Paginya, Jaya sudah duduk di depan Profesor Wijaya. Tatapannya tajam seolah merenung jauh ke dalam pikiran. Dengan mantap, dia berbicara, "Profesor, saya pikir sudah saatnya mencoba hipnosis pada ibu saya. Sepertinya, itu bisa membantu mengungkap masa lalu yang selama ini disembunyikannya."
Profesor Wijaya menatap Jaya dengan cermat sebelum akhirnya membuka suara, "Jaya, saya menghargai upayamu. Namun, sebelumnya kan, saya sudah mencoba sesi hipnosis pada Ibu Puspa, tetapi tidak berhasil. Apa yang membuat kamu yakin bahwa hipnosis yang akan kamu lakukan nanti akan lebih berhasil?"
Jaya menimpali, "Profesor, saya paham bahwa sebelumnya tidak berhasil, tapi saya merasa bahwa saya memiliki hubungan emosional yang lebih dalam dengan ibu sekarang. Saya ingin mencoba sesuatu yang berbeda dan memberikan kepercayaan pada ibu bahwa saya di sini untuk membantu. Selain itu, saya telah mempersiapkan diri dengan lebih baik dan memiliki pendekatan yang berbeda."
Profesor Wijaya menyahut, "Saya mengerti niatmu, Jaya. Yang terpenting adalah menjaga kenyamanan dan keselamatan ibu Anda selama proses ini. Jangan ragu untuk mencoba, dan jika ada tanda-tanda ketidaknyamanan atau masalah, segera hentikan sesi hipnosis. Hipnosis merupakan proses yang sensitif. Kita harus berusaha menghormati batas dan privasi Ibu Puspa. Keberhasilan hipnosis tergantung pada banyak faktor, termasuk kerja sama dan kesiapan subjek. Semoga kamu mencapai kemajuan yang kamu inginkan."
Jaya mengangguk, dia sangat berterima kasih atas kesempatan ini. Jaya segera menyadari, mendapat persetujuan dari Profesor Wijaya bukanlah membuat perasaannya lega. Batinnya justru bercampur aduk kini. Kombinasi antara harapan dan kegelisahan menciptakan getaran yang mendalam dalam dirinya.
Seraya pamit dan mulai menyusuri lorong RSJ, Jaya merasa cukup cemas. Apakah ini akan merusak komunikasi baik yang susah payah Jaya bangun selama ini? Bagaimana jika benar ini justru melemparkan ibunya kembali ke jurang trauma? Bagaimana jika gagal? Apa reaksi ibunya usai sesi nanti? Malu? Marah? Merasa diperdaya? Apa tanggapannya sendiri jika menemukan sebuah kebenaran nanti? Sudah siapkah?
Meskipun memiliki banyak kekhawatiran, tekad Jaya terlanjur kuat. Dia membenahi diri agar siap menghadapi semua tantangan dan risiko yang terlibat dalam sesi hipnosis ini. Langkahnya jadi semakin mantap menghadapi apa pun nanti yang mungkin ditemui.
***
Setibanya di depan pintu kamar sang ibu, Jaya menghentikan langkah sejenak. Dengan napas dalam, dia membuka pintu kamar hati-hati dan memasuki ruangan itu diiringi perasaan penuh harapan dan kekhawatiran yang bergantian. Jaya duduk di dekat Puspa, tatapannya tulus dan lembut saat berbicara.
"Ibu, saya ingin mencoba sesuatu yang mungkin bisa membantu kita memahami lebih banyak tentang masa lalu Ibu, tentang apa yang telah terjadi, dan mengapa Ibu selalu diam," tuturnya hati-hati.
Puspa menatap Jaya dengan sorot penasaran campur khawatir.
Jaya melanjutkan, "Saya ingin mencoba hipnosis pada Ibu. Ini adalah teknik yang telah saya pelajari dan saya yakini bisa membantu kita mengungkap beberapa kenangan yang selama ini mungkin terkunci di dalam pikiran Ibu."
Puspa merenung sejenak dan tampak ragu. Alisnya bertaut sambil melempar pandangan ke luar jendela. sebelum akhirnya mengangguk perlahan. Jaya tersenyum lebar.
"Terima kasih, Ibu. Saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk menjaga kenyamanan dan keamanan Ibu selama sesi hipnosis ini," ucap Jaya sungguh-sungguh.
Jaya menata beberapa bantal di bagian sandaran ranjang. Dia kemudian mempersilakan Puspa untuk duduk di di sana. Puspa berjalan menghampiri dan menyentuh wajah Jaya dengan lembut sebelum menuruti permintaan putranya itu.
Jaya duduk di dekat Puspa dan meminta beliau menutup mata. Jaya mulai merangsang relaksasi dalam diri ibunya, meminta Puspa bernapas dalam-dalam dan merasakan setiap arus napas yang mengalir dalam hidungnya hingga merasakan ketenangan. Perlahan, Puspa tampak terlelap.
Jaya kemudian memandu ibunya melalui proses hipnosis. Suaranya tenang dan menenangkan, laksana ombak yang perlahan menerpa pantai. Dia membawa Puspa ke dalam ingatannya, meminta beliau mengingat kenangan-kenangan dari masa kecilnya, baik yang bahagia maupun yang sulit.
Kedua bola mata Puspa tampak secara perlahan mulai bergerak di dalam kelopak yang tertutup, mengikuti perjalanan ingatan yang mendalam. Ekspresi wajah Puspa tampak tenang. Tak ada kata-kata yang keluar dari bibir Puspa. Dia hanya tersenyum lembut, dan sesekali sangat riang.
Jaya mencatat sambil meminta sang ibu berlanjut membuka kotak kenangan di usia yang lebih besar untuk mencoba memahami peristiwa masa lalu yang mungkin telah membentuk Puspa menjadi sosok yang selalu diam.
Semuanya berjalan normal dan nyaman. Meski tanpa bicara, mimik muka Puspa menunjukkan bahwa dia baik-baik saja di rentang usia remaja hingga dewasa. Namun, seiring dengan berlanjutnya hipnosis, perubahan terjadi.
Saat Jaya bertanya tentang kehidupan percintaan, Puspa yang tadinya tampak bahagia sambil sesekali seperti menikmati segala sensasi di sekitarnya, tiba-tiba terlihat merenung. Wajahnya begitu serius. Terkadang, beliau menunjukkan ekspresi sedih dengan bibirnya yang gemetar perlahan.
Kemudian, saat ingatan mendalamnya memasuki momen yang paling menyakitkan, ekspresi Puspa berubah drastis. Wajahnya memucat ketakutan, dan ada kekakuan yang menyelimuti tubuh. Alisnya berkerut, dan terlihat adanya ketegangan yang terlampau tebal.
Getaran di bibir Puspa semakin cepat seakan-akan sedang menahan rasa sakit yang tak terperi. Matanya yang masih tertutup bergerak cepat, seakan berusaha menolak mengungkap kenangan yang begitu menyakitkan.
Puspa seperti ingin berteriak tetapi membungkam mulut. Tangan dan kakinya bergerak ke sana ke mari seolah-olah mencari pegangan dan perlindungan. Air matanya mengucur deras.
Ini merupakan momen di mana Puspa menghadapi memori yang telah lama dia pendam, memori yang mungkin menjadi sumber trauma beliau. Namun, Jaya sudah tidak tahan menyaksikan semua ini.
Dengan lembut, ia mulai membimbing Puspa keluar dari keadaan hipnosis. Dia mengucapkan kata-kata yang menenangkan dan memberikan instruksi agar Puspa merasa aman dan terlindungi.
Ketika Puspa akhirnya sadar dari hipnosis, wajahnya masih mencerminkan rasa takut dan kesakitan. Jaya meraih tangan Puspa dengan lembut dan berkata, "Ibu sudah aman sekarang. Aku di sini bersamamu."
Jaya memberi waktu pada ibunya untuk merasa nyaman dan mengumpulkan kekuatan. Jaya duduk berdampingan dengan ibunya. Meski banyak emosi dan tanya berkecamuk dalam pikiran, Jaya berusaha menahan diri. Dia harus memunculkan sisi profesionalitasnya sebagai psikolog yang tetap tenang.
Puspa menatap Jaya penuh tanya dan khawatir. Jaya hanya tersenyum dan mengelus rambut Puspa. Dia hanya bertutur pelan, “Terima kasih, Bu, sudah membantu sejauh ini. Setiap proses yang kita jalani bersama, sungguh berarti buatku. Tetap kuat ya, Bu. Kita akan berhasil. Kita akan bahagia bersama. Kita layak mendapatkannya.”
Jaya memeluk ibunya dan diam-diam menumpahkan genangan air mata yang sedari tadi ditahannya. Dia tahu bahwa proses ini akan menuntut waktu, pikiran, perasaan, dan segala pengetahuan yang dimilikinya.