Dulu hal-hal eksklusif ada karena Liora tidak bisa merasakannya dengan baik. Hidupnya tidak semudah itu. Namun, ketika hal-hal yang dirasa eksklusif itu bisa dia dapatkan bahkan selalu menjadi hal yang sering dia lakukan, semuanya menjadi biasa saja. Hal-hal seperti berbelanja di supermarket, membeli barang mewah, dan lain-lainnya. Awalnya semua memang terasa menyenangkan tetapi ketika sudah dia dapatkan, ternyata semuanya sama saja. Kebahagiaan itu hanya sementara.
“Kata gue bukan cuma dahi lo yang perlu dikompres, tapi bibir lo juga.” Entah mengapa dalam keadaan apa pun, Liora harus mendengarkan perdebatan kedua orang yang tidak tahu diri ini. Mereka sedang berada di supermarket yang penuh dengan orang-orang yang berbelanja di hari libur tapi mulut keduanya sama sekali tidak bisa tertutup sejak menginjakkan kaki.
“Kalian bisa tidak jika berjalan sendiri-sendiri? Satu ke kanan, satu ke kiri. Kepala gue sangat amat pusing mendengar perdebatan kalian,” ucap Liora dengan suara lelahnya. Dia heran kenapa kedua temannya memiliki tenaga yang berlebihan.
“Lo tuh ke sana. Gue ke sini.” Reina mendorong tubuh Naura untuk berjalan sebaliknya.
Namun, kegiatan itu terhenti tatkala ada seorang pria yang datang ke arah Liora. Naura berusaha mengingat pria itu, sedangkan Reina terbelalak dengan mata berbinar. Pria di depan mereka penuh dengan bau uang dan kharismatik. Sedangkan Liora hanya menatapnya dengan biasa. Tidak ada perubahan di raut wajahnya yang memang selalu menatap dingin pada semua orang.
“Lo udah sembuh?” tanya pria itu. Dia secara refleks mengarahkan tangannya untuk memegang dahi Liora tapi wanita itu menjauhkan kepalanya. Darren menarik tangannya dengan cepat ketika mendapatkan penolakan.
“Sembuh nggak sembuh gue tetep perlu makan, kan?” kata Liora dengan kasar. Dia lalu mendorong trollynya ke lorong sebelah.
Reina dan Naura yang hanya menonton percakapan singkat itu langsung menghadang Darren. Keduanya ingin mengetahui lebih lanjut siapa pria yang mendekati temannya.
“Lo … cowok yang semalam kan?” tanya Naura yang masih mengingat sosok wajah laki-laki di tengah remang-remang bar semalam.
“Oh. Jadi dia yang semalam? Lo ninggalin dia di rumah sakit sendiri?” tanya Reina yang membabi buta.
“Hah?” Darren terkejut dengan perkataan wanita di depannya. Sejak kapan Liora berada di rumah sakit? Pasti wanita itu sedang berbohong dengan temannya. Lagipula wanita itu terlalu konservatif jika harus mengatakan sejujurnya. “Gue nungguin dia semalaman penuh.”
“Bukannya lo mabuk berat? Mana mungkin bisa?” Naura berusaha mencocokkan kejadian yang tidak logis. Dia masih memiliki ingatan yang kuat untuk kejadian yang baru terjadi tadi malam. Tidak mungkin dia salah melihat.
“Lo berdua mau sampai kapan ngomong sama dia? Nggak jadi belanja? Gue udah selesai.” Liora memecah percakapan yang membuat reputasinya bisa turun ke bawah. Apalagi pria di depan mereka terhitung sebagai orang asing. Liora juga sudah menganggap Darren asing karena selama sepuluh tahun tidak pernah bertemu.
“Oh bentar-bentar. Gue mau beli mie sama pasta gigi.” Naura langsung berlari ke rak tempat barang tersebut ada. Sedangkan Reina langsung ditarik oleh Naura untuk menemaninya.
“Gue rasa pertemuan kita cukup sampai di sini. Gue harap kita nggak perlu bertemu lagi,” ucap Liora dengan jelas.
“Kenapa justru gue ngerasa kalau lo berharap ketemu sama gue lagi, lagi, dan lagi?” Darren menaikkan senyuman tipisnya.
Liora menaikkan wajahnya dan menatap Darren dengan sinis. “Gue sangat berharap lo nggak perlu mengganggu kehidupan gue yang tenang dan damai.”
“Memang sejak kapan gue mau ketemu lo lagi?” ucap Darren dengan tepat. Wajahnya Liora sudah tidak bersahabat.
“Nih, lo perlu mendinginkan kepala lo biar nggak kebanyakan debat.’ Liora mengambil salah satu es krim Reina dan meletakkannya ke dalam trolly Darren. “Sejak kapan dia menjadi cerewet,” ucap Liora dengan lirih.
Selama mengantri di kasir, Darren berdiri di belakang Liora dan membuatnya tidak nyaman. Liora bahkan sudah menatap sekeliling supermarket untuk mencari sosok kedua temannya. Sayangnya keduanya tidak terlihat. Entah apa yang sedang kedua orang itu rencanakan. Liora benar-benar ingin menghabisi keduanya ketika berada di kos.
Ponselnya berbunyi, Liora membukanya. Ternyata pesan itu berasal dari editor yang menjadi penanggung jawab dirinya. Editor itu menanyakan bagian untuk bab selanjutnya sepertinya malam ini dia memang harus begadang untuk menyelesaikan lima bab selanjutnya.
“Gue rasa lo lagi sibuk. Bisa gue anter ntar sekalian setelah belanja.” Liora hanya melirik dengan tajam.
“Boleh. Lebih bagus kalau lo mau nganterin kita.” Reina muncul dan membalas perkataan Darren. Liora menatap Reina dengan penuh protes.
“Yaudah lo berdua ikut dia.”
“Lo gila? Dia bukan siapa-siapa kita. Kalau ngikut apa nggak aneh? Makanya harus ada lo.” Naura langsung menjawab dengan gagah beraninya itu.
“Gue nggak mau,” ucap Liora dengan ketus.
Reina mendekat ke arah Liora dan mengatakan satu fakta yang akan membuat Liora mau melakukannya. “Li, kita bisa hemat ongkos dari supermarket ke kos. Gimana?”
“Lo berdua aja kalau gitu. Gue nggak butuh.” Liora lalu membayar belanjaannya dan membawa belanjaan itu keluar dari supermarket.
“Bisa lebih cepat?” Darren berusaha mempercepat perhitungan belanjaannya. Begitu sampai, dia langsung berlari ke pintu keluar menuju mobilnya berada. Segera setelahnya dia berhenti di depan ketiga wanita yang ditemuinya tadi. “Ayo, gue antar.”
Naura langsung membuka pintu depan dan memasukkan Liora dengan tiba-tiba. Belanjaan wanita itu langsung diambil alih Naura dan wanita itu masuk ke dalam mobil Darren.
“Alamatnya?” tanya Darren sambil mengetikkan alamat kosan Liora.
“Jalan Merpati nomor tiga puluh lima, rumah nomor 4.” Reina menjawab dengan semangat.
Liora hanya bisa bernapas dengan lelah. Dia baru kali ini melihat teman-temannya penuh semangat untuk mendekatkannya dengan pria yang ada di sampingnya.
“Ekhemm …” Naura berusaha mencari perhatian seluruh orang di dalam mobil. “Jadi, lo itu teman satu halaman Liora?”
“Betul.” Darren menjawab dengan tenang sambil fokus menyetir mobilnya. “Kita dulu satu almameter waktu SMA.”
“Ahhh gitu.” Reina mengangguk-angguk mengerti. “Jatuh cinta sama Liora waktu itu?” lanjut Reina dengan frontal. Wanita itu langsung mendapatkan tatapan maut dari Liora.
“Gimana menjawabnya?” Darren menoleh sekilas ke arah Liora. Pria itu tersenyum dengan penuh arti.
“Gue yang suka sama dia. Tapi itu udah dua belas tahun yang lalu. Waktu di kelas sebelas,” jawab Liora dengan jujur.
“Terus sekarang gimana? Lo masih suka sama dia?”
“Emang lo masih lihat gue suka sama dia? Sepuluh tahun waktu yang cukup untuk melupakan dia sepenuhnya, Rein.”
“Tapi dia kan sekarang ada di depan lo. Gimana perasaan lo?” Semua mata menatap Liora. Timingnya juga tepat sekali saat mereka terjebak lampu merah.
“Menurut lo gue masih harus suka sama dia?” kata Liora yang penuh dengan teka-teki. “Setelah semua yang dia lakukan sama gue? Gue bodoh banget kalau begitu,” lanjut Liora dalam hatinya.
“Masalahnya lo nggak pernah ngomongin cowok selama ini. Jadi, gue rasa perasaan lo berhenti buat dia. Benar, Li?” Naura menanyakan hal yang tidak pernah selama ini orang lain berani pertanyakan.
“Enggak.” Liora menatap semua orang di dalam mobil itu dengan tajam. Dia sudah tidak bisa diajak untuk berbicara lebih lanjut. Naura dan Reina menaikkan bahunya. Dia tahu kalau ini bukan waktu yang tepat untuk bertanya lebih lanjut. Apalagi Liora sangat tertutup dengan masalah pribadinya. Yang mereka bisa lakukan sekarang hanya mencari tahu situasi macam apa yang ada di depan mereka.