Bunyi langkah kakinya menggema pada dinding batu. Cahaya obor terlihat jauh lebih bercahaya dari terakhir kali yang dilihatnya. Dua penjaga penjara melemparkan tatapan masam dan tidak ramah ketika mata mereka saling bertemu. Molly hanya menghela napas panjang melihatnya.
Sejenak hatinya berpikir, jika tak ada salahnya untuk bersyukur dan bernapas lega saat ini, paling tidak sampai akhirnya Molly memiliki rencana lain setelah ini. Tapi apa?
Hawa dingin merambat dari baju Molly yang kotor karena lumpur, ditambah suhu lembap dari penjara bawah tanah. Terpaksa, dia harus menahan kedinginan di tempat ini sampai esok hari.
Ketika pintu utama penjara bawah tanah dibuka terdengar suara kecapi dipetik dari kejauhan. Lagi-lagi melodi yang sama dengan puisi yang sama pula. Kali ini terdengar lebih sendu dan mendayu-dayu. Siapa lagi kalau bukan Rolan?
Sel tahanan Molly berada di seberang Rolan. Matanya menyipit mendapati lelaki berambut merah itu tengah tiduran santai di ranjang batu, satu kakinya ditopang ke kakinya yang lain. Dia memetik kecapi sambil menatap langit-langit. Sedangkan Moko tidur pulas pada kaki majikannya.
Menghadapi ketegangan akibat tindakan egois Agatha juga persidangan, membuat Molly hampir lupa dengan si penyair satu itu. Dia mendengkus, sebab Rolan masih terlihat tenang, berbanding terbalik dengan kondisinya.
Lelaki bermata zamrud itu juga tak peduli saat pintu sel tahanan Molly ditutup setengah dibanting. Tidak ada sapaan, menoleh, atau menghentikan nyanyiannya-paling tidak melirik sebagai sambutan Molly datang. Tidak, tidak ada. Dan demi para leluhur, dari mana Rolan mendapatkan kecapi?
"Aku lihat-lihat, kau santai sekali." Pada akhirnya Molly yang memulai pembicaraan. Dia melipat tangannya di dada. Berusaha untuk menyapa tenang, namun malah terdengar menyindir.
Permainan kecapi Rolan berhenti seketika, tepat ketika salah satu senarnya putus. "Senarnya putus."
Gaya bicara lelaki itu seolah tengah memberikan informasi kepada Molly tentang apa yang terjadi pada alat musiknya. Memangnya Molly peduli?
Baru setelahnya, Rolan menoleh, mendapati Molly mengamatinya dari sel di seberang. Sialan, laki-laki ini tidak peduli dengan sapaanku barusan.
"Menilai dari nada bicaramu, aku bisa mengira kalau perjalananmu meloloskan diri bersama Agatha tidak berakhir baik." Rolan tidak pindah dari posisinya, dan suaranya terdengar sangat bosan.
"Bukankah itu sudah jelas?" Molly mendengus. "Kau juga, aku pikir kau telah lari bersama Aldir dan Adamus."
"Sepertinya kau lupa kalau aku terjebak oleh para druid gara-gara siapa," Rolan menjawab seraya menghela napas panjang. Dia melipat kedua tangannya ke bawah kepala.
Molly mendengkus dan duduk di ranjang batu. Suara roknya yang bergesekan menciptakan nada lembut dan menggema dalam sel penjaranya.
Keheningan menyelimuti sel mereka. Molly tenggelam dalam pikiran dan rasa gundahnya. Terjebak dalam penjara sampai besok pagi ... tunggu Molly bahkan tidak tahu sekarang pukul berapa, dan berapa jam lagi sampai matahari akan terbit? Apakah boleh dia tidur sekarang? Dia mengusap dahinya perlahan, bingung, lelah, dan ... pusing!
Ingin rasanya merebahkan diri, dan melepaskan penat. Namun, kejadian ketika Agatha jatuh dan menghilang dari pandangannya terulang lagi setiap kali Molly menutup mata.
"Brengsek." Molly pada akhirnya bangun dari posisi tidurnya.
"Bahasa yang indah yang keluar dari setangkai bunga mawar berwarna merah," sindir Rolan dari kejauhan, mendadak menjadi amat puitis.
Molly menyandarkan tubuhnya pada dinding dan mulai berkata, "Kau tak penasaran apa yang terjadi setelah Agatha nekat mencari benda-benda miliknya di ruang pribadi milik Druid Agung?"
"Pasti kalian berpisah lagi."
"Ya, kami berpisah lagi." Suara Molly terdengar kasar dibandingkan semula. "Benda yang dimaksudnya itu ternyata patung milik para druid, dan Agatha benar-benar mencurinya. Dia menggunakan pantung itu, kemudian Agatha menghilang."
Rolan terdiam, tidak memberikan respon. Menuai lirikan dari Molly, berharap agar bisa melihat ekspresi wajah lelaki itu.
"Aku ditangkap dan di sidang." Molly melanjutkan, kini sambil memeluk erat dua lututnya. "Mereka tahu aku adalah Pembisik Daun, dan aku bersedia untuk membuatkan patung baru. Aku bahkan tak percaya pada entitas yang mereka sembah, bagaimana bisa aku membuat patungnya?"
"Tinggal dipahat saja, kan."
"Apanya yang dipahat? Tubuhmu?"
"Wow, kau sedang merayuku, Mawar Merah? Nekat sekali."
"Maksudku, menyakitimu memakai alat pahat," Molly menyahut cepat, menutupi rasa paniknya karena salah bicara. "Itu mungkin sedikit membuat hatiku lega."
"Mmh." Rolan bergumam. Sejenak, terbayang bagaimana laki-laki itu tersenyum dalam seringaian yang paling menyebalkan yang pernah dibuatnya. Nada bicaranya genit, helaan napasnya terdengar menjengkelkan. "Rupanya kau sangat liar."
Tidak hanya Rolan, Molly sendiri juga tidak percaya atas apa yang barusan dia katakan. Malu dan canggung, Molly memilih untuk tidak melanjutkan pembicaraan mereka. Namun, semakin hening suasana, semakin dalam pikirannya, malah semakin mengganggu.
"Aku penasaran ke mana Agatha pergi," gumam Molly yang menggema di dinding batu. "Setelah meletakkan patung itu pada meja batu di gua rahasia Druid Agung, tiba-tiba tubuhnya diselimuti api, lalu menghilang begitu saja."
Rolan berdecak, Molly yakin itu. Meski sekilas, perempuan itu yakin mendengar Rolan menggeram jengkel. Penasaran, Molly bangkit dan mendekat ke sel besi.
"Rolan," panggil Molly.
Rolan tidak merespon.
"Rolan, apakah Adamus tidak memberitahumu alasan kakakku mencuri patung itu?"
Rolan menjawab santai, "Adamus dan Aldir berhasil kabur lebih dulu, sementara aku ditangkap tak lama setelah kau pergi mengejar Agatha."
Molly melirik, berusaha memancing. "Apa kau sungguh tidak tahu?"
"Kau kedengarannya curiga padaku," Rolan menyahut.
"Tidak, maksudku..." Molly menghela napas panjang. "Kau kan penyair yang berpendidikan tinggi, pasti tahu mengenai hal ini. Meskipun kau ... tidak mirip seperti penyair pada umumnya."
"Aku tidak pernah bilang aku seorang penyair," balas Rolan. "Lagipula tidak semua orang yang berpendidikan tinggi tahu semua hal. Mereka memang belajar di Tanah Utama, bukan berarti tahu segalanya."
"Tapi, kenapa aku merasa kau tahu sesuatu yang tidak aku ketahui?"
"Kau berdelusi. Nyatanya, aku tak bisa menebak-nebak pikiranmu sejak kita bertemu sampai hari ini." Rolan mendengus, lantas menghadap dinding.
"Jadi, kau bisa membaca pikiran orang juga, begitu?"
"Tidak, Mawar Merah. Astaga," erang Rolan jengkel. "Lebih baik kau tutup mulut dan matamu, istirahat, lalu bersiaplah untuk memahat patung besok pagi."
"Kenapa kau pelit sekali? Berbagilah sedikit, siapa tahu aku bisa membantu membebaskanmu dari sel penjara ini," kata Molly bersikeras. Kali ini menawar.
"Tidak perlu. Aku malah bersyukur menjauh darimu." Rolan menghela napas panjang. "Lelaki tampan dan seksi sepertiku tidak boleh sampai kelelahan."
"Kau terlalu sering menyanjung dirimu sendiri. Aku dengar itu sangat buruk, seperti penyakit demam."
Rolan menjawab datar, "Karena aku punya hak. Menyanjung diri sendiri adalah seni merayakan keberadaan, Mawar Merah. Lagipula, jika bukan aku sendiri, siapa yang akan menyanjung diriku?"
Molly mengerjap, sekarang Rolan menjadi lebih filosofis dari yang terakhir kali didengar. Mungkin lelaki ini bukan seorang penyair, bisa jadi adalah orang yang terpelajar seperti Adamus dan putranya.
"Setelah memahat patung, kita pulang ke Nevervale," lanjut Rolan kemudian.
Molly menjawab tegas, "Aku tidak akan pulang sebelum menemukan Agatha. Perasaanku mengatakan kalau dia masih hidup."
Rolan tidak menanggapi, lelaki itu hanya terdiam dalam posisinya yang paling nyaman. Ditunggu selama beberapa menit, lelaki itu tak kunjung membalas ucapan Molly. Padahal, biasanya Rolan akan mengejek atau sekadar mendengus jengkel. Penasaran, Molly lantas berjinjit untuk mengecek kondisinya.
"Dia malah tertidur, astaga," gumam Molly, tak bisa menahan rasa herannya.
***
Entah pukul berapa, yang jelas Molly baru saja mendapatkan posisi ternyamannya dan menutup mata. Namun waktu tenangnya seketika dihancurkan oleh bunyi hantaman besi dengan dinding yang menggema, membuat Molly bangun dan melompat. Ia mengerang kesal, apalagi saat mendapati Vulen dan Donna yang menjemputnya.
Perasaannya campur aduk tak menentu. Molly diperlakukan seperti seorang penjahat kelas kakap, dijaga dalam pengawalan ketat oleh prajurit druid terkuat. Tangannya diikat oleh akar ajaib, cukup kencang hingga mungkin saja akan menimbulkan memar di sekitar pergelangannya. Telinganya terasa panas, sebab Vulen dan Donna tak berhenti menggerutu dan mengutuknya.
Iseng, Molly melirik Rolan yang masih dalam posisi sama sejak semalam, terlihat acuh tak acuh. Sedangkan Moko telah bangun lebih dulu, mengamati Molly keluar dari ruangan dalam penuh kekhawatiran.
Ketika akhirnya Molly keluar dari gua, entah mengapa suhu di luar malah semakin panas. Angin yang berhembus seharusnya mengirimkan kesejukan, namun malah terasa sebaliknya. Dua rusa yang berada di dekat Sarang Dalam menjerit resah. Beberapa rumput dan bunga liar di dekat pintu ilusi tertunduk layu. Tanah becek yang sempat dilaluinya mengering. Dia juga mendengar pohon Javarash mendengkus kepanasan. Beberapa druid penjaga berlomba-lomba menyeka keringat dan mengeluh air dalam botol mereka habis.
Molly tertegun, terheran-heran, dan kebingungan.
"Daun-daun berguguran tidak pada musimnya, burung-burung tak berkicau, rusa-rusa menjadi resah, hewan ternak juga terkena penyakit aneh sejak pagi ini, dan cuaca mendadak terasa sangat panas," desis Donna diliputi rasa amarah terhadap Molly. "Efek hilangnya esensi patung sudah dimulai. Ini gara-gara kau yang menghancurkan patung kami."
"Tenangkan dirimu, Donna," kata Druid Agung yang muncul di belakang Molly. "Ini tidak berlangsung lama, karena Pembisik Daun ada di desa ini."
Vulen dan Donna memelototi Molly, sebuah pesan ancaman tersirat. Namun, jika dia sampai gagal membuat patung, mereka tidak akan segan-segan untuk mengakhiri hidupnya. Melihat dua mata hazel itu, membuat Molly merinding. Satu hal yang pasti, dia tidak boleh gagal.
Lantas, bagaimana cara membuat patungnya?
Selama di perjalanan melintasi hutan, pikiran Molly berputar tanpa henti. Jangankan membuat, melihat dan menyentuh patungnya saja tak sempat. Hatinya berdebar-debar, meski begitu dia berusaha untuk tetap tenang.
"Kita sudah sampai." Suara Vulen yang mengumumkan kedatangan mereka memecah kepercayaan diri Molly. "Pintu masuk Suaka Kelopak Emas."
Lagi-lagi sebuah gua.
Pintu masuk Suaka Kelopak Emas, tempat yang diyakini oleh para druid adalah tempat tinggal Penjaga Agung Hutan. Para druid sepertinya sering melakukan ritual penyembahan di tempat ini, terbukti dengan dupa juga sisa-sisa persembahan makanan di dekat mulut gua.
Posisi mereka kini berada di depan pintu masuk, tepat di bawah pohon saman raksasa. Sebuah tanaman merambat menggantung bagai sulaman tirai, di bagian pinggirnya ditumbuhi oleh tanaman pakis. Seluruhnya sungguh hijau, subur, dan sehat.
"Jadi, kita akan masuk ke dalam?" tanya Molly, masih terkagum dengan pintu masuk gua ini. Ketika mendekat ke bibir gua, ia merasakan angin berhembus membelai wajah dan rambutnya.
"Kau yang akan masuk ke dalam," ralat Vulen serius.
Molly memutar tubuh cepat, tak percaya atas apa yang barusan di dengarnya. Dia menatap mata Vulen, mencari-cari tanda-tanda tipu daya pada wajah si druid, namun Molly tak menemukannya.
"Aku?" Molly bertanya, menegaskan apa yang baru didengarnya.
"Ya, hanya kau," sahut Vulen seraya melepaskan ikatan tangan Molly.
"Tempat ini adalah tempat suci," jelas Druid Agung yang berdiri di belakang Vulen. "Dipercaya hanya para Pembisik Daun yang dapat masuk ke dalam. Aku sendiri telah mencoba, tapi Penjaga Agung Hutan memang memasang penghalang di depan mulut gua."
"Itu tidak masuk akal. Aku tidak tahu tempat ini," protes Molly. "Kemampuanku bertahan hidup juga nol. Bagaimana jika terjadi apa-apa selama aku di dalam? Bagaimana jika aku terluka ... dan mati?"
"Itu artinya kau gagal, dan kami tidak perlu menghukummu, karena Penjaga Agung Hutan telah turun tangan lebih dulu," balas Donna tegas dan langsung.
Molly hendak memprotes kembali, namun berhenti saat secara tak sengaja melihat pergelangan tangan Druid Agung. Sebuah gelang bermanik-manik berwarna jingga, berpendar terkena cahaya matahari, menciptakan kilauan pelangi di dadanya. Kening Molly berkerut, seolah mengenal gelang itu.
"Masuk," perintah Donna tiba-tiba, membuat Molly terkesiap.
"Tunggu, aku tidak tahu tempat ini," Molly masih bersikeras. Ia menarik napas tajam saat Vulen dan Donna mengarahkan tombak kepadanya. Tidak hanya mereka berdua, namun para prajurit yang lain juga. "Kalian tidak mungkin serius menyuruhku ke tempat ini sendirian."
"Diam! Kau sudah berjanji membuatkan patung baru!" bentak Vulen seraya berjalan maju, memaksa Molly mundur.
"Aku mohon, tempat ini gelap. Paling tidak suruh satu orang untuk ikut bersamaku, Tuanku yang bijaksana," pinta Molly kepada Druid Agung, diliputi rasa takut dan putus asa.
Namun mereka tetap tak menggubris. Masing-masing terus mendorong Molly masuk. Ia memohon setengah mati, menggunakan semua kata-kata yang terpikirkan olehnya. Sampai akhirnya dia benar-benar melangkah masuk ke dalam gua.
Mendapati sosok Molly menghilang dari dalam gua, sang Druid Agung tetap diam. Dia menarik napas dalam dan bergumam, "Kau punya waktu sampai matahari terbenam, Molly. Semoga berhasil."[]