Malam itu, Lanang, seorang pria berusia 34 tahun, memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Hanum, kekasihnya yang telah menemaninya selama satu tahun terakhir. Tak ada alasan jelas yang ia berikan. Tak ada argumen, tak ada kata maaf. Hanya sebuah pesan singkat yang diakhiri dengan pemblokiran di semua media komunikasi. Hanum, seorang wanita berusia 28 tahun, yang selama ini begitu tulus mencintainya, hanya bisa tertegun dalam kebingungan.
Di balik keputusannya, Lanang menyembunyikan rahasia besar. Selama berhubungan dengan Hanum, ia diam-diam menjalin komunikasi kembali dengan mantan kekasihnya, Titi, yang kini berstatus janda tanpa anak setelah perceraiannya. Meski hubungan itu mendapat tentangan keras dari kedua orang tuanya, Lanang memilih untuk kembali pada Titi.
Hanum tak ingin menyerah begitu saja. Ia mencoba mencari tahu alasan di balik keputusan sepihak Lanang. Ia terus menghubungi hingga beberapa kali mencoba menemui Lanang di tempat kerjanya, namun usahanya sia-sia karena Lanang terus menghindarinya dengan berbagai cara. Hingga akhirnya, ia menyerah dan memutuskan untuk menemui kedua orang tua Lanang untuk berpamitan. Di depan mereka, Hanum menumpahkan kesedihannya.
“Hanum enggak tahu Mas Lanang ada masalah apa, atau Hanum salah apa sama Mas Lanang, karena memang Mas enggak cerita apa-apa sama Hanum, tapi kalau memang begini cara Mas Lanang mengakhiri hubungan, saya terima. Saya minta maaf ya Pak, Bu kalau selama bertamu ada sikap dan omongan yang kurang berkenan. Terima kasih karena sudah menerima saya dengan baik selama ini,” ucap Hanum, dengan mata berkaca-kaca.
Kedua orangtua Lanang ikut merasakan kesedihan namun tidak bisa menceritakan alasan sebenarnya karena selain malu dengan sikap anaknya, mereka juga tidak mau menambahkan luka di hati Hanum.
“Enggak, Num, kamu anak baik dan sopan. Justru ibu sama bapak yang minta maaf atas sikap Lanang yang nyakitin hati kamu. Maafin Lanang, ya, Bapak sama Ibu juga enggak tahu ada masalah apa sama Lanang karena dia sangat tertutup sama kami,” ucap Ibu Lanang. “Setelah kejadian ini, Ibu berharap kita enggak putus silaturahmi ya, maafin Bapak sama Ibu yang enggak bisa didik Lanang bersikap baik sama kamu.” Ibu Lanang berusaha tidak menangis karena begitu kecewa dengan sifat pengecut anak laki-lakinya.
“Bapak juga ikut sedih saat tahu kamu diperlakukan seperti ini sama Lanang, dan justru mau mendoakan semoga kamu mendapatkan laki-laki yang lebih baik dibanding anak kami. Bapak sama Ibu memohon maaf yang sebesar-besarnya sama Hanum dan kedua orangtua Hanum. Terima kasih karena sudah menerima anak Bapak dengan baik,” ucap Bapak Lanang.
Setelah pertemuan itu, Hanum pulang dengan hati yang remuk redam. Hingga usaha terakhirnya pun, ia tetap tidak bisa menemui Lanang karena ia pergi berlibur dengan teman-temannya. Selama berminggu-minggu, ia tenggelam dalam kesedihan mendalam, bahkan sempat mengalami depresi.
Kedua orangtua dan teman-teman Hanum berusaha keras menyemangati dan menghiburnya agar kembali bersemangat dan ceria. Hingga akhirnya, perlahan Hanum mampu bangkit. Meski luka hatinya belum sembuh, ia menyimpan tekad yang kuat untuk melanjutkan hidup dengan lebih baik.
"Tuhan, jika kebahagiaan adalah yang Mas Lanang cari, saya tak akan meridoinya," bisiknya dalam doa sepertiga malam. Hatinya masih terlalu sakit dengan keputusan Lanang, yang menurutnya telah tidak menghargainya dan kedua orangtuanya yang telah menerimanya dengan sangat baik.
Di balik tekad dan dendam yang disimpan, Hanum tak menyadari sudah menggugah kekuatan tak kasat mata yang telah lama menjaganya. Ia tidak tahu kalau dianugerahi banyak penjaga gaib dari garis keturunan leluhurnya. Entitas-entitas yang tak kasat mata namun selalu sedia melindunginya dari segala marabahaya. Melihat Hanum hancur dan sakit hati, "mereka" pun bersiap membalaskan dendam perempuan yang mereka jaga dan lindungi selama ini.
---
Hari-hari Lanang bersama Titi yang awalnya penuh cinta dan kedamaian mulai berubah. Sejak menikahi Titi, hidup Lanang perlahan-lahan dipenuhi masalah yang sulit dinalar oleh logika .
Malam pertama mereka di kontrakan baru terasa mencekam. Lampu kamar tiba-tiba padam, padahal tak ditemukan adanya masalah dengan listrik. Lanang juga merasa tak tenang, seolah ada sepasang mata yang mengawasinya dari sudut kamar. Namun, setiap kali menoleh dan mengeceknya, ia tak menemukan apa-apa.
"Ah, hanya perasaan saja," gumamnya, mencoba meyakinkan diri.
Namun, gangguan itu ternyata tak berhenti. Setiap malam, Lanang mendengar suara langkah kaki di luar pintu kamar. Pintu kamar yang tiba-tiba terbuka sendiri setiap jam 12 malam, hingga bisikan-bisikam samar yang menyebutkan namanya.
"Titi, kamu dengar sesuatu?" tanya Lanang pada suatu malam.
"Enggak, Mas. Emang Kamu dengar apa?” jawab Titi, penasaran.
“Seperti ada suara yang terus memanggil nama Mas. Suaranya pelan sekali.” Lanang mencoba mendengarkan kembali suara misterius itu.
“Aku enggak dengar apa-apa, kok. Kayaknya kamu terlalu capek, deh Mas. Jadi, berhalusinasi," jawab Titi sambil menepuk punggungnya.
Lanang pun tak mau melanjutkan masalah itu dan berusaha menerima pendapat istrinya itu meski sadar kalau suara yang didengarnya bukanlah sekadar halusinasi.
---
Gangguan-gangguan yang dialami Lanang semakin intens dan memberikan dampak yang buruk bagi hidupnya. Pekerjaan yang selama ini menjadi kebanggaannya mulai berantakan. Fokusnya hancur. Lanang sering membuat kesalahan fatal yang merugikan perusahaan. Hingga akhirnya, ia dipecat dengan tidak hormat.
Bencana terbesar lainnya datang, saat ia dan Titi mencoba untuk memiliki anak. Setelah berbulan-bulan mencoba tanpa hasil, mereka memutuskan untuk berkonsultasi dengan dokter.
"Maaf, Pak Lanang," kata dokter dengan nada serius. "Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa Anda memiliki masalah infertilitas yang parah. Peluang Anda untuk memiliki anak sangat kecil. Jalan satu-satunya hanya melalui program bayi tabung, namun kami harus memeriksa kualitas sperma Bapak dulu."
Dunia Lanang seakan runtuh. Ia pulang ke rumah dengan perasaan berkecamuk. Sedih dan marah kepada dirinya sendiri. Titi berusaha menyemangati dengan menyarankannya mencoba berbagai pengobatan medis ataupun tradisional.
Sayangnya, berbulan-bulan berlalu, tak satupun dari pengobatan yang dijalani Lanang menunjukkan keberhasilan.
Titi yang awalnya optimis mulai menunjukkan rasa kecewa. "Kamu sudah kehilangan pekerjaan. Sekarang ini? Apa lagi yang bisa aku harapkan dari kamu, Mas?"
Lanang merasa semakin terpojok. Ia kembali merasa terpuruk dan tidak berguna sebagai suami-sebagai lelaki. Tak ada perusahaan yang menerima lamarannya. Setiap bisnis yang ia coba jalankan berakhir dengan kerugian besar. Ia merasa setiap pintu yang ia ketuk terasa tertutup rapat baginya.
---
Suatu malam, Lanang bermimpi bertemu dengan dua sosok: seorang kakek dan seorang nenek. Si kakek berjalan dengan pincang menggunakan tongkat dari kayu jati sedangkan si nenek menggunakan kebaya sambil mengunyah sirih. Wajah keduanya dingin, matanya penuh kebencian.
"Kamu menghancurkan cucuku, Lanang. Hanum tidak pantas kamu sakiti seperti itu. Sekarang, tuailah hasil dari sikap biadabmu," kata si nenek, sebelum keduanya menghilang dalam kabut gelap.
Lanang terbangun dengan keringat dingin membasahi tubuhnya. Mendengar nama Hanum, rasa bersalah mulai menggerogoti hatinya.
"Apa semua kesialan ini terjadi karena aku telah meninggalkan Hanum?" tanyanya dalam hati. Penyesalan mulai menghantui pikirannya.
Namun, semua penyesalan itu tak berarti. Gangguan yang ia alami semakin menjadi. Suara tangisan perempuan mulai terdengar setiap malam di rumahnya. Barang-barang sering jatuh tanpa alasan. Bahkan, tubuhnya mulai terasa berat, seperti ada sesuatu yang membebaninya.
Memasuki setahun pernikahan, Titi mengajukan perceraian karena merasa Lanang telah gagal menafkahi dan memberinya keturunan. Akhirnya, Lanang terpaksa kembali pulang ke rumah kedua orangtuanya yang juga sangat kecewa ketika mengetahui kondisinya.
"Semua peristiwa yang kamu lalui ini, mungkin adalah hasil kekecewaan dari orang-orang yang pernah kamu sakiti, Nak," ucap ibu Lanang yang bersedih hati melihat keterpurukan anaknya.
"Taubat, kamu! Minta maaf sama ibu yang dulu pernah kamu lawan demi menikahi janda itu," susul ayah Lanang dengan tegas. Lanang hanya bisa menangis tersedu-sedu di dalam pelukan sang ibu. Ia begitu menyesal terhadap pilihan yang ia ambil.
---
Di sisi lain, Hanum telah menemukan kembali kebahagiaannya. Ia berhasil membangun hidupnya kembali. Meski luka di hatinya belum sepenuhnya sembuh, ia belajar untuk menerima bahwa tidak semua orang yang ia cintai akan tetap bersamanya.
Namun, dendam untuk Lanang tetap terpatri di dadanya. Dan para penjaga gaibnya akan terus bekerja, memastikan bahwa Lanang merasakan setiap luka yang telah ia torehkan pada Hanum.
---
Hidup Lanang kini berubah suram. Ia kehilangan segalanya—pekerjaan, cinta, bahkan harapan. Dalam kesendirian dan kehancuran, ia hanya bisa menatap ke belakang, menyadari bahwa keputusan egois yang ia ambil telah menghancurkan hidupnya sendiri.
Sementara itu, Hanum terus berjalan maju, meninggalkan masa lalu, tetapi tak pernah melupakan janji yang pernah ia ucapkan di hadapan Tuhan: kebahagiaan Lanang bukanlah sesuatu yang ia ridoi. Dan dendam itu akan terus hidup, meski dalam bentuk yang tak terlihat.