkit tapi tubuhnya terasa lumpuh.
“Tolong, Yah…,” gumamnya pelan berharap rintihannya bisa menembus batin ayahnya.
Tiba-tiba, ia merasa ada sesuatu yang sedang memperhatikannya dari pintu kamar. Kedua matanya berusaha melirik dan menjangkau pintu kamarnya, dan di saat itulah ia terkejut saat mendapati apa yang berada di sana.
Sosok makhluk tinggi besar dengan tubuh penuh bulu, mata merah menyala, taring panjang, dan kuku yang tajam sedang menyeringai penuh nafsu ke arah Btari
“Siapa... siapa kamu?!” teriaknya, ketakutan.
Makhluk itu mendekat, langkahnya terdengar berat menghantam lantai. Btari berteriak keras. “Ayah! Ayah, tolong aku!”
Makhluk itu kemudian melompat ke arah Btari, mencengkeram tubuhnya dengan kuku-kuku yang tajam.
“Aaaahhh!” Btari menjerit, mencoba melawan, tetapi tubuhnya lemah tak berdaya. Cakarnya yang tajam mencabik kulitnya. Darahnya mengalir deras. Btari merasakan kesakitan yang luar biasa, hingga akhirnya pandangannya menjadi gelap.
Di kamar lainnya, Pak Bayu, dan Dania tertidur lelap, sama sekali tak mendengar teriakan Btari yang sedang menghadapi kematian. Sedangkan, Rania sedang duduk di kursi rias sambil menyisiri rambut hitamnya yang panjang.
---
Keesokan Harinya.
“Btari! Bangun, Nak! Jangan begini, tolong bangun!” suara tangis Pak Bayu memenuhi ruangan saat ia menemukan tubuh putrinya telah terbujur kaku di tempat tidur. Wajah Btari pucat, dan terlihat bekas luka-luka aneh tampak jelas di sekujur tubuhnya.
Dania ikut menangis histeris di belakang Pak Bayu. “Kak Btari! Kakak kenapa?!”
Rania yang berdiri di samping Pak Bayu ikut panik. “Astaga, kenapa ini bisa terjadi?!”
Pak Bayu menatap tubuh putrinya dengan mata nanar. “Btari! Bangun, Nak, jangan tinggalkan ayah seperti ibumu.”
Pak Bayu dan keluarga bergegas membawa Btari ke rumah sakit, berharap masih ada sisa kehidupan di tubuh Btari. Namun, sayangnya petugas di rumah sakit tak bisa menolong Btari karena ia dinyatakan meninggal beberapa jam yang lalu.
Btari akhirnya dimakamkan di samping kuburan ibunya. Pak Bayu tak henti menangisi kematian putri semata wayangnya yang misterius. Rania dan Dania berdiri di belakang tubuh sang ayah yang masih berjongkok mengusap pusara Btari.
Tanpa diketahui oleh Pak Bayu dan Dania, Rania tersenyum. Baginya, kematian Btari adalah sebuah kemenangan. Kemenangan untuk menguasai perhatian dan harta Pak Bayu sepenuhnya.
Di malam tragedi itu, Rania telah merencanakan pembunuhan Btari melalui santet yang dikirimkan oleh Mbok Dartem. Mbok Dartem adalah dukun langganannya yang juga telah membantunya mengguna-guna Pak Bayu agar jatuh cinta dan menikahi Rania.
Saat makan malam, diam-diam Rania mencampurkan obat tidur ke dalam makanan Dania dan Pak Bayu agar tidak mengganggu proses pembunuhan Btari. Rania mendengar seluruh teriakan Btari, dan sengaja menunggu kematian putri sambungnya itu.
Kini hanya tersisa Pak Bayu yang tak tahu bahwa tragedi itu adalah buah dari cinta buta dan kepercayaannya pada wanita yang salah. Rania dengan mudah kembali berlakon sebagai ibu sambung yang bersedih karena telah kehilangan putri sambungnya, dan menguatkan suaminya untuk mengikhlaskan kematian putrinya.