Siang terik terasa amat panas kala Samara mengandalkan jalan kaki. Ia berhenti sebentar di trotoar. Tangannya setengah menutupi matanya agar tak silau. Ia memincingkan mata seraya mencari-cari nama jalan yang ditujunya.
Sesekali ia membaca alamat yang ditulis Mbok Miyem pada secarik kertas kecil. Ia menghembuskan nafas panjang dan menggeleng kesal. Tulisan tangan ceker ayam si Mbok membuatnya tak habis pikir. Ia kesulitan membacanya.
Samara coba mengingat-ingat ucapan si Mbok tadi. Lokasinya ada di pinggir jalan. Jaraknya hanya beberapa blok saja dari rumah. Makanya ia tak merasa perlu memanggil jasa tukang ojek atau transportasi umum lainnya.
Ia lanjut berjalan di atas trotoar, terus melangkah sampai ke ujung pertigaan jalanan. Saat itulah matanya mendapati jalanan buntu yang hanya berdiri satu bangunan kuno. Tertera nama tempat tersebut pada papan besar di depan gerbang; Loji Antik.
Ada tempat parkir luas dan juga taman bunga. Hanya ada dua mobil dan beberapa motor yang terparkir di sana. Setelah membayar tiket di lobi, ia dipersilahkan masuk. Ruang depannya nampak sepi. Hanya ada beberapa pungunjung saja yang sedang melihat-lihat dan lalu pergi.
Samara sempat bertanya pada kurator laki-laki yang sedang lewat. Ia ingin langsung mengunjungi ruangan di mana karya-karya ayahnya dipajang. Ia tetap bersikap seperti pengunjung biasa. Seperti halnya tadi saat di toko buku. Walau si penulis menyebut nama ayahnya, Samara tak merasa ingin menunjukkan siapa dirinya. Bukan bermaksud ingin bersembunyi, tapi ia tak ingin terlibat percakapan panjang lebar nantinya. Maka ia hanya berbicara secukupnya saja.
Si kurator laki-laki muda itu mengantarnya masuk. Ruangannya berada tak jauh dari ruang tengah utama rumah. Usai Samara berterima kasih, si kurator lalu pergi. Ia berdiri sendirian di ruang bertembok dan berlantai krem usang. Arsitektural tempat ini benar-benar mengingatkannya dengan bangunan Kota Tua di Jakarta.
Sejenak ia menelusuri pemandangan di depannya. Buku-buku dipajang di atas meja bersama beberapa tulisan pada kertas putih yang dibingkai. Kala karya-karya buku sang ayah diamatinya, rasa rindu hebat menerpa jiwanya. Peninggalan sang ayah hanya tinggal kenangan indah di rumah antik ini. Rasa bangga pun terbesit dalam hatinya.
Pada papan kurasi tercatat sedikit informasi;
Bung Pierre Utomo.
Tahun 1990, Surakarta.
Buku-buku tulisan ayahnya sudah terbit sepuluh tahun sebelum ia lahir di dunia. Samara sendiri sudah banyak mendengar dongeng dari ibunya mengenai sosok sang ayah. Bung Pierre adalah sosok yang amat berwibawa dan disegani orang-orang di sekitarnya. Kontribusinya untuk pendidikan sejarah budaya akan selalu dikenang oleh masa.
Selama ini Samara belum pernah membaca satu pun buku sang ayah sampai habis. Koleksi-koleksi buku ayahnya masih menjadi pajangan usang di gudang rumah. Hanya beberapa kali ia pernah singgah untuk mengintip halaman-halaman awalnya. Entah mengapa baru sekarang ia merasa ingin mulai membaca buku karya ayahnya. Apakah mungkin surat misterius itu yang menjadi pemicu rasa keingintahuannya?
Ia datang ke mari hanya ingin membuktikan kisah-kisah lawas yang pernah diceritakan ibunya. Ternyata memang benar, karya Bung Pierre dikenang di rumah antik ini.
Sudah cukup puas ia mengamati koleksi buku ayahnya. Ia lanjut melihat-lihat di ruang lainnya. Banyak perabotan kuno di sini terbuat dari kayu jati; mulai dari lemari, rak buku, meja, sampai kursi-kursi yang disediakan untuk para pengunjung.
Di ruang seberang terdapat koleksi antik para leluhur tanah Jawa. Ada dua kereta kencana; salah satunya terdapat patung kepala naga besar. Ada juga foto-foto hitam putih kota Surakarta pada jaman dulu. Koleksi barang antik tersimpan rapi dalam display kaca seperti keris, guci keramik, sampai perhiasan. Hampir semuanya berwarna perunggu usang yang menandakan usia barang-barang kuno tersebut.
Samara memasuki koridor dengan was-was. Suasana begitu sepi, tak ada pengunjung lain yang tengah lewat saat itu. Tempat yang diisi barang-barang kuno membuatnya agak bergidik. Bagai ada atmosfir mistis mengisi ruangan.
Memasuki ruang utama, ia mengamati foto-foto hitam putih yang dipajang pada dinding. Ada foto bangunan keraton, kegiatan pasar desa, sampai taman kota. Ia lanjut melewati banyak display kaca di meja-meja besar.
Suasana di udara semakin terasa padat bagai ada keramaian. Padahal tak ada seorang pun selain dirinya. Ia tetap memberanikan diri untuk lanjut melihat kereta kencana dari dekat. Yang ia lakukan sekedar melihat-lihat bagai turis asing.
Suara musik tiba-tiba terdengar dari arah speaker di ujung atap ruangan. Samara terkejut bukan main. Jantungnya sempat berhenti berdegup. Lagu instrumental gamelan Jawa mulai mengisi hampa udara. Nuansa Jawa di ruangan semakin terasa kuat saat terdengar alunan gending leluhur.
Dari seberang meja display hadir seorang bapak-bapak berbelangkon dan memakai beskap lurik. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba sudah ada di ruangan. Samara sempat memincingkan mata. Rasa terkejut saat mendengar suara gamelan masih membekas di dada.
Samara kembali melihat-lihat kereta kencana di sampingnya. Dari ujung matanya ia dapat memantau, bapak-bapak itu berjalan ke arahnya. Saat ia menengok, sosok bapak-bapak itu sudah menghilang. Ia berkedip kebingungan.
Kala menengok ke kanan dan ke kiri tak ditemuinya, mendadak suara misterius terdengar di belakang punggungnya, “Jiwa datang ke mana angin rindu mengarah.”
Samara membelalak kala membalikkan badan. Ia tak menyangka sosok bapak-bapak berkulit sawo matang itu sudah berdiri di belakangnya. Bukankah tadi beliau jelas-jelas berdiri di seberang meja? Jaraknya saja beberapa meter, pastilah butuh waktu untuk berjalan mendekatinya. Apalagi Samara tak mendengar ada suara tapak kaki sama sekali. Apakah ia baru saja melihat hantu?
Samara segera menengok padanya. Ia mulai memperhatikan perawakan bapak-bapak bertubuh tegap dan sedikit lebih tinggi darinya itu. Mungkin bapak-bapak itu yang menjaga barang-barang antik di sini. Samara sekedar meliriknya dalam hening, menantikan apa yang hendak diucapkan beliau.
Kala semakin mendekat, ia mendengarnya menyapa, “Sugeng siyang kagem panjenengan—”
Walau sudah setahun tinggal di Solo, bukan berarti Samara langsung mahir berbahasa Jawa. Apalagi beliau berbahasa krama, termasuk bahasa yang amat santun dan halus di kota kecil ini.
“Maaf, Pak, saya enggak bisa Bahasa Krama,” ujar Samara, memberitahunya.
Beliau mengangguk. Ekspresi senyumannya nampak dipenuhi rasa damai tentram. Beliau lanjut berbicara, “Selamat siang—”
Samara tertegun menatapnya.
“Saya lihat, panjenengan berjalan-jalan sendiri ke mari,” ucap beliau.
Samara paling menghindari ucapan basa-basi. Seketika itu raut wajahnya agak sinis. Ia merespon sekedarnya, “Iya, saya memang sendiri ke sini.”
“Tak mungkin kita mendatangi suatu tempat tanpa adanya panggilan jiwa,” tambah si bapak-bapak yang terus mengistirahatkan kedua tangan di belakang punggung.
Samara mendesah pelan. Ia merasa bapak-bapak ini agak menganggu waktunya. Apalagi datang mengendap-endap bagai hantu gentayangan.
Samara sekedar tersenyum simpul dan mengangguk. Ia melangkah maju meninggalkannya. Ia tak mau menggubris ucapan bapak-bapak yang tak dikenalnya itu. Ketika menyadari beliau malah mengikuti gerak langkahnya, ia merasa risih. Samara yang terlewat cuek tak mau mempedulikannya.
Suara berat langkah kaki terdengar dari arah pintu masuk. Beberapa pengunjung memasuki ruangan.
Saat itulah ia ingin kembali melihat sosok bapak-bapak tadi. Kala mendapati ada rasa yang aneh, ia mengernyit keheranan. Seakan tidak ada orang di belakangnya. Saat menengok, benar saja, sosok beliau sudah hilang bagai di telan bumi. Sekujur tubuhnya merinding. Apakah ia tengah berhalusinasi?
Ketika merasa berjalan-jalan di Loji Antik sudah cukup, ia berencana pulang. Sebelum pergi, ia mengunjungi lobi untuk numpang bertanya pada resepsionis, “Mbak, di sini ada bapak-bapak penjaga yang pakai blangkon dan baju lurik, ya?”
Si mbak-mbak bertukar tatapan kebingungan dengan rekan kerjanya. Mbak-mbak yang lainnya tengah duduk dan sedang sibuk sendiri di meja.
Sambil masih berdiri menghadapnya di belakang meja, si mbak-mbak berkata, “Semua karyawan di sini pakai baju seragam seperti kami, Mbak.”
Sejenak Samara memperhatikan seragam hitam yang dikenakan resepsionis tersebut. Pada sisi kanan atas baju dilengkapi bros emas bertuliskan Loji Antik. Sudah jelas bapak-bapak tadi tidak memakai baju seperti perempuan berusia tiga puluhan ini.
“Mbak yakin?” tanyanya, masih tak percaya. “Soalnya tadi aku disapa, tapi orangnya sudah keburu pergi—”
Si resepsionis mencoba mengingat-ingat kali ini. Lalu berujar, “Mungkin bapak-bapak yang Mbak maksud itu abdi sepuh. Terkadang kami kedatangan abdi keraton yang memantau koleksi antik di sini, Mbak.”
Samara hanya ingin memastikan bahwa ia tak melihat hantu. Mendengar jawaban terakhir si resepsionis, beliau pastilah seorang manusia.
Si resepsionis menambahkan, “Tapi hari ini ndak ada abdi sepuh yang datang, Mbak.”
Sepasang mata Samara membelalak. Bibirnya setengah terbuka. Ia kembali mempertanyakan eksistensi bapak-bapak yang menemuinya tadi. Tapi jika ia harus berlarut-larut memikirkannya, rasanya bagai buang-buang waktu saja. Ia tak mau berpikir ada hal janggal yang terjadi di sini. Saat melihat jam sudah mendekati waktu sore, Samara segera pulang ke rumah.