Jaya dan Bayu duduk menyimak dengan penuh perhatian Pak Atma yang sedang melakukan presentasi. Jaya merasa terinspirasi oleh antusiasme Pak Atma dalam menyampaikan materi. Tampak bahwa beliau tidak hanya seorang petugas lab yang cakap dalam hal ilmu genetika, tetapi juga sosok yang berbicara dengan begitu tulus.
Setelah menjelaskan proses tes genetik secara rinci, mencakup jenis tes yang berbeda, seperti tes pranatal dan tes pasca-kelahiran, Pak Atma melanjutkan dengan bertutur, "Saudara-saudara, tes genetik merupakan pengungkapan kebenaran atas misteri yang ada dalam diri. Ini membantu kita mengambil langkah yang diperlukan untuk melindungi masa depan keluarga kita. Sebuah proses yang dilakukan dengan cinta. Itulah mengapa saya sangat bersemangat membagikan pengetahuan ini dengan Anda. Saya siap menjawab pertanyaan serta membantu Anda melewati rasa ketidakpastian yang mungkin timbul, baik saat akan tes maupun setelah melihat hasilnya."
Jaya tersenyum dan saling pandang dengan Bayu yang mengangguk-angguk. Jaya menatap kagum ke Pak Atma dan jujur berujar, "Kalimat-kalimat motivasi yang bagus sebagai penutup, Pak Atma. Anda benar-benar menguasainya."
Pak Atma mengucapkan terima kasih dengan sopan. "Setiap orang butuh merasa didengar dan didukung kan, Mas Jaya? Kita harus meyakinkan bahwa akan selalu ada komunikasi dua arah di sini. Kan, capek kalau mereka mengeluh sendiri," canda Pak Atma.
Jaya terdiam sejenak, matanya melayang ke halaman presentasi Pak Atma yang menampilkan gambar sepasang suami-istri yang saling bergenggaman tangan. Tanpa sadar, dia menggumam, "Ya, Pak. Memang capek bicara sendiri."
“Bagaimana, Mas Jaya?” tanya Pak Atma lembut sambil mencondongkan telinga kanan ke arah Jaya.
Jaya gelagapan dan segera membentangkan senyuman. "Oh, enggak, Pak. Saya cuma teringat cara berkomunikasi saya dengan Ibu yang … pasif," jelasnya sambil menelan ludah.
Sejenak, Pak Atma memandang Jaya penuh penasaran. “Saya tidak menyangka. Mas Jaya yang pandai menata kata ini, ternyata memiliki ibu yang pendiam,” ungkap beliau.
“Oh, iya. Mungkin, itu yang membuat saya terlatih menata kata. Biar bisa lancar komunikasinya dengan Ibu,” cetus Jaya belingsatan sambil melirik ke Bayu seperti meminta tolong. Bayu hanya bisa mengedikkan bahu.
Berikutnya, Pak Atma meletakkan tangan lembutnya di bahu Jaya. "Bagaimanapun cara kalian berkomunikasi, Saya yakin, ibu Anda sangat mencintai Anda, Mas Jaya."
Jaya tersenyum padanya, merasa terharu atas dukungan yang diberikan oleh Pak Atma. "Terima kasih, Pak Atma. Saya juga yakin itu."
Pak Atma tersenyum. "Terima kasih ya, Mas Jaya. Saya tadi jadi belajar mengatasi kegugupan bicara di awal,” ujar beliau yang kemudian menoleh ke Bayu, “Terima kasih juga, Dokter Bayu. Sudah membantu saya sejak kemarin mempersiapkan materi presentasi yang efektif dan menarik. Pokoknya, saya siap mendukung penuh program Gen Kasih!"
“Mantap, Pak Atma!” sahut Bayu sambil mengacungkan kepalan tinju.
Sepeninggalan Pak Atma, Bayu menyikut pinggang Jaya sambil berkelakar, “Dilihat-lihat, Pak Atma makin mirip aja ya, sama kamu?”
“Mirip? Mirip dari Hong Kong?” tanya Jaya gusar.
“Mirip dari Purnama!” tukas Bayu, “Ya, enggak tahu, sih. Mungkin, karena sama-sama pintar ngomong kali, ya? Pokoknya, sepintas kalian mirip, deh. Mana beliau perhatian lagi sama kamu. Masa kamu dapat ayah baru yang baik lagi, sih? Ih! enggak adil!”
“Iri? Mau jadi anaknya Pak Atma?” seloroh Jaya.
“He! Aku ini sudah bapak-bapak, ya. Kamu tuh, yang masih anak. Soalnya … jomlo!” canda Bayu.
“Tuh, kan. Ke situ lagi,” protes Jaya pura-pura cemberut.
“Yah …. Jangan dibikin serius, dong!” rayu Bayu.
“Maaf, ya. Aku enggak mau serius sama kamu. Kamu terlalu baik untukku. Kita temenan aja!” gurau Jaya.
“Lah? Bisa ngelawak dia!” cetus Bayu terpingkal-pingkal.
Jaya jadi malu sendiri. “Udah, deh! Keluar sana! Aku mau buka praktik,” usir Jaya.
“Eit! Sebentar,” sahut Bayu sambil mengunci pintu lalu merentangkan kedua lengan ke depan. Dia berbisik dengan tatapan penuh harap, “Duo Bay …?”
Jaya melengos malas, tetapi Bayu terus merayu. Akhirnya, Jaya mengikuti gerakan Bayu dan menyambung lirih, “Jay.”
Keduanya pun berputar-putar keliling ruangan dengan kedua belah bibir maju dan bergetar-getar mengeluarkan suara derum pelan. Setelah puas, keduanya tertawa tanpa suara sampai memegangi perut. Jaya memberi isyarat Bayu untuk keluar.
“Salam buat Profesor, ya!” kata Bayu sambil melambai dan melangkah keluar. Telapak tangan kirinya masih mendekap perut kirinya yang perih menahan gelak.
***
Sorenya, Jaya memasuki panti rehabilitasi dengan perasaan harap dan cemas yang berkecamuk. Saat melihat ibunya yang seakan-akan terjebak dalam dunianya sendiri, pria bertubuh kurus itu teringat gambar sepasang suami-istri di lembar presentasi Pak Atma.
Andai ada Ayah, tentu Ibu tidak kesepian begini, keluh Jaya yang semakin merindukan sosok ayah yang belum pernah dia temui. Apa lagi, dia mulai nyaman ketika bersama Pak Atma, seolah menemukan potongan yang hilang dalam dirinya. Sebuah potongan asing yang Jaya merasa tak berhak memilikinya.
Jaya berusaha fokus memikirkan terapi seni ekspresif yang akan diterapkannya ke Puspa. Jaya sangat berharap dengan pengetahuannya yang lebih lengkap tentang sang ibu, dan kepiawaiannya mengaplikasikan berbagai jenis terapi yang pernah dipelajari, mungkin dapat membantu Puspa merasa lebih baik, bahkan jika hanya sedikit.
Jaya mendekati Puspa dengan penuh kehati-hatian. dia duduk di samping Puspa dan berkata lembut, "Ibu, mulai hari ini, Bu Nia izin cuti melahirkan. Sebagai ganti, aku yang akan mendampingi Ibu agar bisa menjalani hari-hari lebih baik. Untuk itu, ada sesuatu yang ingin aku tawarkan. Siapa tahu, bisa membantu kita berdua berkomunikasi lebih efektif. Namanya, terapi seni ekspresif."
Puspa menatap Jaya, matanya penuh pertanyaan, meskipun tetap diam. Jaya pun melanjutkan, "Ini adalah cara untuk mengekspresikan perasaan kita melalui seni, seperti melukis, menggambar, atau membuat kerajinan. Kupikir ini bisa jadi cara untuk kita bisa lebih saling memahami. Aku ingat, Ibu sendiri yang dulu mengajariku menggambar, kan?"
Jaya menoleh ke lukisannya yang terpajang di atas ranjang. Puspa masih diam, tetapi Jaya melihat ada sedikit gairah dalam mata perempuan yang paling dihormatinya itu. Jaya kemudian menambahkan, “Kalau Ibu setuju, kita bisa melukis bersama. Atau, Ibu lebih tertarik dengan sesuatu yang lain? Kita akan mencobanya juga."
Beberapa saat kemudian, Puspa mengangguk perlahan, memberikan izin memulai terapi seni ekspresif. Diam-diam, ada binar kangen di kedua manik penglihatan Puspa yang sedang terkenang saat-saat dia mengenalkan ke Jaya cara menggores krayon.
Itu sebabnya, pilihannya langsung jatuh kepada deretan batang lilin berwarna itu, dibanding cat dan pensil warna yang ditawarkan Jaya. Jaya menyambut dengan anggukan dan senyum penuh harap. Mereka duduk bersama di ruang kamar, dengan selembar besar kertas gambar dan sekotak krayon di hadapan masing-masing.
Mulailah keduanya tenggelam mengekspresikan perasaan terpendam masing-masing melalui warna, bentuk, dan goresan. Jaya menggambar sesuatu yang abstrak. Dia menggunakan warna-warna gelap, seperti biru dan merah tua, untuk menciptakan latar belakang yang kompleks. Di tengah-tengahnya, ada sebuah matahari yang tertutup awan hitam. Namun, di sekitar matahari yang terhalang itu, ada cahaya yang bersinar-bersinar, mencoba menembus awan gelap tersebut.