Si tinggi berkulit sawo matang, rambut batok, dengan wajah babyface berseragam toko tengah sibuk mengikat kardus bekas. Dia tampak tak menghiraukan kehadiranku, meski aku sengaja mampir di hari libur kerja hanya untuk melihat anak baru itu. Barangkali lelaki dua puluh tahun itu mengira aku hanyalah konsumen yang sekadar numpang ke kamar mandi.
Namun, siapa sangka kalau momen sederhana itu menjadi awal dari kisah pertemuan kami. Wahyu—yang awalnya jaim dan pemalu, jarang bicara—kini telah berubah menjadi sosok yang cukup akrab denganku setelah waktu yang lama kami habiskan bersama.
"Miska yang sebenarnya itu ya Miska kalau lagi sama saya," ucap Wahyu tiba-tiba di tengah obrolan sore kami.
Aku nyengir, menatapnya. "Aku terlalu jadi diri sendiri, ya? Terus kamu ilfeel nggak, Way?" tanyaku sambil melirik lelaki itu yang sedang sibuk mengisi ceklist toko di depan komputer.
"Hah? Ilfeel?" Wahyu menatapku bingung.
"Iya, soalnya aku tuh kalau makin kenal sama orang, kadang makin ilfeel. Kayak aku ke kamu sekarang." Aku cengengesan, mencoba menggoda.
"Yeeeh iya. Saya juga ilfeel banget sama kamu," sahutnya cepat sambil mengepalkan tangan, seolah ingin menonjokku.
"Soalnya kamu tuh songong banget! Pengen tak tonjok nih," lanjutnya bercanda.
Aku tertawa keras sambil menghindar dari tangannya yang terangkat. "Hahaha, udah, Way! Ampun! Nih, aku bawa sesuatu," kataku, mencoba meredakan suasana.
Aku mengeluarkan sekotak wadah berisi keripik pisang buatan kakakku. Mata Wahyu langsung berbinar melihatnya, seperti anak kecil yang baru saja diberi hadiah.
"Ih, aseek! Kamu tau nggak sih, keripik pisang tuh snack terenak di dunia," ucap Wahyu dengan nada lebay, membuatku tertawa kecil.
"Emang iya, Way?" tanyaku, setengah nggak percaya.
"Dih iya, beneran, anjir. Sok aja cari di Google, snack terenak di dunia tuh ini," katanya sambil menunjuk keripik di tangannya.
"Masa sih? Aku nggak tau tuh," balasku, menyodorkan kotak keripik padanya.
"Nyammm." Wahyu mulai mengunyah keripik pisang itu dengan penuh semangat. Tangannya terus menyuapkan potongan demi potongan hingga mulutnya penuh. Aku memandangnya dengan kesal.
"Hmm, tapi ini ada yang kurang, Mis. Kurang bumbu, hambar banget," celotehnya sambil terus mengunyah.
"Kamu mah nggak ngerti. Justru ini tuh rasa original, masih otentik. Masa kurang bumbu," aku merebut kotak keripik dari tangannya.
"Di sini ada bumbu kering nggak sih, Mis?" tanyanya sambil mengerutkan dahi.
"Ada. Bumbu kentang goreng tuh, di rak BFD 1."
"Nah, iya! Bentar, bentar, jangan dihabisin!" Wahyu langsung berlari ke lorong bumbu. Tak lama kemudian, dia kembali membawa satu sachet bumbu kentang rasa barbeque.
"Tiga rebu doang, kan? Strukkin, Mis," ujarnya, sambil meng-scan barcode bumbu di kasir anak. Dengan cepat, dia membuka kemasan bumbu itu.
"Minus dong kasiran aku. Bayar, ah. Sini!" aku menjulurkan tangan meminta uang.
Wahyu merogoh kantong kemejanya, lalu menyerahkan uang dua ribuan. "Seribunya dari kamu ya," ucapnya santai.
"Kebiasaan banget ih, malesin."
"Husssh, udah diem! Kan nanti buat barengan juga. Nih, liat, chef Wahyu mau beraksi," balasnya penuh percaya diri.
Dia menaburkan bumbu ke dalam kotak keripik, lalu menutupnya dan mengguncangnya dengan semangat. Begitu kotak itu dibuka, semerbak aroma bumbu menguar, membuat kami berdua terbatuk-batuk.
"Anjir! Nyegrak banget," keluh Wahyu, sambil menggosok hidungnya yang memerah.
"Kaan! Nyesel banget aku ngebiarin kamu ngerusak makanan aku. Itu makanan aku, loh!" protesku sambil melihatnya mencicipi keripik yang sudah dibumbui.
"Hmmm... enak, enak. Enak kok, Mis. Nih, cobain," katanya, menyodorkan keripik padaku.
"Enakan yang original, ih. Kakak aku nangis ini kalo tau keripiknya dibumbuin sama kamu," balasku, mencibir.
Wahyu cengengesan. "Salamin buat kakak kamu, bilang aja Wahyu suka banget. Ntar saya habisin, tenang aja," ucapnya santai sambil terus melahap keripik itu.
Dia kemudian beranjak ke lorong ujung dan kembali dengan dua botol air mineral dingin. Satu dia serahkan padaku, satunya lagi dia buka dan langsung diteguk.
"Buat kamu tuh. Ntar saya bayar pake primoney," katanya.
Aku tak menjawab, hanya menerima botol itu dan ikut meneguknya.
___
Jam menunjukkan pukul 22:15 saat aku dan Wahyu bersiap untuk pulang.
"Mis, kunci dibawa kamu ya," ucap Wahyu sambil memasukkan helm ke kepalanya.
"Ck, biasanya juga gitu," balasku dengan nada datar.
Wahyu nyengir sungkan, seperti biasa. Lelaki itu menyampirkan sweaternya ke bahu lalu berdiri menunggu aku yang masih menyelesaikan proses closing.
"Saya tuh nggak bisa bangun pagi, Mis. Bukan tipe morning person kayak kamu," ucapnya beralasan.
"Kan ada alarm, Way." Timpalku.
"Nih ya, kalo kamu mau tau alarm saya," katanya sembari mengangkat ponselnya. Tiba-tiba suara band rock yang super berisik menggema dari sana, membuatku refleks menutup telinga.
"Sumpah, Mis. Saya tetep nggak bangun meskipun udah setel alarm ini. Yang ada malah dimaki-maki orang rumah karena berisik."
"Itu berisik banget, sih. Dan sangat-sangat mengganggu. Aku juga sebel banget kalo pagi-pagi ada alarm kenceng tapi yang punya nggak bangun," komentarku sarkastis.
Wahyu tertawa. Tawanya menular, aku ikut tertawa melihat tingkah absurdnya.
"Terus, kamu bangunnya gimana kalo harus pagi?" tanyaku, penasaran.
"Disiram air, Mis! Sumpah, Mama saya tuh masuk kamar terus nyiram sambil ngomel-ngomel."
Aku tergelak, tertawa keras mendengar jawabannya, apalagi saat Wahyu menirukan gaya Mamanya ngomel-ngomel waktu membangunkannya.
"Udah, udah, jangan ketawa aja, Mis. Udah malem ini. Cepet, saya mau pulang," katanya sambil memasang wajah sebal yang sama sekali nggak meyakinkan.
"Sabar, kali. Ini bentar lagi selesai," balasku sambil menyelesaikan hitungan terakhir.
Wahyu keluar lebih dulu, mengambil gembok tabung, lalu mengunci rolling door di sisi sebelah. Ia juga mematikan lampu area penjualan sebelum memeriksa barang bawaannya satu per satu.
"HP, charger, helm, kunci... okeh, aman," gumamnya pelan sambil mengangguk puas. Setelah itu, dia langsung mengunci pintu toko, tak lupa memotret rolling door dengan timestamp untuk laporan.
Aku sudah menunggu di atas motorku. Wahyu menyusul, memakai sweaternya, tapi dia tidak langsung berangkat. Sebaliknya, dia men-starter motornya lalu sibuk scroll-scroll di ponselnya, seolah sengaja membuatku menunggu.
"Wahyu? Kamu ngapain sih?" tanyaku kesal.
"Bentar, Mis. Dipanasin dulu motornya, hehe," jawabnya santai.
Aku mendengus, lalu menarik gas dan meninggalkannya di belakang.
Tak lama kemudian, Wahyu menyusul.
"Kamu ngajak balapan, Mis? Saya ngeri liat kamu ngebut, anjir!" teriaknya saat berhasil menyamai kecepatanku.
"Enggak! Kamu harus tetep di belakang aku!" balasku, ikut berteriak.
Setelah itu, entah apa yang dia katakan lagi, aku nggak mendengarnya. Kini Wahyu berada di belakangku, seperti biasa. Kami melaju bersama hingga tiba di jalan pantura, tempat kami harus berpisah. Wahyu mengklaksonku sekali sebelum belok ke kiri, sementara aku harus menyeberang untuk menuju rumah.
Perasaan seperti inilah yang paling aku sukai setiap kali pulang kerja shift dua. Perjalanan lima belas menit dari toko ke rumah di jalanan yang sepi, dengan udara malam yang membawa angin segar. Untuk aku, yang gadis rumahan dengan keluarga strict, pulang jam setengah sebelas malam adalah pengalaman mahal. Apalagi naik motor sendiri, ditemani manusia absurd seperti Wahyu yang setia mengawal di belakang. Aman, damai, bebas...
ーー
Tepat pukul 06:30 aku sampai di toko. Membuka kunci rolling door, lalu pintu kaca, menyalakan lampu, lalu masuk toko. Turn off alarm, lalu menyalakan komputer, dan sambil menunggu loading, aku juga menyalakan TV, AC, dan juga lampu kulkas. Setelah itu absen dengan fingerprint dan isi Form check body, mencatat apa saja yang aku bawa.
Wahyu datang tak lama kemudian. Langsung finger absen, initial dan membuka program kasir, dan bergegas untuk mengambil modal/pinjaman kasir.
"Saya mau berak dulu ya Mis” ucap Wahyu sambil tersenyum kecil. -Like every-morning. to do list pertamanya di toko ketika masuk pagi adalah: Berak.
Aku menghiraukannya dan kembali fokus melanjutkan rutinitas pagiku; mengelap meja kasir, merapikan barang promosinya supaya full dan menarik konsumen, lalu mengelap pintu kaca, dan juga cooler serta pintu kulkas, tak lupa membuka-tutup pintunya agar air endapannya turun, menjadikan satu lorong itu becek Dan kotor. Tak apa, karena nanti bagian Wahyu yang akan membersihkannya.
Jam 7 teng, Aku membuka semua rolling door, pertanda toko sudah siap untuk menyambut konsumen pertama harı ini. dan ya, seperti biasa, konsumen itu adalah ibu-ibu muda yang akan mengantar anaknya sekolah TK.
"Selamat Datang, Selamat berbelanja"
Aku menyapa dengan ramah, si bu mengangguk kecil dan balas tersenyum lalu masuk ke toko.
Wahyu pun datang dengan kanebo dan sebotol semprotan pembersih, tanpa menghiraukan aku, dia keluar, siap melakukan rutinitas paginya, mengelap galon, membersihkan tong sampah, dan memastikan teras serta parkiran toko bersih. Sementara aku mencetak perubahan harga dan memasangnya sesuai produk.
Wahyu kemudian duduk di area kasir setelah mengepel beberapa titik toko yang kotor, Sisanya sudah dia pel semalam, sekarang ia tinggal melaporkan rutinitas paginya itu di grup yang sudah dibagi per jobdesknya.
"kita mulai kerja nanti jam setengah sembilan aja. Nanti saya ngerjain supervisi, terus makan, abis itu gantian kamu makan sama solat, terus saya full display. Jam satu kamu nyapu, trus beberes, kerapian full display. Saya ngepel, kelar deh tutupan"
Walaupun jarang briefing awal shift, tapi kami memang terbiasa untuk membuat rencana dan mendiskusikan pembagian pekerjaan. Ini mungkin tidak berlaku untuk yang lain, tapi kalo aku satu shift sama Wahyu memang harus begini supaya ga ribut mulu. Ini demi kesejahteraan bersama supaya semua pekerjaan selesai tanpa harus overtime.
"Terus, kerjaan aku gimana, Pak? males banget sumpah." Aku mengeluh, Wahyu melirikku.
“Ngeretur doang gampang kok. tinggal retur-retur aja” Aku menatapnya dengan memelas.
"kekurangannya personil disini tuh gini nih. gak pernah diajarin yang bukan jobdesknya, pas tiba-tiba naik jabatan, jadi gak bisa apa. Ck, dari dulu pengen diajarin ini itu, tapi Bunda selalu ga percaya, takut salah lah, takut nggak maksimal lah. Padahal namanya juga belajar kan wajar kaya gitu”
Wahyu mendengus. Tentu Ia paham perasaanku karena dia juga merasakannya. Bahkan, ini kali keduanya naik jabatan tanpa keinginannya.
"Saya apa kabar Mis? baru berapa bulan jadi SJL, Sekarang tiba-tiba jadi asisten. mana kudu ngajarin kamu, suruh ngajarin pramu baru juga. Semua aja diserahin ke saya!” malah terbawa emosi, dia melanjutkan keluhannya.
"Saya juga butuh belajar. Tugas asisten nih bikin RRAK doang, tapi krusial tau gak sih? Mumet banget! Aaaah, Semua ini gara Buncit yang tiba-tiba resign. Padahal saya berkali-kali nolak naik jabatan, tapi Bunda gamau asistennya orang lain. bikin kita jadi gak punya pilihan”
Wahyu mendengus Aku ikut menghela nafas.
"Udahlah, ngeluh terus juga nggak ada gunanya. Yang ada nanti kerjaan kita nggak kelar-kelar. Mending kamu belajar ngisi checklist toko aja," ucap Wahyu akhirnya.
"Gimana?" tanyaku dengan memelas, ekspresiku malah membuat Wahyu semakin terlihat jengkel.
"Kamu jangan pura-pura bodoh ya. Saya tau kamu bisa," cibirnya. Aku tergelak pelan.
"Iya, iya. Aku bisa buka programnya, tapi masih nggak tahu apa yang mesti diisi nih, Pak."
Wahyu beranjak, berdiri di sampingku, menatap layar monitor induk sambil menunjuk pojok kanan atas monitor.
"Nih, di menu ini ada ceklis kepala toko, asisten kepala toko, sama SJL. Nah, ketiga-tiganya mesti diisi tiap hari. Caranya, kamu login dulu pakai NIK karyawannya," jelas Wahyu perlahan. Aku mengangguk paham.
"Oh, oke, oke, Pak."
"Pak, Pak... Kamu bisa stop panggil saya 'Pak' nggak? Saya ngerasa tua banget, anjir. Padahal kita seumuran," protes Wahyu sambil menyentil punggung tanganku. Aku tertawa kecil.
"Aku itu menghormati kamu, loh, Way. Walaupun kita seumuran, tapi di sini kamu punya jabatan lebih tinggi. Kamu pimpinan shift. Di toko lain juga biasa kok dipanggil Bapak," jelasku sambil tersenyum.
"Tapi saya nggak suka yaa. Tenang, saya mah nggak gila hormat juga," ucapnya, lalu menunjuk monitor lagi, mengarahkan mana yang harus aku klik.
"Mamih manajer kita aja tuh, manggil saya bukan 'Pak,' tapi 'Mas.' Kamu tau kan, dia kalau manggil yang lain pake 'Pak' atau 'Bu.' Tapi ke saya doang manggilnya 'Mas Wahyu,'" lanjutnya bangga.
"Udah nih? Gini doang?" tanyaku setelah semua arahan selesai aku kerjakan.
"Siip. Tinggal difoto buat laporan," jawab Wahyu sambil meraih ponselnya. Namun, ponsel yang sudah lemot itu malah memakan waktu lama untuk membuka kamera.
"Hah! Anjir, kaget!" serunya tiba-tiba.
Aku langsung tertawa terbahak-bahak. Kamera ponselnya malah mengarah ke kami berdua. Posisi kami yang berdekatan—sama-sama menghadap monitor—membuat adegan itu terlihat semakin lucu.
Masih tertawa kecil, Wahyu mengatur kamera ponselnya agar menggunakan kamera belakang, lalu memfoto checklist toko di layar komputer.
"Udah kan? Yaudah, sana kerjain supervisi. Ini udah jam setengah sembilan, tuh. Lebih lima menit," ujarku.
"Eh, eh, eh... Anda siapa, berani-beraninya nyuruh-nyuruh saya?" Wahyu melipat tangannya dengan gaya dramatis.
Aku meliriknya datar, lalu berkata santai, "Bentar, bentar, finger dulu, Bapak."
Wahyu mencibir, tapi tetap menurut.
"Dibilangin jangan panggil 'Pak!'" katanya sebelum melenggang pergi.
Aku tertawa kecil sambil menimpali, "Ya nggak apa-apa sih, calon Bapak juga kan?"
Dan Wahyu hanya cengengesan mendengarnya.
Nggak sabar part 3 🤗🤗
Comment on chapter BAB 2