Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kembang Sukmo
MENU
About Us  

Pada malam-malam Jumat Kliwon, Samara sudah hafal; ibunya pasti khusyuk bersemedi dalam ruang redup. Sesajen bunga dan dupa siap tersedia di atas meja altar. Kegiatan tersebut dilakukan tiap mendekati tengah malam.

Samara ingat ibunya pernah memberitahu; pada malam-malam itu, energi di alam semesta sedang kuat. Entah apapun makna dibalik ucapan tersebut, Samara tetap tak menyukai kegiatan ibunya. Masih sulit ia bisa membujuk ibunya untuk menyudahi ritual.

Malam itu, Samara hanya bisa mengintip dari balik pilar tembok. Bibirnya mengerucut murung. Dalam hatinya merasa kesepian. Ia amat merindukan kedekatan dirinya dengan sang ibunda. Ia rindu masa-masa mereka selalu menghabiskan waktu bersama. Mulai dari makan berdua, menonton film horror tengah malam, sampai membicarakan hal-hal paling absurd tentang banyak fenomena dunia. Ia sungguh merindukan masa-masa hangat saat itu.

Apa pun bisikan alam yang tiba-tiba mempengaruhi ibunya, telah merenggut jiwa sang ibunda juga. Walau bisa melihat ibunya tiap hari di rumah, Samara seakan sudah merasa kehilangan sosoknya.

Setidaknya ia masih beruntung bisa melihat raga ibunya. Ia tak bisa membayangkan jika harus kehilangan jiwa dan raga sang ibunda sekaligus. Ia merasa belum siap untuk ditinggal olehnya. Hidup dibesarkan oleh ibu, membuat Samara serba ketergantungan dengannya. Kasih sayang ibu memang sepanjang masa.

Semenjak ibunya sering bersemedi dan mengabaikan keberadaannya, Samara berusaha mencari kesibukan sendiri. Dari koran ke koran lain, sampai kolom artikel di internet dicari untuk menemukan info lowongan pekerjaan. Namun tak satu pun ia merasa cocok.

Lulus dengan predikat sangat baik, seharusnya tak membuatnya gentar mencari pekerjaan baru. Karena bukan pencarian yang jadi masalahnya, Samara mengutamakan kenyamanan. Ia tak mau bekerja dibawah tekanan pimpinan perusahaan. Rasanya menjadi budak korporat bukan panggilan jiwanya. Ia ingin menjalani sesuatu yang tak jauh dari usaha bisnis ibunya. Mungkin menjadi pengerajin atau seniman akan cocok baginya.

Mengambil jurusan sastra Bahasa Indonesia membuatnya ingin menggeluti dunia tulis menulis. Mungkin ia bisa juga meneruskan karya-karya ayahnya nanti. Terlahir dari keluarga berada tak membuat Samara memusingkan masalah penghasilan. Semuanya serba disediakan ibunya. Usianya juga masih belia untuk mencari jati diri. Ia bisa jadi apa saja yang ia mau nanti.

Lagi pula, ia menantikan janji ibunya yang mau memperkenalkan bisnis batik dan jajanan Sendang Laras. Ia hanya perlu sabar menunggu ibunya siap. Namun mau sampai kapan sang ibunda mengabaikan dirinya?

Usai ibunya bersemedi sejam kemudian, mereka bertemu di ruang makan. Tiba-tiba beliau memberitahu, “Samara, besok Ibu harus pergi ke Bali ya.”

“Loh, mau ngapain, Bu?” tanyanya, heran. “Samara boleh ikut?”

“Kamu di sini saja, temenin Mbok Miyem jaga rumah. Takutnya nanti kalau ada tamu datang, kamu bisa temui dulu,” ujarnya.

Samara mengernyit, penasaran. “Memangnya bakal ada tamu?”

Ibunya tersenyum lembut seraya meremas bahunya dan berkata, “Ya, belum tentu sih. Takutnya ada yang berkepentingan, Ibu lagi enggak ada di rumah.”

Samara mendesah dan balas berkata, “Kalau begitu, aku ikut Ibu saja deh. Nanti juga Mbok Miyem yang ngurus kalau memang ada tamu. Kan tinggal bilang; Ibu lagi pergi.”

Ibunya mengangguk, namun tetap menolaknya, “Kamu di rumah saja ya, Nak. Ibu enggak bakal lama kok di Bali. Ada orang yang mau beli batiknya Sendang Laras.”

Samara mendebatnya, “Kenapa enggak dikirim paket saja? Atau suruh orangnya datang ke toko Ibu langsung di Solo?”

Gusti Laras menghembuskan nafas panjang dan berujar, “Ndak etis, Nak. Soalnya orangnya mau sekalian nyambung bisnis sama Ibu. Dia punya usaha lukisan, sebagian besar koleksinya ada di Bali. Jadi mendingan Ibu yang ke sana. Siapa tahu beliau bisa berkolaborasi dengan Sendang Laras.”

“Ya sudah kalau begitu,” ucap Samara, pasrah.

“Besok pagi-pagi Ibu sudah siap berangkat. Kamu jangan bangun kesiangan,” Ibunya mengingatkan, suaranya begitu syahdu.

Samara mengangguk patuh sebelum mereka kembali ke kamar tidur masing-masing.

***

Alarm handphone berbunyi nyaring di sebelah Samara yang masih tertidur pulas. Sampai akhirnya ia terbangun, mengucek mata sejenak. Ketika tersadar sudah lewat jam delapan pagi, jantungnya berdegup kencang. Seketika ia melesat panik dari atas kasurnya. Ia baru teringat Ibunya akan berangkat ke bandara pagi-pagi hari.

Beberapa detik ia memeriksa wajah polosnya di cermin. Rambut panjang bergelombangnya masih semerawut. Tak ada waktu untuk bersolek lama. Segera ia berlari keluar dari kamar tidurnya.

“IBU!” Ia berteriak-teriak memanggil sang ibunda.

Di dalam kamar ibunya kosong. Lampu sudah dimatikan, kasur juga nampak rapi. Ketika Mbok Miyem juga tak terlihat di dalam rumah, ia semakin panik. Ia tak mau sampai terlewat mengucapkan salam perpisahan. Malahan ia sudah berencana ingin mengantar ibunya sampai ke bandara.

Ketika suara mesin mobil terdengar di luar, Samara berlari ke teras depan rumah. Ternyata ibunya sudah bersiap hendak mengendarai mobil tua berwarna krem itu. Sedangkan Mbok Miyem tengah memasukkan koper ke dalam bagasi mobil.

Samara berteriak dari pinggir lantai teras, “IBU!”

Gusti Laras sontak menengok ke arahnya dari dalam mobil. Mbok Miyem juga nampak kaget dengan teriakannya yang cukup kencang.

Samara berlari menghampiri ibunya. Seraya bertengger di pintu jendela mobil, ia berujar, “Bu! Maaf! Samara bangun kesiangan! Aku yang antar Ibu ke bandara, ya?!”

Gusti Laras menggeleng sambil menatapnya agak kesal. “Aduh, Samara, Ibu bakal telat mengejar jadwal tiket pesawat kalau harus nungguin kamu.”

Samara menyahut, “Aku enggak usah mandi kok! Aku langsung anterin—”

“Enggak usah,” pungkas ibunya, tegas. “Nanti malah nabrak-nabrak di jalan. Kamu kan baru bangun. Nyawamu belum terkumpul semua. Lihat saja… masih ada belek di matamu.”

Mendengar sindiran ibunya, Samara segera memeriksa sisa belek di ujung sebelah matanya. Di belakangnya, Mbok Miyem terkekeh mendapati pemandangan lucu ini.

Seketika itu Samara berwajah masam. “Tapi, Bu…”

Ibunya menambahkan, “Kamu baik-baik ya di rumah. Jangan suka ngerepotin Mbok Miyem. Kalau bisa mulai belajar masak sendiri, bersih-bersih kamarmu sendiri…”

Ia malah menggerutu, “Samara bakal kangen berat sama Ibu.”

“Ibu hanya menginap tiga atau empat hari kok paling lama,” ujar ibunya. “Nanti kita kan bisa berkirim pesan online. Kamu tinggal telpon ibu kalau ada apa-apa.”

Samara mengangguk. Sedetik kemudian, ia tersenyum lega. Setidaknya, acara pergi ke Bali dapat menyudahi kegiatan ritual sakral ibunya. Akhirnya sang ibunda dapat kembali fokus hidup di dunia nyata.

Segera ia meraih tangan lentik ibunya dan menciumnya. Lalu ia berkata, “Hati-hati di jalan ya, Bu.”

Ibunya mengangguk dan balas tersenyum. Samara akan sangat merindukan wajah cemerlang ibunya. Parasnya begitu mempesona, bagai melihat kilau berlian.

Gusti Laras menengok ke belakangnya dan menyahut, “Mbok, titip Samara ya!”

Mbok Miyem setengah membungkuk dan berseru, “Nggih, Gusti. Kawulo pasti amanah menjaga Ndoro Samara di sini.”

Ketika kaca jendela mobil mulai ditutup, pada detik itu juga bagai ada sambaran petir di hati Samara. Entah pertanda apa, tapi rasa di hatinya mendadak tak nyaman. Mungkin perasaannya timbul karena cemas ibunya harus pergi sendirian ke Bali.

Sebelum mobil keluar dari garasi, Samara cepat-cepat mengetuk jendela mobil. Saat kaca jendela diturunkan kembali, Ibunya mengernyit heran. Lantas beliau menegurnya, “Samara! Ada apa lagi sih?! Ibu harus—”

Tiba-tiba saja Samara membuka pintu mobil dan memeluknya erat. Lalu ia berbisik lirih, “Cepat pulang ya, Bu. Samara khawatir kalau terjadi hal-hal yang enggak diinginkan sama Ibu—”

Gusti Laras mendesah seraya melepas pelukannya. Lalu beliau berkata, “Ibu enggak akan lama kok, Samara. Tunggu saja di rumah.”

Rasanya ingin sekali ia mencegah ibunya pergi jauh. Namun ia hanya dapat mengangguk diam. Mereka saling melambaikan tangan dan mengucap salam perpisahan. Pada akhirnya, Samara menyaksikan ibunya mengendarai mobil tua krem itu keluar dari pagar rumah.

***

Samara baru selesai mandi. Ia sedang mengeringkan rambutnya saat si mbok mengetuk pintu kamar. Belum sempat ia ganti baju, hanya memakai atasan tank top cokelat dan celana panjang hitam saat itu.

Karena kesal si mbok datang menganggunya, ia hanya membuka sedikit celah pintu kamar. Ia mengintipnya dengan raut wajah agak masam. “Kenapa Mbok?”

Puniki wonten paket surat untuk Ndoro,” ucap Mbok Miyem. Ia setengah menunduk seraya menyerahkan secarik surat tersebut.

Samara mengernyit heran. Ia tak ingat punya sahabat pena atau berteman dekat dengan siapa pun. Dalam hatinya menebak-nebak siapa yang mengirim surat untuknya. Dengan cepat ia mengambilnya dari tangan kurus si mbok.

Sebelum Mbok Miyem pergi meninggalkannya, Samara memperingatkan untuk ke sekian kali, “Lain kali enggak usah panggil Ndoro lagi. Cukup panggil namaku saja.”

Mbok Miyem masih setengah menundukkan pandangannya. Beliau tak berani balas menatap mata tajam tuannya langsung. Lalu si Mbok bergumam, “Nggih—

Samara lega kala si Mbok mengiyakannya.

Tapi tiba-tiba saja, si Mbok malah sengaja menambahkan, “Ndoro.”

Seketika itu Samara membelalak kesal. Tubuhnya baru mengambil satu langkah maju, si Mbok sudah kabur duluan. Tetap sulit untuk menegur si Mbok yang kukuh memanggilnya bagai tuan putri. Ia segera mengurungkan niatnya untuk mendebat si Mbok. Menurutnya tak berguna mengurusi hal sepele begitu.

Kini perhatiannya terfokus pada surat beramplop putih yang digenggamnya. Segera ia masuk ke kamar dan memperhatikan label nama pengirim.

“Soeprapto?” gumamnya. Ia tak merasa mengenal siapa pun dengan nama tersebut. Ia menatap heran pada surat misterius yang belum dibukanya itu.

Secepatnya ia merobek amplop putih itu untuk mengeluarkan isi suratnya. Sambil duduk di atas kasur, ia mulai membaca isi tulisan tangan beliau yang bercetak miring jadul tersebut.

 

Ngaturaken sugeng rahayu kagem;

Ndoro Samara Nadra di tempat.

Beberapa hari lalu, saya telah mendapat amanah dari ibunya panjenengan. Gusti Larasati meminta saya mengembalikan keris milik keluarga Kusuma Wijaya. Saya sudah dikabari bahwa Gusti Larasati akan ada kesibukan di Bali Minggu ini. Maka beliau menitipkan pada saya untuk langsung memberikannya pada panjenengan.

Sudah lama saya tidak bersilahturahmi dengan Gusti Larasati dan sekeluarga. Saya jadi teringat kenangan-kenangan lawas bersama mendiang Bung Pierre Utomo. Saya mengenal dekat ayah panjenengan sejak kami bersahabat baik.

Nyuwun pangapunten, ruang dan waktu membatasi saya untuk dapat menemui panjenengan saat ini. Saya terpaksa harus berkabar melalui surat karena keterbatasan nomer kontak saya yang sedang bermasalah. Saat ini saya masih harus mengemban tugas di luar kota. Saya akan kembali ke Solo secepatnya.

Salam hormat saya kepada; GRAy. Larasati Kusuma Wijaya.

Dan untuk sahabat lama saya, almarhum Bung Pierre Utomo.

Semoga Gusti Allah paringi keberkahan bagi kita semua.

 

Soeprapto,

Surabaya, Jawa Timur.

 

Matanya berkedip cepat. Ia mencoba membaca ulang surat itu sekali lagi. Ia mengernyit mendapati beliau memanggil ibunya dengan sebutan Gusti seperti Mbok Miyem. Beliau juga mengaku mengenal dekat dengan mendiang ayahnya. Lantas Samara bertanya-tanya, siapa sosok misterius bernama Soeprapto ini? Hubungan apa yang dimilikinya dengan kedua orang tuanya?

Beliau mengatakan mendapat amanah dari Gusti Laras untuk mengembalikan titipan keris keluarga Kusuma Wijaya. Samara semakin heran karena memang ibunya memiliki nama belakang Kusuma Wijaya. Namun tak pernah terbesit dalam pikirannya bahwa ibunya benar-benar seorang ningrat. Isi tulisan beliau membuat Samara berpikir mungkin ada sesuatu yang besar dirahasiakan ibunya.

Walau tak mengenal sosok Pak Soeprapto, surat yang ditulisnya seakan memberitahu teka-teki dari masa lalu. Beliau juga berpesan akan segera kembali ke Solo setelah menyelesaikan tugasnya di tempat lain. Itu berarti Samara harus siap menantikan kedatangannya ke rumah.

Segera ia beranjak dari kasur dan meneriaki si Mbok.

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
ALACE ; life is too bad for us
1050      638     5     
Short Story
Aku tak tahu mengapa semua ini bisa terjadi dan bagaimana bisa terjadi. Namun itu semua memang sudah terjadi
SUN DARK
401      255     1     
Short Story
Baca aja, tarik kesimpulan kalian sendiri, biar lebih asik hehe
One hour with Nana
406      286     3     
Short Story
Perkelahiannya dengan Mandala sore itu, membuat Egi dalam masalah. Mandala tewas setelahnya dengan tubuh penuh luka tusukan. Semua orang, pasti akan menuduh Egi sebagai pelaku. Tapi tidak bagi seorang Nana. Bagaimana Gadis berwajah pucat itu menangkap pelaku sebenarnya? Bisakah Egi selamat dari semua kejadian ini?
Dark Shadow
358      230     5     
Horror
Tentang Jeon yang tidak tahu bahwa dirinya telah kehilangan Kim, dan tentang Kim yang tidak pernah benar-benar meninggalkan Jeon....
Shane's Story
2520      984     1     
Romance
Shane memulai kehidupan barunya dengan mengubur masalalunya dalam-dalam dan berusaha menyembunyikannya dari semua orang, termasuk Sea. Dan ketika masalalunya mulai datang menghadangnya ditengah jalan, apa yang akan dilakukannya? apakah dia akan lari lagi?
Premium
Cinta Guru Honorer
25972      2482     0     
Romance
Pak Baihaqqi seorang guru honorer di SMA 13 Harapan. Dirinya sudah mengajar hampir 15 tahun tetapi tidak masuk ke dalam honorer Kategori 2 (K2). Di tahun 2022 ini pula, ia tidak termasuk ke dalam daftar yang bisa mengikuti seleksi Calon Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (CPPPK). Di sekolah, Pak Baihaqqi bekerja sebagai pesuruh. Bu Nurma, Bu Rosmala, Pak Adam, guru-guru lain, dan samp...
Di Bawah Langit Bumi
2414      925     87     
Romance
Awal 2000-an. Era pre-medsos. Nama buruk menyebar bukan lewat unggahan tapi lewat mulut ke mulut, dan Bumi tahu betul rasanya jadi legenda yang tak diinginkan. Saat masuk SMA, ia hanya punya satu misi: jangan bikin masalah. Satu janji pada ibunya dan satu-satunya cara agar ia tak dipindahkan lagi, seperti saat SMP dulu, ketika sebuah insiden membuatnya dicap berbahaya. Tapi sekolah barunya...
Panggung Terakhir
362      238     0     
Short Story
Apa yang terlintas dipikiran kalian saat melihat pertunjukan opera? Penuh dengan drama? Bernilai seni yang tinggi? Memiliki ciri khas yang sangat unik? Dimana para pemain sangat berkarakter dan berkharisma? Sang Ratu Opera, Helena Windsor Saner, merupakan seorang gadis cantik dan berbakat. Jenius dalam musik, namun lebih memilih untuk menjadi pemain opera. Hidup dengan kepribadian ceria...
Give Up? No!
473      323     0     
Short Story
you were given this life because you were strong enough to live it.
Aranka
4330      1453     6     
Inspirational
Aranka lebih dari sebuah nama. Nama yang membuat iri siapa pun yang mendengarnya. Aland Aranka terlahir dengan nama tersebut, nama dari keluarga konglomerat yang sangat berkuasa. Namun siapa sangka, di balik kemasyhuran nama tersebut, tersimpan berbagai rahasia gelap...