Udara di sekitarnya terasa dingin, menusuk hingga ke tulang. Hazel berdiri di tengah ruangan gelap, memandangi pintu besar di hadapannya yang perlahan terbuka sendiri. Aroma besi yang tajam memenuhi udara, bercampur dengan suara langkah kaki yang mendekat.
"Hazel, sembunyi!" Suara ibunya terdengar serak, nyaris seperti bisikan putus asa.
Hazel berlari menuju sudut ruangan, tubuh kecilnya menggigil. Ia bisa melihat bayangan besar mendekat, bayangan pria dengan langkah pasti yang membawa sesuatu di tangannya—sebuah pisau panjang, berkilauan di bawah cahaya redup.
"Papa!" jerit Hazel, tetapi suara itu tak keluar. Ia hanya bisa melihat ayahnya berdiri di sana, mencoba melindungi ibunya.
Dalam hitungan detik, semuanya berubah menjadi kacau. Jeritan ibunya, suara benturan, dan akhirnya keheningan memekakkan. Darah mengalir, membanjiri lantai, menyentuh ujung kaki Hazel yang gemetar.
Pria itu menoleh ke arahnya, mata kosongnya menatap langsung ke dalam jiwa Hazel. Langkah kakinya mendekat, dan ia mengangkat pisau itu tinggi-tinggi.
Hazel tersentak bangun.
Nafasnya terengah-engah, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Tangannya mencengkeram erat selimut di dadanya, mencoba meyakinkan diri bahwa ia sudah aman.
"It's just dream! ya, hanya mimpi." Tapi rasa dingin dari mimpi itu masih terasa nyata.
Ia duduk di tepi ranjang, menatap lantai dengan mata kosong. Sesaat, ia merasa dirinya masih berada di ruangan itu, di tengah kengerian yang tak pernah benar-benar pergi.
Matanya melirik ke arah meja kecil di samping tempat tidur. Foto keluarganya terpajang di sana, wajah mereka tersenyum bahagia. Ibunya, ayahnya, dirinya, dan Sabina, semua tampak seperti keluarga sempurna.
Tapi kenyataannya jauh berbeda. Keluarga itu telah hancur, dan mimpi buruk Hazel adalah pengingat betapa kelamnya masa lalu yang ia tinggalkan.
Dari luar kamar, terdengar suara ketukan lembut. Hazel mengusap wajahnya dengan cepat, menghapus jejak air mata. "Hazel, kau sudah bangun?" suara Sabina terdengar, lembut dan penuh perhatian.
"Iya, aku sudah bangun," jawabnya cepat, berusaha terdengar tenang meskipun tubuhnya masih gemetar.
Namun, ia tahu, mimpi itu bukan sekadar mimpi. Itu adalah kenyataan yang terus menghantuinya.
Pagi itu, aroma kopi hangat memenuhi apartemen kecil mereka di London. Hazel duduk di meja makan, memainkan garpu di piringnya, mendorong potongan roti panggang tanpa minat. Di depannya, Sabina sedang menuangkan susu ke dalam cangkir, memperhatikan adiknya dengan mata penuh kekhawatiran.
“Kau terlihat tidak cukup tidur lagi,” kata Sabina akhirnya, memecah keheningan.
Hazel mengangkat bahu, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. “Hanya mimpi buruk yang biasa.”
Sabina menatapnya dengan penuh simpati. “Hazel, kau tidak perlu memaksa diri untuk ini. Kau bisa tetap pergi ke Jepang bersama ku. Memulai hidup baru. Kau punya kesempatan besar disana. Semua sudah diatur. Kenapa kau... tiba-tiba berubah pikiran?”
Hazel mengangkat bahu, mencoba bersikap santai meskipun hatinya terasa berat. “Aku hanya merasa perlu pulang. Itu saja.”
“Hazel.” Nada suara Sabina berubah serius. Ia meletakkan cangkirnya di meja, menatap Hazel dengan tajam. “Ini bukan tentang mereka, kan?"
Hazel mendesah pelan, meletakkan garpu dan pisaunya. Ia tahu Sabina tidak akan berhenti bertanya. “Bukan. Aku hanya... butuh waktu untuk menyelesaikan sesuatu. Aku janji, ini tidak akan lama.”
Sabina menatap adiknya lama, seolah mencoba membaca pikirannya. “Baiklah,” katanya akhirnya, meskipun nada suaranya menunjukkan ia tidak sepenuhnya yakin. “Tapi, apa pun yang kau lakukan, jangan lupa aku selalu ada di sini.”
Hazel tersenyum tipis, mengangguk. “Aku tahu, Kak.”
Sabina menghela napas panjang. Ia tahu Hazel tidak akan mengubah keputusannya, tidak peduli seberapa besar ia mencoba membujuknya. “Kalau begitu, kau harus janji padaku. Jangan bertindak gegabah. Dan selalu kabari aku.”
Hazel tersenyum tipis, mengambil cangkir kopinya dan mengangkatnya seolah bersulang. “Janji, Kak.”
“Bagus.” Sabina mengalihkan pandangannya ke jam di dinding. “Kita harus pergi kalau tidak mau terlambat. Tiket pesawatmu sudah siap?”
Hazel mengangguk dan menyesap kopinya yang sudah mulai dingin. Ia tahu ini mungkin terakhir kalinya mereka duduk bersama seperti ini untuk waktu yang lama.
---
Dua jam kemudian, mereka tiba di bandara Heathrow. Sabina memegang tas tangan Hazel sementara mereka berjalan menuju gerbang keberangkatan.
“Kau yakin tidak mau aku ikut ke Vegas? Setidaknya untuk memastikan kau baik-baik saja,” kata Sabina, untuk kesekian kalinya.
Hazel tertawa kecil, menggeleng. “Kak, aku bukan anak kecil lagi. Aku bisa mengurus diriku sendiri.”
Sabina menatapnya lama sebelum akhirnya mengangguk. “Baiklah. Tapi ingat, aku selalu ada di sini kalau kau butuh sesuatu. Apapun itu.”
Hazel memeluk Sabina erat, menghirup aroma familiar yang selalu membuatnya merasa aman. Tapi kali ini, ia tahu ia harus berdiri sendiri.
“Terima kasih, Kak,” bisiknya sebelum akhirnya melepaskan pelukan itu.
Sabina hanya bisa tersenyum, menahan air mata saat Hazel melangkah menuju pintu keberangkatan. “Hati-hati,” gumamnya pelan, meski ia tahu Hazel mungkin tidak mendengar.
---
Las Vegas menyambut Hazel dengan panas teriknya, meskipun angin gurun membawa sedikit kesejukan di sore itu. Mobil yang ia sewa berhenti di depan rumah besar bergaya kolonial—kediaman Jack dan Fabby. Rumah itu tampak tidak berubah, tetapi bagi Hazel, suasananya lebih menyesakkan daripada yang ia ingat.
Ia melangkah ke pintu, mengetuknya tiga kali dengan keras. Detik-detik berlalu sebelum pintu itu terbuka, memperlihatkan wajah Jack yang terkejut melihatnya.
“Hazel?” suara Jack terdengar rendah, nyaris tidak percaya.
“Paman Jack,” Hazel tersenyum cerah, tetapi ada sesuatu di balik senyumnya yang membuat Jack merasa tidak nyaman. “Sudah lama, ya?”
Fabby muncul dari belakang Jack, mengenakan masker diwajahnya dan secangkir teh di tangannya. Saat melihat Hazel, ia tampak sama terkejutnya. “Oh, Hazel, sayang! Apa kabar? Kau sudah dewasa sekali!”
“Terima kasih,” jawab Hazel sambil melangkah masuk tanpa diundang. Matanya menyapu ruangan dengan tenang. “Aku pulang.”
Fabby mencoba tersenyum, tetapi terlihat gugup. “Kejutan yang menyenangkan. Apa Sabina tidak bersamamu?”
“Dia tinggal di London. Aku ke sini sendiri,” kata Hazel santai, sambil duduk di sofa ruang tamu yang tampak lebih kecil dari yang ia ingat. “Kupikir sudah waktunya aku melihat tempat ini lagi. Banyak yang harus kita bicarakan, bukan?”
Jack menelan ludah, sementara Fabby hanya bisa memaksakan senyum.
Hazel menyilangkan kakinya, menatap mereka dengan santai tetapi penuh arti. “Paman, Bibi... aku ke sini bukan untuk liburan.”
Ruangan itu sunyi sejenak, hanya suara jam dinding yang terdengar. Hazel menyandarkan tubuhnya ke sofa, matanya menatap mereka tajam seperti pisau. “Aku di sini untuk mengambil kembali apa yang menjadi milikku.”
Ruangan itu hening. Jack dan Fabby menatap Hazel dengan wajah tegang, seolah mencoba menafsirkan maksud dari kata-katanya. Namun, beberapa detik kemudian, Hazel tertawa pelan, senyumnya merekah lebih lebar.
“Aku bercanda,” katanya ringan, menyandarkan tubuhnya ke sofa dengan santai. “Astaga, wajah kalian berdua benar-benar priceless!”
Jack dan Fabby menghela napas lega hampir bersamaan, meski tetap ada sedikit keraguan di wajah mereka.
“Kau selalu suka membuat lelucon yang membuat orang salah paham, Hazel,” ujar Fabby dengan tawa kecil yang terdengar dipaksakan.
Hazel mengangkat bahu. “Itu seni, Bibi. Kadang kita harus mencairkan suasana dengan cara yang tidak biasa.”
Saat suasana mulai mereda, langkah kaki kecil terdengar dari tangga. Seorang gadis remaja muncul dengan rambut panjang berombak dan mata penuh rasa ingin tahu. “Siapa yang datang, Mom?” tanyanya sebelum akhirnya matanya bertemu dengan Hazel.
“Hazel!” gadis itu berseru riang, berlari ke arahnya dan memeluknya erat.
“Anna,” Hazel tersenyum tulus kali ini, membalas pelukan sepupu kecilnya. “Kau sudah besar sekali! Terakhir kali kita bertemu, kau bahkan belum sampai di pinggangku.”
Anna tertawa, melepaskan pelukan dan menatap Hazel dengan mata berbinar. “Aku dengar banyak cerita tentangmu dari Mommy dan Daddy. Tapi... kenapa kau di sini? Apa kau akan tinggal bersama kami lagi?”
Hazel tersenyum, sedikit menahan diri. “Kita lihat nanti. Aku sedang liburan, hanya ingin melihat tempat ini lagi.”
Dari arah dapur, seorang anak laki-laki muncul, sedikit lebih muda dari Anna, mungkin berusia sekitar 13 tahun. Dengan postur tegap dan wajah yang mirip Jack, ia menatap Hazel dengan tatapan heran. “Hazel?”
“Oh, jadi kau pasti Felix,” kata Hazel sambil mengamati sosok anak beranjak remaja itu. “Sudah besar sekarang, ya?”
Felix mengangguk kaku, senyumnya samar. “Lama tidak bertemu.”
“Iya, lama sekali,” jawab Hazel sambil menatapnya, seolah mencoba menebak apa yang ada di pikirannya.
Fabby cepat-cepat memecah suasana. “Anna, Felix, kenapa kalian tidak membantu Hazel membawa barang-barangnya ke kamar tamu? Dia pasti lelah setelah perjalanan panjang.”
“Tidak perlu repot, Bibi,” kata Hazel sambil berdiri. “Aku hanya membawa satu tas. Lagipula, aku tidak akan tinggal lama.”
Meskipun Hazel berbicara dengan nada santai, ia kembali disini hanya untuk satu alasan dan alasan itu akan tetap ia simpan rapat-rapat setidaknya untuk sekarang.