Saat aku sampai di toko, mobil barang sudah terparkir rapi di area parkir. Sopirnya tampak duduk santai di kursi kemudi, bersandar dengan mata terpejam, seolah menikmati waktu istirahat singkat. Aku melangkah masuk ke dalam toko dan mendapati Wahyu yang sibuk di depan komputer, mengetik dengan serius.
“Kamu yang proses ya, saya mau ambil pinjeman dulu,” katanya cepat sambil berjalan ke arah gudang. Tak lama kemudian, ia kembali dengan membawa uang pinjaman kasir.
Wahyu melepas kemeja seragamnya, menyisakan kaos oblong hitam lusuh. Ia kemudian membuka salah satu rolling door lebar-lebar, bersiap untuk membongkar muatan barang yang baru datang.
Setelah selesai memproses barang di komputer, aku keluar untuk membantu Wahyu. Ia dengan cekatan mulai menarik karton dan kontainer dari dalam mobil, menyusunnya di pinggir. Tugasku adalah menurunkan barang-barang itu ke lantai toko.
“Yuh, semangat, Mis! Tunjukin kalau cewek Primamart itu kuat!” serunya penuh semangat di tengah kesibukannya.
“Emang ada yang bilang kalau cewek Primamart lemah?” balasku sambil mencibir, mencoba menahan senyum.
“Ya nggak, maksudnya, kata siapa cewek lemah? Nih liat, Miskah Almunah Salafiyah, cewek terkuat di Primamart Gandu!” celotehnya dengan nada bercanda, membuatku tak kuasa menahan tawa.
Pagi itu cukup cerah, suasana jalan di depan toko mulai ramai oleh motor yang berlalu lalang. Apalagi, toko kami memang berada tak jauh dari danau Setu yang selalu menjadi tempat favorit orang-orang untuk jogging atau sekadar jalan-jalan di akhir pekan.
“Hari Minggu bukannya jalan-jalan...” gumamku pelan, merasa sedikit iri melihat mereka yang bisa menikmati liburan.
“Apa, Mis? Hari Minggu jalan-jalan? Mana bisa! Kerja dong!” potong Wahyu dengan nada meledek, sambil menarik tumpukan kontainer besar dari dalam mobil. Aku menatapnya dengan kesal.
“Awas, Mis. Ini berat banget, sumpah. Biar saya aja,” ucapnya sambil turun dari mobil, menurunkan kontainer yang katanya berat itu.
“Kan kamu bilang aku kuat,” balasku sambil nyengir, meski akhirnya aku mundur dan membiarkannya melanjutkan.
“Halah, nanti jatuh ketimpa ini lagi kayak waktu itu. Repot deh saya,” ujarnya sambil tertawa, mengingat insiden beberapa minggu lalu.
“Itu sih aku yang dikerjain kamu! Main oper-oper aja, nggak taunya berat banget,” balasku kesal, teringat kejadian memalukan itu.
“Udah deh, kamu ngecek barang aja sana. Ini tinggal sedikit lagi,” katanya, menyuruhku masuk ke dalam.
“Siap, Pak! Laksanakan!” balasku sambil memberi hormat pura-pura, sebelum beranjak meninggalkan Wahyu yang tertawa melihat tingkahku.
"Nih ya, planning saya nih, dengerin. Kita garap pergantian price-tag dulu, kelarin, terus baru garap display barang yang baru datang. Bareng-bareng biar cepat kelar," ujar Wahyu dengan semangat sambil duduk di atas kontainer, menikmati es teh kemasan setelah selesai bongkaran.
"Aku nggak setuju, Way. Pergantian price tag itu lama, belum lagi harus nyisir yang kosong, ganti harga buat rak promosi sama gondola-gondola juga. Mending kita fokus ke kerjaan masing-masing dulu. Aku ngurusin price tag sambil ngasirin, kamu fokus display barang. Biar sama-sama kelarnya," jawabku, berusaha meyakinkan Wahyu.
Wahyu hendak protes, namun seorang bapak tiba-tiba menghampiri kasir, memotong percakapan kami. Aku pun langsung melayani bapak tersebut, menyelesaikan antrian, dan memberikan sapaan kepada konsumen yang berlalu-lalang.
"Saya nggak bisa ngecek stok di komputer-nya, kamu aja deh sekalian biar bareng-bareng, barang mah cepet kok kalo bareng-bareng dikerjainnya," Wahyu masih berusaha meyakinkan aku untuk setuju dengan rencananya.
Kami berdua memang susah sekali untuk sepakat. Wahyu merasa dia yang bertanggung jawab sebagai pimpinan shift, sementara aku merasa lebih tahu apa yang perlu dilakukan, dan sudah terbukti beberapa kali kalau rencanaku lebih efektif.
"Gini aja deh. Oke, sekarang aku yang ngecek barang kontainer, sementara kamu bersih-bersih dulu. Abis itu kamu yang beresin barang, aku pasangin price tag sama nyisir rak promosi aja deh. Terus bantuin kamu, biar kamu sempet ngefull juga," ucapku, mencoba menengahi perdebatan kami.
Akhirnya Wahyu menyetujuinya meskipun dengan berat hati. Dia pun berjalan ke gudang untuk mengambil alat bersih-bersih, lalu kembali menghampiriku.
"Mis, nyalain musik Mis, tapi jangan lagu bahasa Inggris," perintahnya.
Aku mengambil remot TV, mengecilkan volume yang isinya hanya iklan-iklan dan drama Prima Mart yang membosankan. Lalu, aku meraih ponsel untuk memilih musik yang akan didengarkan pagi itu.
"Sst, udah dengerin aja jangan banyak komen," ucapku sambil menahan agar Wahyu nggak protes ketika aku memutar lagu bahasa Inggris. Aku memilih playlist Alan Walker, dimulai dengan lagu 'Not You'.
Lihatlah lelaki itu, aku senang karena akhirnya Wahyu mulai joget-joget dan menikmati lagu-lagu pilihanku. Meskipun selera musik kami berbeda, itu yang justru membuat kami saling mengerti. Aku suka lagu-lagu bahasa Inggris lawas seperti Adele, Alan Walker, atau One Direction, sementara Wahyu lebih suka lagu-lagu lokal terbaru seperti Dendi Nata, The Lantis, atau Batas Senja, yang nama-nama penyanyinya pun terasa asing di telingaku.
Jam 11 siang, menjelang waktu Duhur, suasana di toko mulai sedikit lebih sepi. Aku sibuk memasang price tag di rak mie instan, sementara Wahyu juga ada di sana, tengah mendisplay bumbu dapur yang masih satu lorong dengan rak mie tersebut.
"Nih, yang kaya gini nih, Bunda bisa tau, terus nanti diomelin. Bisa-bisaan, kik," ujar Wahyu sambil menunjuk debu yang sebenarnya tidak terlalu menumpuk di balik bumbu-bumbu sachet.
Aku tertawa mendengarnya, "Ya dia kan emang hobi ngecekin rak. Matanya emang jeli banget."
"Wah, Bunda tuh matanya banyak, tau nggak sih? Kayaknya dia tuh bukan manusia, tapi makhluk mistis gitu. Makanya kadang sikapnya kayak gitu. Kayak nggak punya perasaan, tega, kejam, jeli, dan paling peka kalo ada yang nggak beres sedikitpun," terang Wahyu dengan ekspresi yang dibuat serius.
"Bukan, menurut aku sih, dia itu sejenis robot. Di matanya ada monitor gaib yang memuat data-data gitu, kayak di film-film luar, Way. Makanya dia tau price tag mana yang kosong, barang apa yang belum di-full, sama stock barang di gudang. Dan tau pasti rak mana yang cuma ditiup doang biar bersih, bukannya dilap yang bener," jawabku, sambil menanggapi dengan ekspresi yang juga dibuat serius. Wahyu mengangguk setuju dengan antusias, seolah baru saja mendengar pendapat yang luar biasa.
"Iya.... iya, jangan-jangan bener loh Mis, patut dicurigai sih," ucapnya, dengan ekspresi seolah berpikir keras, sementara aku hanya tertawa kecil dan meninggalkannya untuk melanjutkan pekerjaan. Kami kembali sibuk dengan aktivitas masing-masing hingga adzan Dzuhur terdengar. Tak lama kemudian, Wahyu menghampiriku membawa kontainer kosong.
"Mis," Wahyu memanggilku sambil menumpuk kontainer kosong dan menariknya ke arah gudang. Aku mendelik tanpa menjawab.
"Kamu penawarannya di gacorin dong. Masa dari kemarin sales-nya kecil banget. Saya diomelin Bunda nih, dikiranya gak bisa ngawal kamu," ucapnya serius.
"Iyya, iya pak. Tapi jujur, aku lagi males banget sih. Aku mulai muak banget jadi kasir, Pak. Baterai sosialku nih udah - tinggal dua puluh persen, jarang di-charge. Seorang introvert harus ketemu dan ngobrol sama konsumen terus, lama-lama capek juga tau," keluhku, Wahyu langsung menjitak dahiku, aku gak sempat menghindar.
"Ya gak bisa gitu lah. Itu kan kerjaan kamu. Gimana sih, katanya kasir andalan cabang, masa gitu aja capek?" cibirnya, sambil senyum nakal. Aku mendengus, menatapnya kesal.
"Yaudah, iyaa. Maaf gara-gara aku kamu jadi diomelin Bunda, maaf ya Pak kalau aku masih belum maksimal, maaf aku jadi kasir masih banyak diemnya. Maaf aku masih sering gak nurut sama pimpinan shift. Gara-gara aku kamu dimarahin terus sama Bunda," ucapku serius, tapi dengan nada sedikit bercanda. Wahyu menatapku sungkan, namun tidak benar-benar menganggapnya serius.
"Emang. Semua ini tuh gara-gara kamu, Mis. Pokoknya gara-gara kamu! Saya masuk pagi 3x juga gara-gara kamu, saya hari ini kena jadwal barang juga karena kamu!" balasnya sambil tertawa, tapi tetap kesal. Aku menatapnya dengan sinis.
"Iya ya. Semua emang gara-gara aku. Emang aku ini salah terus di mata kamu, Way. Sampai bingung deh, yang cewek di sini tuh aku atau kamu? Kok aku mulu yang disalahin? Bukannya cowok yang selalu salah di mata cewek?" Wahyu tertawa mendengar gerutuku.
Aku tahu, meskipun dia suka bercanda, Wahyu sebenarnya paham kalau kita berdua sama-sama berusaha. Dia sering bantu aku, dan aku juga selalu bantu dia. Kami tahu kemampuan masing-masing. Dia juga sering tanya soal kasir dan promosi yang jelas aku lebih paham. Tapi di sisi lain, Wahyu juga sering ngasih pelajaran, terutama soal sikap.
Aku yang secara alami introvert, gak terlalu kepo, gak peka, dan gak bisa basa-basi, banyak belajar dari dia.
"Makasih, gitu. Bilang makasih walaupun dia gak bener-bener bantu, tapi gapapa bilang makasih. Itu hal kecil, tapi dampaknya besar loh Mis. Dia merasa lebih dihargai," katanya suatu hari, menjelaskan tentang hal-hal kecil yang sebenarnya penting.
"Yang humble Mis. Kalau ada konsumen kaya gitu, kita juga harus humble, biar kita juga enak kan mau penawarannya," tambahnya.
Yah, meskipun kadang aku males kalau dia mulai menggurui, "Kamu tuh harusnya bla...bla...bla..." tapi aku sadar, aku harus berterima kasih padanya, meski kadang merasa diremehkan.
Wahyu bertepuk tangan bangga menyambutku yang berjalan melewatinya ke arah gudang. Dia menarik tumpukan kontainer kosong ke arah gudang.
"Berkat rencana kamu, kerjaan kita kelar semua," ucapnya dengan nada puas saat kami berada di gudang setelah selesai bekerja. Aku mendengus, enggak mau besar kepala.
"Tetep aja baliknya overtime. Bunda mau briefing dulu katanya."
"Iyah duh, mana dia kalau briefing lama banget lagi," keluh Wahyu.
"Udah ngomong 'yaudah mungkin itu aja yang mau saya sampein,' tapi ga ditutup-tutup briefingnya, jadi panjang lagi, ga kelar-kelar," jawabku sambil tertawa. Wahyu ikut terkekeh.
"Iyah, enggak sih, Mis?" Latip tiba-tiba datang dan menimbrung, aku menatapnya sinis.
"Diam, Tip. Aku lagi bete banget nih," gumamku. Latip dan Wahyu menertawaiku.
"Eh, besok Bunda libur. Kamu katanya masuk sama anak baru, Mis," ucap Latip pelan, matanya mendelik ke arah pintu gudang, takut Bunda atau Arman tiba-tiba muncul.
"Ya itu, makanya. Kamu bayangin, besok pertama kalinya aku jadi pimpinan shift, masa masuknya sama Arman? At least sama kamu lah yang udah lama di sini walaupun masih pramu juga," jawabku, masih kesal.
"Iya ya, parah banget emang si Bunda tuh," Latip turut bersedih mendengar keluhanku.
"Besok juga pertama kali masuk sama kamu, Tip. Mantap, Tip, nggak ada barang, nggak ada Bunda, bisa balik cepet nih," Wahyu nyengir, alisnya naik turun, makin bikin aku kesal.
"Iyalah. Jam tiga kalo bisa sih udah pulang, ya pak?" ucap Latip menggodaku. Aku mendengus kesal.
Tiba-tiba Bunda muncul, membuat kami salah tingkah dan pura-pura sibuk.
"Bu, ini beneran besok aku ngeshift sama Arman?" tanyaku pelan, berharap Bunda berpikir ulang.
"Iya, Mis, emang kenapa? Udah diajarin semua sama Wahyu, kan?" jawab Bunda dengan tenang.
"Iya sih, Bu. Tapi nanti kalo ada apa-apa gimana?" tanyaku dengan cemas.
"Ya gapapa, kamu bisa telpon saya atau Wahyu kan," jawab Bunda berupaya menenangkanku. Perempuan dua puluh tujuh tahun itu kembali meninggalkan gudang setelah mengambil kanebo.
"Udah Mis, gapapa. Kalo ada apa-apa kan bisa telpon Bunda. Kalo Bunda ga aktif ya telepon saya," ucap Wahyu, mencoba menenangkan.
"Tau ah. Sebel aku sama Bunda. Aku di sini paling lama bareng dia, tapi aku masih nggak ngerti sama jalan pikirannya tuh. Kenapa gitu loh?" gerutuku.
"Orang tuh pengennya di ngertiin terus tapi nggak mau jelasin alasannya. Gimana aku mau husnuzan terus coba?" lanjutku, merasa frustasi. Wahyu dan Latip terdiam melihat aku cemberut.
"Udah, udah sabar bun," ucap Latip kemudian terkekeh.
"Ya maksudnya tuh emang kenapa harus sama Arman? Kalau sama kamu kan setidaknya kamu bisa bantuin aku karena udah lama juga. Ini sama Arman, aku aja belum kenal, terus nanti kalau ada yang salah atau kelewat, aku nggak tahu gimana? Nanti ngomel-ngomel lagi Bunda," ucapku kesal. Aku memandangi Wahyu dan Latip yang cuma bisa fokus mendisplay sisa barang dengan santai.
Latip mengangguk pelan, matanya masih tertuju pada rak barang yang sedang ia atur, seolah sibuk tapi tahu betul perasaan aku. Wahyu cuma mengangkat bahu sambil mengemas kontainer yang tersisa.
"Yah, gitu deh Mis, kadang Bunda tuh emang kayak gitu, ya. Susah percaya sama ‘anak-anak’nya, tapi begitu percaya kaya langsung dibiarin, dilepas gitu aja" jawab Wahyu dengan santai, seakan itu sudah jadi hal biasa. "Tapi yang penting kamu tetap bisa handle lah, ya. Insya Allah aman kok."
Aku menghela napas, masih merasa gak puas dengan keputusan Bunda yang kadang bikin bingung. "Iya, iya, tapi kan tetep aja. Emang sih, ya, aku juga bisa kok handle, cuma ya pengennya sama orang yang udah kenal. Kalau sama orang yang baru kan serba nggak jelas."
Latip melirik aku sejenak dan tersenyum. "Nanti juga lama-lama kenal kok, Mis. Santai aja. Jangan buru-buru kepikiran, nanti malah gak enak sendiri."
Aku mengangguk pelan, meski masih ada rasa gak nyaman. “Ya udah lah ya. Pokoknya kalo ada yang apa-apa, aku telepon kamu, Pak. Kamu harus one call a Way ya!”
Wahyu cuma ngangguk sambil mencibir "iyaa duh, buat Kanjeng Ratu mah apaa sih yang enggak?" Membuat Latip dan aku tertawa kecil.
Nggak sabar part 3 🤗🤗
Comment on chapter BAB 2