Ketika mengajak Puspa saling menunjukkan hasil karya masing-masing, Jaya terkejut. Ternyata, Puspa justru menggambar pemandangan yang cerah, dengan langit biru dan matahari bersinar terang. Di tengah-tengah lukisannya, ada perempuan tersenyum lebar, mengenakan gaun bunga-bunga berwarna-warni. Wanita itu tampak begitu bahagia, dengan tangan terbuka, sebagai simbol kebebasan dan kegembiraan.
Tanpa disangka, lukisan krayon mereka menunjukkan dua ekspresi yang berbeda. Puspa sedang bahagia saat ini, sementara perasaan Jaya malah lebih rumit, dengan harapan yang masih berusaha bersinar meskipun dalam kegelapan.
Jaya jadi merasa bersalah karena khawatir merusak suasana hati ibunya. Namun, dia memang harus belajar jujur pada diri sendiri. Itulah seni. Melaluinya, dia harus berani menempuh cara untuk berbicara satu sama lain tanpa kata-kata dan mengungkapkan perasaan yang selama ini tersembunyi.
Jaya tak perlu menyesal telah memilih jenis terapi ini. Senyum lega Puspa sore itu, sesaat setelah menyelesaikan lukisannya, jauh lebih berarti bagi Jaya. Biarlah sang ibu merangkul kembali ekspresi dan emosi yang selama ini terkunci dalam diamnya, apa pun itu.
Mengingat mimik muka Puspa yang tadinya tegang dan perlahan rileks, tampaknya Puspa berupaya meredakan stres atau kecemasan yang selama ini meliputinya. Jika hari ini Puspa melukis suasana bahagia, bisa jadi itu menunjukkan Puspa masih memiliki perasaan positif dalam dirinya. Beliau masih ingin hidup bahagia dan bebas, Jaya pun ikut merasa optimis jadinya.
Dugaan Profesor Wijaya tepat, Puspa memang lebih kooperatif saat menjalani terapi seni ekspresif ini bersama Jaya. Walaupun Puspa belum siap berbicara, melalui seni, dia bersedia menjadikannya sebagai wahana rekreasi dan mengungkapkan perasaan serta emosi.
Sebaliknya, Puspa melihat lukisan Jaya yang muram dengan perasaan campur-aduk. Puspa sesungguhnya sangat gembira mendapatkan kesempatan mengecap kembali kemesraan bersama putranya. Namun, beliau juga sedih dan prihatin mengetahui Jaya terpengaruh oleh situasinya yang sulit.
Di sisi lain, Puspa juga terharu melihat usaha Jaya mengungkapkan perasaannya melalui seni. Bisa jadi, itulah perasaan yang terus dibungkam Jaya belakangan ini, terlebih setelah dia menjadi psikolog.
Puspa mendekati Jaya dan memeluknya. Sesaat, degup jantung mereka berdetak beriringan di sela-sela embusan napas di atas bahu bersama hangatnya suhu tubuh. Puspa kemudian memandang wajah Jaya. Alis kanannya terangkat saat menatap Jaya lekat-lekat.
Jaya tahu, ibunya meminta penjelasan. Sesulit apa pun mengungkapkan, Jaya harus berusaha keras untuk mengangkat suara. Dia perlu mencontohkan bagaimana komunikasi semestinya berjalan. Dengan mata sembap, Jaya pun berkata lirih, “Aku sayang Ibu. Aku ingin Ibu bahagia.”
Puspa tersenyum. Perlahan, jari-jemarinya menarikan ritual pembentuk senyuman di wajah Jaya. Jaya menikmatinya seolah sebuah suguhan langka di restoran ternama. Puspa kemudian membelai lukisan Jaya dan memintanya.
Puspa bergerak memajang lukisan itu dengan selotip dua sisi di sebelah lukisan karya Jaya di masa TK. Jaya tak sanggup menahan air matanya yang jatuh akibat guncangan haru dan gelak yang bersamaan. Jaya pun menawarkan bantuan agar lukisan itu terpasang tegak dan simetris. Dia bahkan menempatkan lukisan indah milik ibunda di sisi lain, mengapit lukisan masa kecilnya.
***
Malamnya, usai menceritakan perkembangan terapi sore tadi, Jaya meminta catatan riwayat medis Puspa ke Profesor Wijaya untuk ditelaah lebih lanjut. Jaya mendapati bahwa sudah lama Puspa hanya mendapatkan obat-obat berdosis kecil, semata untuk menstabilkan kondisi mentalnya yang memang terkadang bisa tiba-tiba menurun drastis jika ada pemicu.
Terdorong oleh sebongkah besar rasa penasaran, Jaya pun bertanya, “Jadi, apa sebenarnya diagnosis yang ditegakkan pada ibu saya, Prof?”
Profesor Wijaya menghela napas berat sebelum akhirnya menjelaskan, “Jaya, harap diingat, dalam banyak kasus, diagnosis yang akurat memerlukan data yang cukup. Untuk Ibu Puspa, kita memiliki keterbatasan soal itu. Beliau datang tanpa kartu identitas dan catatan kesehatan. Kamu tahu sendiri, di masa itu, data penduduk dan rekam medik belum serapi sekarang.”
Jaya berpikir keras sambil berkata lirih, “Datang dalam keadaan terpuruk dan hamil, kemungkinan beliau melarikan diri atau terusir, kan? Tidak mau berbicara sepatah kata pun, apakah beliau tampak ketakutan atau malu?”
“Ya, keduanya,” tegas profesor.
“Apakah ada tanda-tanda kekerasan?” kejar Jaya.
“Kalau dari fisik luar, tidak ada,” jawab beliau lagi.
“Visum?” tanya Jaya.
Profesor Wijaya bersandar seolah hendak melepaskan beban yang juga sangat berat ditanggungnya. Beliau berkata, “Tadinya, saya tidak berani melakukannya. Sebab, tidak ada izin dari pihak keluarga. Namun, melihat situasinya yang sangat membutuhkan penanganan medis, saya sempat meminta tolong dokter forensik. Apa daya, Bu Puspa berontak keras saat akan diperiksa. Sepertinya, hal itu merupakan salah satu pemicu utama yang membuat Bu Puspa seperti ini.”
“Jadi, batal?” desak Jaya.
“Ya. saya tidak sanggup menambah trauma lagi pada pasien, gara-gara tindakan yang saya ambil sepihak tanpa izin keluarganya,” dalih profesor.
“Sudah melaporkan ke kepolisian agar ditemukan keluarganya?” selidik Jaya.
“Tentu. Tiga bulan kami menunggu, tidak ada yang menghubungi dan mengaku kenal dengan Bu Puspa. Lalu, kami bisa apa?” ungkap profesor.
“Bagaimana jika kita adakan visum sekarang, Prof? Untuk memastikan apakah ini PTSD. Saya mengajukan permohonan visum sebagai anggota keluarganya,” usul Jaya.
Profesor Wijaya terkejut dan mencondongkan badan ke depan. Dengan pandangan saksama, beliau bertanya tegas ke Jaya, “Apa kamu yakin? Luka seperti apa yang kamu harapkan masih tertinggal setelah 30 tahun? Belum lagi prosesnya. Apa kamu tidak khawatir itu akan memicu Bu Puspa untuk kembali terpuruk secara mental?”
Pundak Jaya pun melemah. Teringat olehnya lukisan cantik karya ibunya di kala senja mulai memerah. Senyum lega itu, raut wajah bahagia itu. Akankah Jaya sanggup menghapusnya untuk menjawab rasa keingintahuan? Dia berubah ragu.
Jaya menggigit bibir dan mengeluh setengah menangis, “Saya ingin tahu apa yang membuat Ibu seperti ini, Prof. Bagaimana saya memulihkannya jika tidak tahu akar masalahnya?”
Profesor Wijaya mengulurkan tangan untuk menenangkan dan berkata bijak, “Saya paham betapa pentingnya jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu bagimu, Jaya. Kami juga terus berusaha membantu Ibu Puspa. Namun, untuk saat ini, satu-satunya hal yang bisa kita lakukan hanyalah berfokus pada gejala-gejala yang tampak dan mencoba memberikan perawatan yang terbaik berdasarkan kondisi saat ini.”
Jaya mengangguk pasrah. “Saya mengerti. Saya hanya berharap bisa membantu Ibu pulih dan kembali menjadi dirinya sendiri. Dalam bayangannya saya, perempuan secantik dan secerdas Ibu, pastilah dulunya sangat periang dan memesona.”
Profesor Wijaya meraih kedua bahu Jaya sembari menghibur, “Itu niat yang mulia, Jaya. Kita akan bekerja bersama-sama untuk mencari solusi terbaik. Langkah awal memang selalu yang terberat. Namun, saya yakin, dengan terlibatnya kamu di sini, akan ada banyak pintu misteri yang terkuak. Kuatkan dirimu, Jaya!”