Kriet-kriet-kriet
Suara sepeda yang dituntun ditengah hamparan ilalang setinggi pinggul. Matahari tampak terbenam diujung barat, membuat langit bersih tak berawan kala itu penuh dengan warna oranye.
Gadis itu menyusuri jalan setapak di atas bukit Pavella, jalan menuju desa kecilnya. Sejenak ia berhenti untuk memijat kaki yang kelelahan setelah berjalan jauh. Ia menghembuskan nafas berat sambil melihat ban sepedanya, kempis. Saat hendak pulang dari kota gadis itu menabrak sebuah kotak kayu berisi jeruk, membuat ban depannya tertancap serpihan kayu.
Keranjang rajut miliknya juga tampak sedikit bengkok karena terjatuh tadi. Gadis itu kembali berjalan dengan perasaan yang sedih sampai tiba di pekarangan rumahnya.
"Olivia, kau pulang lebih lama dari biasanya, apa yang terjadi? Kenapa menuntun sepeda?" Seorang ibu dengan apron putih melingkar di pinggulnya menghampiri gadis itu, Olivia.
"Tadi.. aku.. aku tidak sengaja menabrak kotak kayu milik seseorang di kota, Ibu. Aku membayar kerugiannya dengan 3 keping logam, maaf kan aku." Kata Olivia menunduk takut. Ini kesalahannya karena tidak berhati-hati, ia terlalu senang karena Ayah nya akan pulang setelah dua bulan lamanya berlayar ke negeri Popilina sampai tak memperhatikan jalanan di depannya.
Ibu mengelus pundak Olivia pelan dan tersenyum. Tak apa katanya, nanti Ayah bisa memperbaiki sepeda putih itu lagi. Mereka pun mulai membuat makan malam yang cukup mewah karena hariini adalah hari yang spesial.
Hampir satu jam setelah makanan siap mereka menunggu pintu utama terbuka dengan suara berat Ayah yang tersenyum lebar, tapi tak kunjung juga Ayah pulang. Si bungsu sudah mulai mencolek sedikit masakan diatas meja saking tidak sabarnya. Karena kasihan, Ibu pun memperbolehkan mereka makan duluan tanpa menunggu Ayah lebih lama lagi. Ibu membantu adik Oliva mengambil ayam yang tidak bisa ia jangkau, Olivia pun ikut mengambil porsi untuk dirinya.
"Ayah pulang."
Sontak Olivia dan kedua adiknya berlari ke pintu utama dan memeluk erat badan Ayah yang tinggi dan besar itu. Ayah tertawa gembira dan mengelus kepala mereka satu persatu.
Makan malam berakhir menyenangkan, makanan yang dibuat Ibu dan Olivia habis tak tersisa. Olivia sudah hampir terlelap di kasurnya tiba-tiba terbangun karena Ayah dan Ibu menghampirinya.
"Ada apa?"
"Oliv, Ayah minta maaf harus mengatakan kabar buruk ini. Ayah di pecat dari kapal nak."
Olivia yang mendengar itu sontak terduduk dengan raut kebingungan. Kenapa Ayah dipecat?
"Tuan Pobe mengalami kebangkrutan di tokonya dan kapalnya. Ia tidak bisa membayar karyawan dalam jumlah banyak lagi sehingga Ayah dihentikan kerja mulai besok."
"Kau tau kan kalau adik mu, Veola sebentar lagi akan pindah ke kota untuk melanjutkan pendidikannya? Kami butuh biaya yang cukup banyak Oliv. Apa kau mengerti maksud Ibu?"
Sambung ibu dengan nada bicara yang lembut dan pelan, tak ingin kedua anaknya yang lain mendengar percakapan ini. Olivia tentu saja paham apa yang dimaksud Ibunya, ia ingin Olivia bekerja lebih keras untuk membantu menyekolahkan Veola.
Olivia terdiam sejenak, ia mengangguk tapi pikirannya ada ditempat lain. Ia senang Ayah pulang hariini, tapi ia juga sedih karna Ayah saat ini tak lagi bekerja di kapal Tuan Pobe. Tapi rasanya seperti ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, perasaan yang membuatnya bingung.
Olivia sekali lagi menggangguk dan mengiyakan permintaan Ibu dan Ayahnya. Bagaimanapun juga Ayah sudah bekerja keras menghidupi mereka semua, dan dirinya adalah 'si sulung' dikeluarga ini. Jadi memang sudah tugasnya ikut membantu perekonomian keluarga, begitu pikirnya. bu dan Ayah memeluk Olivia sebagai tanda sayang dan terimakasih yang disambut hangat olehnya, lalu mereka pergi meninggalkan Olivia untuk beristirahat.
"Aku harus apa?"
Olivia bergumam sambil menatap api kecil didalam lentera. Selama ini, ia bekerja sebagai barista dikedai kopi dan roti Nyonya Irene. Kedai itu cukup ramai karna tempatnya yang strategis dan banyak orang yang suka roti-rotian di kedai itu. Selama ini ia digaji sebanyak 200 koin perak yang selalu cukup untuk kebutuhan sehari-hari.
Tapi, untuk biaya adiknya 200 perak tidaklah cukup. Ia harus mencari pekerjaan sampingan untuk menambah biaya.
"Sekolah ya, aku juga ingin sekolah disana." Olivia menghela napas sedih. Ia juga ingin melanjutkan sekolahnya dikota, Svarloka School namanya. Dimana mereka yang beruntung dapat belajar banyak hal disana. Olivia punya cita-cita menjadi seorang sejarawan, tapi sayangnya Ayah dan Ibu tidak mampu untuk membiayai pendidikannya.
Beruntungnya Veola mendapatkan golden ticket yang hanya bisa didapatkan dengan tes yang sulit, Veola memang anak yang paling pintar diantara ketiganya. Veola memang harus melanjutkan pendidikanya ke Svarloka, dia tidak boleh menyia-nyiakan golden ticket dan otak pintarnya itu.
"Baiklah, dihari berikutnya ayo lebih semangat lagi Oliv!" Katanya kepada diri sendiri kemudian mulai tidur dengan nyenyak. Tanpa Olivia sadari, harini adalah awal mula dimana ia akan menghadapi dunia yang sesungguhnya. Dimana ia akan tumbuh dewasa, mengerti dan lebih menghargai kehidupan.