Bayu menepuk-nepuk bahu kiri Pak Atma untuk menenangkan. “Biarlah Jaya yang memilih. Kita akan selalu ada untuk mendukungnya, kan?”
Pak Atma tersenyum tipis dan mengangguk. “Ya, tentu saja, Dok,” jawab beliau. “Ah! Terima kasih, ya. Anda telah memberi saya banyak dukungan dalam situasi ini.”
Bayu tersenyum. “Sama-sama, Pak Atma. Kita kan, satu tim?” sahut Bayu. “Oh, iya. Mungkin, Pak Atma mau bergabung dengan Duo BayJay? Eh, tapi, namanya bukan duo lagi dong, ya? Hem, Trio … apa, ya? BayJayAt?”
Pak Atma terpingkal-pingkal mendengarnya. “Dokter Bayu ini ada-ada saja. Terima kasih banyak, Dok, sudah memberi saya ruang sebesar ini dalam kehidupan Anda. Ya, semoga Jaya masih bisa menerima saya, supaya kita bisa pikirkan lebih lanjut nama trionya, ya.”
Pak Atma dan Bayu pun kembali tertawa.
***
Di ruang Puspa dalam panti Sumber Harapan, Puspa memberi isyarat agar Jaya yang membaca Alquran langsung, bukan memperdengarkan rekaman seperti biasanya. “Ah! tentu, Bu. Mari dengarkan bersama-sama. Kalau ada yang salah, kasih tahu, ya,” jawab Jaya lembut yang dijawab Puspa dengan anggukan.
Berangsur-angsur Jaya telah menemukan dirinya yang dulu, sosok lemah-lembut dan bijak yang sangat mencintai ibunya. Dia berusaha mempertahankan pencapaiannya selama berminggu-minggu di bawah bimbingan Profesor Wijaya. Kecermatan beliau menangani Jaya, membuat Jaya bisa segera bangkit tanpa harus menjalani terapi obat.
Jaya mengambil kitab suci itu dari jajaran buku di atas meja. Dia membuka halaman pertama Alquran dan mulai membacanya dengan tenang. Ibunya duduk di hadapan Jaya dalam keheningan, mendengarkan ayat demi ayat yang diucapkan dengan penuh kekhusyukan oleh Jaya. Sesekali, beliau menyentuh tangan Jaya jika merasa ada yang salah dalam bacaan yang masuk ke telinganya.
Usai sesi terapi, Jaya dikejutkan oleh kedatangan Bayu yang mengetuk sopan pintu kamar Puspa. Jaya pun mempersilakan masuk. Namun, Jaya kembali terkaget-kaget melihat sosok yang ada di belakang Bayu. Terpaksa, Jaya berdiri di ambang pintu kamar, menghalangi pandangan Puspa ke luar.
Dengan datar, Jaya berkata, “Maaf, Pak Atma. Aku khawatir ibuku belum siap bertemu Anda.”
Pak Atma mengangguk penuh pengertian. Jaya kembali masuk kamar. Bayu menghampirinya dengan wajah serius. “Jay, aku ke sini untuk menyerahkan hasil tes darah beberapa minggu lalu. Sebelumnya, aku minta maaf, ya. Sebab, aku pakai sampel darahmu itu untuk tes DNA tanpa seizinmu. Dan, hasilnya mungkin bikin kamu kaget.”
“Tes DNA? Buat apa?” tanya Jaya bingung. Namun, dia kemudian menoleh ke luar pintu dan paham situasinya. “Kenapa? Lancang banget kamu, Bay. Kamu mengkhianati aku?”
“Maaf, maaf. Aku mengaku salah soal itu,” sahut Bayu. “Tapi, aku harap, kamu bisa menerima alasanku nanti. Kamu baca dulu hasil tesnya agar paham.”
“Hasil apa lagi yang istimewa? Kamu mau merayuku agar menerima kenyataan bahwa lelaki itu ayah kandungku?” cecar Jaya dengan nada yang diusahakannya serendah mungkin.
Bayu berusaha tetap tenang dan membukakan lembaran hasil tes itu di hadapan Jaya. “Tes DNA menunjukkan bahwa beliau bukan ayah kandungmu, Jaya,” tutur Bayu jelas.
Jaya terdiam, matanya membulat. Keterkejutan dan kebingungan terpancar jelas di wajahnya. Jaya gemetaran. Hal ini menghantam Jaya begitu keras. Dia merasa seperti tanah bergerak di bawah kakinya. Ia berdiri dengan rasa kecewa sekaligus lega yang begitu rumit.
“Ini memang bukan hal yang mudah. Tapi aku ingin tahu kebenarannya, bahkan jika itu hanya untuk menutup satu bab dalam hidupku. Lalu, untuk apa beliau mengajak tes DNA jika hasilnya negatif?” tanya Jaya lirih.
Pak Atma yang masih menunggu di luar merasa inilah saat yang tepat untuk menjelaskan semuanya. Beliau memasuki kamar dan dengan suara lembut berkata, “Jaya, ada sesuatu yang harus aku ceritakan. Ini bukanlah cerita yang mudah didengar, tapi kamu berhak tahu.”
Jaya menoleh ke Pak Atma dengan sepasang mata yang masih berkaca-kaca. Pak Atma melanjutkan berkata, “Puspa dan aku dulunya adalah sepasang kekasih. Namun, ada masa lalu yang sangat tragis menjelang pernikahan kami. Beberapa lelaki asing memperkosa Puspa hingga hamil. Puspa diusir keluarganya, sedangkan keluargaku juga tidak menyetujui hubungan kami. Rencana pernikahan kami batal.”
Jaya mendengarkan dengan perasaan sangat kalut. Kedua kakinya lemas bersandar tembok. Namun, dia tetap berusaha menyimak kata demi kata yang disampaikan Pak Atma berikutnya. “Puspa kabur, dan aku terus mencari untuk meyakinkannya bahwa aku tetap menerima keadaan ini. Akan tetapi, aku tidak berhasil menemukannya.”
Bayu berusaha merangkul dan menopang tubuh Jaya, ketika Pak Atma berbicara. “Hingga saat kamu mulai bekerja di RSIA dan melakukan pemeriksaan kesehatan awal, aku baru bisa melihat secercah harapan. Saat aku tahu nama ibumu di salinan akta kelahiran,” terang Pak Atma.
Puspa yang mendengar suara yang begitu akrab di telinga dan hatinya pun keluar. Rinai haru meliputi seluruh wajahnya melihat Pak Atma yang berdiri di ambang pintu dengan senyum khasnya. Puspa menunjuk Pak Atma dan Jaya bergantian sambil menggumam lirih. "Senyum … Sama … . "
Jaya terkejut mendengar ibunya membuka suara. Lamat-lamat, dia menyadari bahwa senyum yang diajarkan ibunya sejak kecil adalah cara tersenyum khas yang dimiliki Pak Atma. Jaya hanya bisa mematung menyaksikan rona bahagia yang tampak di tiap wajah sepasang insan paruh baya itu.
"Puspa, maafkan kedua orang tuamu. Mereka sangat menyesal sudah mengusirmu. Mereka terus mencarimu hingga ajal menjemput, saya saksinya," ucap Pak Atma penuh makna ke Puspa.
Puspa menangis deras sambil mengangguk. Jaya pun menyediakan bahunya sebagai tempat ibunya menumpahkan air mata. Pak Atma menatap sepasang ibu dan anak itu rasa kasih yang tulus. Beliau kemudian teringat sesuatu dan menghela napas panjang.
“Oh, iya. Pertanyaanmu tadi belum kujawab. Maafkan aku karena melakukan tes DNA tanpa seizinmu. Aku hanya ingin menunjukkan bahwa meskipun bukan ayah kandung, aku sangat peduli padamu dan Puspa. Aku izinkan kamu menumpahkan seluruh amarahmu pada sosok ayah, karena kamu butuh tempat untuk menyalurkan semua emosi itu. Kini, aku ingin menikahi Puspa dan menjadi sosok ayah baru bagimu, jika kamu merestui,” ujar beliau lirih.
"Pak Atma …," ucap Jaya penuh haru.
Jaya meneteskan air mata kegembiraan, memeluk Pak Atma, dan mengangguk. Pak Atma tersenyum, lega bahwa Jaya menerima keputusannya. "Dengan syarat, Pak Atma bantu saya membujuk Ibu agar bersedia menjalani semua terapi dengan baik dan kooperatif," tukas Jaya.
"Ya, pasti saya bantu. Puspa, semangat, ya. Semua sudah berlalu. Yang penting, kita bisa bersama lagi, dengan Jaya di sini," ucap Pak Atma lembut.
Puspa kembali mengangguk lembut. Jaya sudah tak sanggup berkata-kata. Dia hanya bisa merangkum kedua manusia kesayangannya itu ke dalam rangkulan lengannya. Sejenak, cukup isak tangis kebahagiaan yang memenuhi ruang itu, dengan Bayu di salah satu sudutnya mengabadikan momen melalui ponsel sambil sesekali mengusap air mata.
TAMAT