Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kembang Sukmo
MENU
About Us  

“Ada hal-hal yang kita yakini, tidak selalu urusannya dengan duniawi.”

Samara yang baru terbangun, duduk termenung di atas kasur. Kata-kata itu terus terngiang. Ia teringat ibunya memang pernah mengucapkannya; dua hari sebelum beliau pergi ke Bali.

Mendadak Samara terkesiap hebat. Kilasan wajah ibunya yang berlumuran darah terlintas dalam benaknya.

“Ibu—” bisiknya lirih.

Semalam adalah mimpi paling buruk yang dialaminya.

Sejenak ia memeriksa handphone. Pesan terakhirnya masih belum terkirim. Apakah ibunya tak menyalakan handphone seharian? Ataukah ada kendala mengisi baterai?

Samara benar-benar cemas. Dua hari sudah lewat sejak ibunya pamit pergi ke Bali. Kini hari silih berganti Selasa. Ia bingung harus mencari tahu ke mana. Karena tak ada yang bisa dihubungi untuk memeriksa keadaan ibunya, ia hanya bisa menunggu dalam kegetiran.

Ruangan berukuran 3 x 5 sentimeter ini terasa panas. Terik matahari menembus tirai jendela kamarnya. Jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi.

Ia tak menyalakan AC karena semalam sangat dingin. Kini keringat bercucuran di kedua pelipisnya. Rambutnya juga basah karena banyak berkeringat. Segera ia mengusap wajahnya. Lalu menyibakkan selimut tebalnya seraya beranjak dari atas kasur.

Samara berlari keluar kamar mencari si Mbok. Ia menyeru, “Mbok! Tadi ada telepon dari Ibu, enggak?!”

Si Mbok yang tengah memegang sapu dan pengki menghampirinya dari teras. Lalu si Mbok berkata, “Ndak ada, Ndoro.”

Samara mengerutkan bibir, wajahnya masam.

“Apa Ndoro sudah coba hubungi lagi?” tanya Mbok Miyem.

Samara mengangguk lesu sambil memainkan jari jemarinya. “Sudah, tapi HP Ibu sepertinya enggak nyala dari kemarin.”

Si Mbok menggaruk-garuk rambut cepol berubannya. Lalu si Mbok bergumam, “Waduh, Gusti Allah paringi keselamatan kalih Gusti Laras. Semoga tidak terjadi hal-hal buruk—”

Samara meliriknya dan bertanya, “Apa Ibu ada ngomong sesuatu sebelum pergi?”

Si Mbok menggelengkan kepala, raut wajahnya nampak cemas.

“Kenapa perasaanku enggak enak, ya, Mbok?” ujar Samara, mengerutkan dahinya.

Si Mbok menyahut lugas, “Ndoro Ayu, sebaiknya mandi dulu, terus sarapan. Kita berdo’a yang baik-baik saja. Semoga Gusti Laras cepat pulang dengan selamat.”

Samara menghembuskan nafas panjang. Ia mencoba menepis firasat tak nyamannya. Ia cepat-cepat mandi dan sarapan pagi.

***

Sampai hari Rabu, Samara belum mendengar kabar dari ibunya. Ia sungguh cemas. Firasat buruknya semakin menjadi-jadi. Bagai ada suara batin yang memberitahunya; sesuatu tengah menimpa ibunya.

Ia coba menepis bayang-bayang kabut pikirannya. Ia tak mau mengiyakan pikiran tak baik itu. Namun rasa kerisauan terus menggelora dalam batinnya.

Pagi-pagi, Mbok Miyem mengangkat telepon di rumah. Dari ambang pintu kamar, Samara diam-diam mendengarkan.

“Ya Allah, Gusti…” suara si Mbok terdengar cemas. “Punapi leres pawarta punika?” [1]

Samara memincingkan mata, penasaran apa yang tengah dibicarakan. Jika saja ia mampu berbahasa krama, sudah pasti tidak akan kebingungan mendengar ucapan si Mbok.

“Aduh, kados pundi meniko? Raosipun dalem mboten percados bilih panjenengan dalem enggal sanget kapundut ipun,” [2] ujar si Mbok di telepon.

Menilai dari wajah si Mbok yang nampak gundah, Samara semakin curiga ada yang tidak beres.

Tak lama selang si Mbok menutup telepon, Samara mendatanginya dan bertanya, “Siapa tadi yang nelpon, Mbok?”

Wajah si mbok nampak begitu gundah gulana. Si Mbok menundukkan pandangannya dan masih terdiam beberapa saat.

Samara heran apa yang terjadi. “Mbok—”

Tiba-tiba si Mbok duduk bersimpuh di lututnya. Samara terkejut. Apalagi si Mbok menggelendoti betis langsingnya.

Samara berhati-hati melepas tangan si Mbok seraya bertanya, “Mbok, ada apa sih?”

“Si Mbok nerima telepon, ada yang mengabari kalau—” suara tangisannya pecah.

Samara mengernyit heran. “Kalau kenapa?”

Si Mbok menyahut, “Kabar duka, Ndoro! Ada kabar duka!”

Jantungnya berdegup resah. Namun Samara tak mau menebak-nebak dalam hati. Ia langsung mempertanyakannya, “Maksudnya gimana, Mbok?”

Suara tangisan si Mbok semakin kencang seraya menjawab, “Gusti sampun sedo, Ndoro!”

Sampun sedo?” Ia tak asing dengan kosakata krama kali ini. “Maksudnya siapa yang meninggal?!”

Si Mbok terus menangis haru di lututnya sambil berbicara, “Gusti Laras—”

“Enggak mungkin, Mbok!” sahut Samara, tak mempercayainya. “Memangnya itu tadi telepon dari siapa?!”

“Dari orang yang ada di Bali, katanya yang punya Galeri Batilar,” ucap si Mbok, memberitahunya.

“Galeri Batilar?” gumam Samara. “Toko lukisan? Ibu memang bilang mau ketemu penjual lukisan di sana.”

Si Mbok mengangguk cepat, “Nggih, leres. Katanya toko lukisan.”

Bibir Samara bergetar, sekujur tubuhnya mematung. Mendadak ia teringat mimpi buruknya semalam. Lumuran darah pada wajah ibunya bagai mengungkap suatu pertanda. Namun ia tak mau cepat-cepat menjadikan mimpi itu sebagai petunjuk.

“Mbok, kita belum tahu kejelasannya. Orang itu saja ngabarin cuma di telepon!” Samara mendebatnya. “Lebih baik kita tunggu saja nomer kontak Ibu bisa dihubungi lagi.”

“Tapi Ndoro, bagaimana mungkin orang di Bali tadi bisa tahu nomer rumah?” tanya si Mbok, kebingungan.

“Nama penelponnya siapa sih, Mbok?” tanya Samara, geram.

Si Mbok mencoba mengingatnya, “Kalau ndak salah, Pak Hamidjoyo namanya. Tapi Mbok ndak kenal—”

“Aku juga enggak kenal sama beliau. Makanya kita pastikan dulu kebenaran beritanya,” ujar Samara. “Bisa jadi cuma kabar burung yang ngawur!”

Si Mbok berkedip cepat, nampak gelisah. Lalu ia memberitahunya, “Tapi beliau mengatakan dengan jelas; Gusti Laras serangan jantung. Jasadnya dalam perjalanan dipulangkan ke Surakarta.”

“Mbok! Aku enggak percaya kabar burung enggak jelas kayak gitu!” sahutnya, geram.

Si Mbok terdiam lesu. Dalam hening hanya menangis haru. Sedangkan Samara merengut kesal sendiri. Dalam batin ia berharap berita itu tidak benar. Bagaimana mungkin ibunya tiba-tiba meninggal dunia? Ia tak mau percaya begitu saja berita dari orang asing.

Selang beberapa saat, datang kiriman surat dari kurir. Samara menerimanya di depan pagar rumah. Sambil berjalan masuk ke teras, ia mengernyit saat mencermati label nama pada surat. Lantas ia membatin; apakah surat ini salah alamat?

Setelah masuk ke ruang tamu, ia segera membuka surat beramplop putih itu. Ia semakin membelalak heran. Terdapat kop keraton Solo pada bagian atas kertas. Berlahan ia membaca isi tulisannya.

Woro-Woro [3]

Berita Kematian

Ia berkedip cepat. Firasatnya datang pergi, menguatkan rasa-rasa gundahnya. Ia merasa aneh dengan judul surat tersebut. Dan semakin ia membaca bait selanjutnya, jantungnya berdegup kencang. Sampai ia menemukan tulisan yang membuatnya berdiri mematung dan menahan nafas.

 

Turut keprihatinan dan belasungkawa atas wafatnya GRAy. Larasati Kusuma Wijaya, wayah dalem trah Kusuma Wijaya, anak dari Raja Suryokoesoemo dan RAy. Andarasati.

 

Tangannya bergetar sembari memegangi kertas putih itu. Sepasang matanya tak berkedip seraya membaca ulang bait tulisan yang menyebut nama ibunya. Surat tersebut datang membawa kabar duka. Seperti berita panggilan telepon dari orang asing tadi pagi.

Samara masih saja tak percaya berita yang diterimanya itu nyata. Apalagi ia dikejutkan dengan surat yang berasal dari keraton. Nama ibunya ditulis lengkap dengan gelar bangsawan. Seketika itu ia teringat surat dari Pak Soeprapto yang juga menulis nama ibunya persis pada surat ini.

Samara semakin merasa aneh dengan semua kejadian yang terasa mendadak ini. Bagaimana mungkin ibunya tiba-tiba menjadi bagian dari keluarga keraton? Apakah ada orang-orang di luar sana yang sedang mempermainkannya? Ia masih saja terheran-heran.

Secepatnya ia berteriak, “MBOK! CEPAT KE SINI!”

Si Mbok yang sibuk mengelap meja makan segera berlari padanya. “Nggih, Ndoro, wonten menopo?”

Sambil menunjukkan surat yang dipegangnya, ia bertanya, “Mbok, siapa sih yang iseng buat surat kayak begini? Apa ada yang lagi iseng ngerjain kita, ya?”

Si Mbok memincingkan mata keriputnya. Segera ia mengambil alih surat itu untuk membacanya. Ketika ekspresi si Mbok malah terlihat pucat dan lesu, Samara menatapnya heran. Isak tangis si Mbok berlahan terdengar.

“Mbok, kok nangis sih?!” tegurnya.

Si Mbok meracau sambil menangis, “Gusti Allah, kenapa bisa begini—”

Menyaksikan reaksi Mbok Miyem malah bersedih, Samara jadi keheranan.

“Mbok percaya sama isi surat ini?” tanyanya, mendongkol.

Si Mbok masih terisak dan menunduk pilu. Apalagi si Mbok langsung mempercayai berita pada surat itu, membuat Samara ingin membuktikan kebenarannya.

“Mbok, aku yakin ini cuma kerjaan orang iseng. Sejak kapan Ibu seorang anak raja?” gerutunya, geram.

Si Mbok mendongak padanya, hendak berkata sesuatu. Namun dengan cepat si Mbok menutup rapat bibir kering kecoklatannya.

“Mbok, aku akan cari alamat pengirim surat ini. Kalau pun harus ke keraton untuk membuktikan—”

Mbok Miyem sigap meraih tangannya dan menyahut, “Jangan, Ndoro!”

Samara memincingkan mata, heran. Seraya melepas cengkraman si Mbok, ia berkata tegas, “Kita harus cari tahu orang gila yang mau ngerjain kita ini, Mbok! Kalau bisa habis ini aku datangi kantor polisi untuk buat laporan—”

Gusti Allah, kulo nyuwun pangapuro,” [4] gumam Mbok Miyem sambil memejamkan mata. Lalu si Mbok mendongak lagi ke arahnya, “Ndoro, sebaiknya kita tunggu saja kabar dari Pak Hamidjoyo tadi.”

“Enggak bisa, Mbok! Aku harus segera tahu! Surat ini sudah buat aku geram!” sahut Samara, emosinya memuncak. “Bahkan surat ini bisa tahu nama nenekku Andarasati!”

Mata si Mbok terbuka lebar. Mulutnya setengah menganga. Samar-samar si mbok berbisik, “Puniku amargi—”[5]

Samara merebut surat itu dari tangan si Mbok. Saat ia berlari ke kamar, si Mbok meneriaki namanya. Ia tetap nekat mau membuktikan kabar duka yang mendadak itu.

Cepat-cepat ia ganti baju dengan kardigan tebal warna biru tua, syal merah dibalut di leher, dan sepatu boots hitam.

Sejenak ia membuka kertas itu untuk membacanya ulang. Alamat pemakaman tercatat pada surat.

“Pemakaman kerabat keraton Solo,” gumam Samara. “Rabu, jam delapan pagi—”

Ia menengok pada jam dinding. Sudah sejam lalu waktu pemakaman lewat. Usai mengalungkan tas slempang kecil di bahunya, ia berlari keluar kamar.

“NDORO! JANGAN PERGI!” si Mbok berusaha mencegatnya.

Samara tak menggubrisnya dan terus saja jalan keluar rumah. Si Mbok pun hanya dapat menyaksikan kepergiannya dengan pasrah.

Samara berencana mengunjungi pemakaman tersebut. Lokasinya agak jauh dari rumah. Bahkan ini akan jadi pertama kalinya ia berpergian jauh di Kota Solo. Langsung saja ia menyewa jasa taksi untuk mengantarnya ke alamat tujuan.

Sekitar sejam akhirnya sampai, ia membayar supir taksi. Ia melesat keluar dari mobil. Lalu melangkah cepat di trotoar jalanan depan pagar taman keraton. Ia berkeliling beberapa saat mencari-cari pintu pemakaman. Ia sempat kesulitan mencari titik lokasi. Ia melewati sepanjang pagar yang sangat luas, rasa haus mulai membuatnya kelelahan. Namun tak urung niatnya ingin menemukan tempat pemakaman khusus keluarga bangsawan itu.

Ketika pintu belakang ditemukannya, segera ia masuk. Taman di sana dihiasi banyak bebatuan hitam alam. Tanaman hijau dan bunga-bunga mengisi sebagian besar jalanan menuju gapura tinggi.

Samara menengok ke kanan dan ke kiri. Tidak ada orang sama sekali di sekitarnya. Suasana di taman sangat sepi. Saking luasnya, Samara tersasar masuk ke bangunan kecil di arah timur taman.

Tepat ketika memasuki ambang pintu, ia melihat ada bapak-bapak yang duduk bersila memainkan gamelan. Sekilas ia memandang ruangan gelap itu berisi gudang gamelan dan kendi-kendi pot tanah liat.

Samara menyapanya, “Permisi, Pak.”

Ketika beliau mendongak padanya, Samara tertegun. Sejenak ia mengamati wajah si bapak-bapak yang berhenti menabuh gamelan dengan stik kayu. Ia teringat pernah bertemu sekali dengan sosoknya. Dialah bapak-bapak yang menyapanya di Loji Antik dan mendadak menghilang bagai di telan bumi.

Selang empat hari lalu sejak pertemuan mereka di Loji Antik, beliau tak nampak kaget melihatnya lagi. Mungkin beliau sudah lupa dengan wajahnya.

Samara cepat-cepat mengeluarkan surat dari tas slempang hitamnya. Dengan tangan bergetar, ia menunjukkan kertas surat itu pada beliau. Lalu ia berkata, “Pak, saya dikirimin surat dari keraton. Katanya ada yang baru wafat, apa benar Bu Larasati dimakamkan di sini?”

Beliau mengangguk dan menjawabnya, “Nggih, baru saja pemakaman selesai dilangsungkan. Para pelayat sudah pulang.”

“Di mana lokasi makamnya, Pak? Saya mau lihat,” tanya Samara, nafasnya masih terengah-engah.

Usai beliau memberi arahan di mana lokasi tepatnya, Samara segera mencarinya.

Kala itu cuaca pagi hari mendung. Petir mulai menyambar di langit. Sambil terus melangkah dalam pencariannya, jantungnya berpacu kencang. Dalam hati, Samara berharap ini semua hanya mimpi. Ia berharap surat berita kematian itu hanya lelucon gila.

Ia memasuki lahan pemakaman dengan berhati-hati. Ada banyak kuburan batu berukuran besar-besar dan tinggi. Tak seperti umumnya kuburan orang biasa. Samara mengamati ke sekelilingnya. Di tengah lahan terlihat satu-satunya ada tanah yang baru digali. Semakin langkahnya mendekati pusara di sana, firasat buruknya semakin kuat. Terlihat taburan bunga-bunga di atas kuburannya. Bingkai foto persegi disandarkan pada papan kayu yang tertancap di pusara. Jelas-jelas itu foto ibunya.

Ia berdiri di sebelah pusara untuk mengamati. Ia membelalak saat membaca tulisan pada papan kayunya. Terdapat nama lengkap ibunya serta gelar keningratannya.

GRAy. Larasati Kusuma Wijaya

Binti

Kanjeng Gusti. Suryokoesoemo

Kala petir menyambar-nyambar penuh amukan di langit, begitu juga rasa di hati Samara. Hatinya serasa ikut tersambar usai membaca tulisan pada papan.

Jika semua ini hanya kerjaan iseng orang padanya, mengapa repot-repot membuatkan pusara atas nama ibunya? Mengapa surat berita kematian ditulis secara resmi? Mengapa ia baru mengetahui semua ini sekarang? Mengapa begitu telat? Apa yang ibunya coba sembunyikan darinya selama ini?

Tetap saja, sebagian besar rasa di hatinya tak mau percaya. Ia ingin menyangkal semuanya. Ia perlu bukti yang lebih kuat. Bahkan ia belum melihat jasad utuh ibunya. Ingin rasanya ia membongkar pusara di hadapannya untuk membuktikan.

Hujan mulai turun rintik-rintik, saat itulah datang seorang penjaga makam. Suara pria berusia empat puluhan menegurnya, “Punten, ndak boleh masuk ke sini sembarangan kalau bukan kerabat—”

Samara menengok. Si mas-mas langsung tertegun mendapati lirikan ketusnya.

“Apa benar ini kuburannya Bu Laras?” tanyanya, ingin mengonfirmasi.

Si penjaga makam menatapnya heran seraya menjawab, “Nggih, betul. Apa Mbak kerabatnya almarhumah Gusti Laras?”

Seketika ia mendengar orang itu mengiyakan, deru nafasnya semakin berpacu dengan irama resah jantungnya. Tiba-tiba hujan turun deras. Beruntung air matanya tersamarkan dengan rintik hujan yang membasahi pipinya.

Si penjaga makam cepat-cepat membuka payung merah yang dibawanya. Sedangkan Samara langsung berlari darinya. Ia tak merasa perlu menjelaskan bahwa dirinya adalah anak dari Gusti Laras. Lagi pula masih sulit baginya percaya kenyataan pahit ini.

Ia berlari masuk ke gudang gamelan untuk berteduh. Ternyata sosok bapak-bapak tadi masih duduk bersila di lantai.

Pikirannya mulai meracau. Keadaan hatinya sangat buruk. Ia jadi berpikir yang tidak-tidak. Lantas ingin rasanya ia mempertanyakan sosok misterius orang tua berpakaian lurik dan blangkon itu. Apakah beliau sengaja membuntutinya di Loji Antik? Atau mungkin beliau sudah memantau dirinya dan ibunya sejak jauh-jauh hari? Mengapa rasanya bagai kebetulan beliau ada di sini?

“Pak!” sahutnya di ambang pintu. “Bapak sengaja ngikutin saya kan waktu ketemu di Loji Antik?!”

Beliau berhenti membersihkan gamelan kuno saat diajak bicara. Seraya balas menatapnya, beliau bergumam, “Apabila takdir mempertemukan, bukanlah tanpa sengaja.”

Samara mengernyit tak paham dengan ucapannya.

“Tiap-tiap kisah, garisnya sudah tertulis,” tambah beliau. “Gusti Allah punya rencana; mengapa Ibunya panjenengan kini masa hidupnya telah berakhir sebagai manusia.”

Samara bahkan belum mengaku bahwa Gusti Laras adalah ibunya. Bagaimana ceritanya bapak-bapak ini bisa tahu?

Segera ia mengeluarkan surat berita tadi untuk menunjukkannya sekali lagi. “Bapak lihat sendiri! Surat ini yang buat Bapak, kan?!”

Beliau malah tersenyum simpul menghadapi emosinya yang meledak-ledak.

Samara semakin curiga. “Bapak ini mau ngerjain saya, ya?! Saya enggak percaya kalau Ibu saya meninggal! Apalagi sampai dimakamkan di sini! Saya rasa enggak masuk akal!”

Beliau tetap memberikan senyum simpul. Kali ini setengah menundukkan kepala.

Samara semakin geram dengan sikap diam beliau. Ketika beliau tak memberikan penjelasan yang jelas, rasa di hatinya semakin ingin mengamuk. Ia merasa ada kesan misterius dibalik sikap tenangnya. Seakan memang beliau mengetahui sesuatu.

“Saya bisa laporin Bapak ke polisi! Mendingan sekarang Bapak ngaku!” sahutnya.

Kulo mboten merasa melakukan tindak-tanduk seperti yang panjenengan tuduhkan,” gumamnya, santai. “Nanti malah panjenengan yang merepotkan diri sendiri.”

Samara sontak membanting apa saja yang dapat di raihnya. Barang-barang perintilan pada rak lemari kayu di buang ke lantai. Emosinya yang berapi-api memuncak hebat.

Bapak-bapak itu tak terkejut menyaksikan amukan Samara. Bahkan suara-suara pecahan barang tak nampak menganggunya sama sekali. Sikapnya yang begitu tenang semakin membuat Samara curiga terhadapnya.

Tiba-tiba saja, beliau beranjak untuk berdiri berhadapan dengannya. Barulah Samara berhenti membuang tumpukan buku dan patung-patung kuda yang dipecahkannya.

Beliau menyalakan pemantik api di ruang yang gelap ini. Lalu beliau berujar, “Seperti pemantik ini, terangnya redup saat dimatikan—”

Jari jempolnya menekan pemantik, menghidupkannya dan mematikannya beberapa kali. Lalu ia mengistirahatkan kedua tangan di belakang sambil menatapnya tak berkedip.

“Begitu juga dengan keberadaan kebenaran,” suaranya terdengar berwibawa. “Terangnya bergantung pada kegelapan nan suram.”

Samara mendesah kesal dan setengah menggeleng bingung.

“Dengan kata lain; cahaya kebenaran hanya dapat ditemukan dalam gelapnya irama kehidupan. Ada hikmah dibalik tiap jalinan kisah para makhluk sang Khalik.”

“Ke… kenapa Bapak ngomong, seolah-olah tahu apa yang terjadi sama Ibuku dan aku? Memangnya Bapak ini siapa?!” labraknya, geram.

Mboten siapa-siapa yang harus dipusingkan oleh panjenengan,” ujarnya, kembali tersenyum lembut.

Samara hendak mendebat, namun pikirannya terlalu kacau. Ada banyak gerutu batin yang saling bersahutan, membuatnya mendadak jadi orang linglung.

Saat itulah beliau menasihatinya, “Pulanglah. Tenangkan hati. Semua akan berjalan sesuai kehendak Gusti Allah.”

Samara hanya dapat memendam amarahnya. Sungguh tak berguna mendebat orang asing yang tak dikenalnya. Belum tentu beliau dalang atas berita kematian ibunya. Pikirannya hanya meracau gila sedari tadi.

Namun satu hal…

Jika memang ibunya telah tiada; apakah ini mimpi buruk yang menjadi nyata?

 

[1] “Punapi leres pawarta punika”: Apakah berita itu benar? (Krama Inggil)

[2] “Aduh, kados pundi meniko? Raosipun dalem mboten percados bilih panjenengan dalem enggal sanget kapundut ipun”: Aduh, bagaimana ini? Rasanya saya tidak percaya beliau meninggal secepat ini. (Krama Inggil)

[3] Woro-woro: pengumuman.

[4] Gusti Allah, kulo nyuwun pangapuro: Ya Allah, saya meminta maaf. (Krama Madya)

[5] Puniku amargi: itu karena (Krama Madya)

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Rumah yang Tak Pernah Disinggahi Kembali
469      336     0     
Short Story
Tawil namanya. Dia berjalan hingga ke suatu perkampungan. Namun dia tidak tahu untuk apa dia berada di sana.
Satu Nama untuk Ayahku
8692      1826     17     
Inspirational
Ayah...... Suatu saat nanti, jikapun kau tidak lagi dapat kulihat, semua akan baik-baik saja. Semua yang pernah baik-baik saja, akan kembali baik-baik saja. Dan aku akan baik-baik saja meski tanpamu.
IMAGINE
386      275     1     
Short Story
Aku benci mama. Aku benci tante nyebelin. Bawa aku bersamamu. Kamu yang terakhir kulihat sedang memelukku. Aku ingin ikut.
Pangeran Benawa
38229      6368     6     
Fan Fiction
Kisah fiksi Pangeran Benawa bermula dari usaha Raden Trenggana dalam menaklukkan bekas bawahan Majapahit ,dari Tuban hingga Blambangan, dan berhadapan dengan Pangeran Parikesit dan Raden Gagak Panji beserta keluarganya. Sementara itu, para bangsawan Demak dan Jipang saling mendahului dalam klaim sebagai ahli waris tahta yang ditinggalkan Raden Yunus. Pangeran Benawa memasuki hingar bingar d...
Dear Vienna
383      293     0     
Romance
Hidup Chris, pelajar kelas 1 SMA yang tadinya biasa-biasa saja sekarang jadi super repot karena masuk SMA Vienna dan bertemu dengan Rena, cewek aneh dari jurusan Bahasa. Ditambah, Rena punya satu permintaan aneh yang rasanya sulit untuk dikabulkan.
Lost Daddy
5316      1201     8     
Romance
Aku kira hidup bersama ayahku adalah keberuntungan tetapi tidak. Semua kebahagiaan telah sirna semenjak kepergian ibuku. Ayah menghilang tanpa alasan. Kakek berkata bahwa ayah sangat mencintai ibu. Oleh sebab itu, ia perlu waktu untuk menyendiri dan menenangkan pikirannya. Namun alasan itu tidak sesuai fakta. AYAH TIDAK LAGI MENCINTAIKU! (Aulia) Dari awal tidak ada niat bagiku untuk mendekati...
SIBLINGS
6528      1152     8     
Humor
Grisel dan Zeera adalah dua kakak beradik yang mempunyai kepribadian yang berbeda. Hingga saat Grisel menginjak SMA yang sama dengan Kakaknya. Mereka sepakat untuk berpura-pura tidak kenal satu sama lain. Apa alasan dari keputusan mereka tersebut?
KATAK : The Legend of Frog
434      351     2     
Fantasy
Ini adalah kisahku yang penuh drama dan teka-teki. seorang katak yang berubah menjadi manusia seutuhnya, berpetualang menjelajah dunia untuk mencari sebuah kebenaran tentangku dan menyelamatkan dunia di masa mendatang dengan bermodalkan violin tua.
Yang Terlupa
455      259     4     
Short Story
Saat terbangun dari lelap, yang aku tahu selanjutnya adalah aku telah mati.
Black Envelope
372      258     1     
Mystery
Berawal dari kecelakaan sepuluh tahun silam. Menyeret sembilan orang yang saling berkaitan untuk membayarkan apa yang mereka perbuatan. Nyawa, dendam, air mata, pengorbanan dan kekecewaan harus mereka bayar lunas.