“Orang yang gue suka itu Darren sepuluh tahun lalu, bukan yang sekarang”-Liora.
***
Sepanjang perjalanan suasana menjadi lebih canggung ketika Liora terakhir kali mengatakan jawabannya dengan tegas. Tidak ada yang berani membuka percakapan karena suasana berubah menjadi lebih mencekam. Naura dan Liora bahkan lebih memilih menyibukkan diri dengan ponselnya masing-masing. Sesampainya di kosan, keduanya juga langsung berterima kasih dan turun membawa barang belanjaan. Mereka meninggalkan Liora dengan Darren.
“Gue harap, kita nggak pernah ketemu lagi setelah ini,” ucap Liora sambil membuka pintu mobil.
Darren lalu bergegas keluar dari mobil dan menghadang Liora yang hendak membuka pagar. “Gue akan selalu datang buat nemuin lo.”
“Kenapa?” tanya Liora dengan sorotnya yang lemah. Dia sudah muak melihat Darren hampir dua puluh empat jam ini.
“Gue mau deketin lo,” jawab Darren dengan jujur dan cepat. Jujur saja jantungnya berpacu dengan cepat. Untungnya dia masih mengingat bagaimana karakter wanita di depannya. Wanita ini memiliki karakteristik yang terus terang, Darren juga akan mengikuti karakter wanita itu.
“Gue nggak perlu. Gue nggak ada waktu. Gue harap lo nggak buang-buang waktu.” Liora hendak melangkahkan kakinya kembali sebelum lengannya kembali ditarik oleh Darren.
“Kali ini biar gue yang ngejar lo. Gue yakin lo masih punya rasa yang sama kayak dulu sama gue. Cuma lo sembunyiin aja.” Darren menatap mata Liora dengan dalam tetapi sorot mata itu terlalu gelap tanpa ekspresi. Darren tidak bisa mengetahui apa yang sebenarnya wanita itu pikirkan.
“Yang gue suka itu Darren di sepuluh tahun lalu, bukan yang sekarang ada di depan gue. Gue nggak kenal sama Darren yang ini.” Liora melepaskan genggaman Darren. “Lo bukan Darren yang pernah ada di hidup gue.” Liora membuka pintu gerbang dan meninggalkan pria di belakangnya seorang diri. Pria itu cukup terpukul dengan apa yang dikatakan oleh Liora.
***
Darren tidak pernah menyangka jika pilihannya di masa lalu menjadikan wanita itu mengubah perasaannya. Darren tahu dengan baik bahwa Liora tidak pernah menyukai hal-hal yang berbau maksiat. Meskipun dulu wanita itu sering memakai pakaian yang kekurangan bahan, tapi jelas pergaulannya masih berada di batas aman. Dia tidak pernah melihat Liora melakukan hal yang lebih dari itu. Bahkan wanita itu tidak tertarik untuk berhubungan dengan laki-laki. Sebaliknya dengan Darren yang sudah tenggelam dalam maksiatnya.
“Ini rencana proyek yang akan datang. Kayaknya perlu survey ke tempatnya lagi buat mastiin. Sekalian ngelihat kontur tanahnya lagi. Gue masih kurang aja gitu rasanya.” Pria itu menjelaskan proyek pengerjaan gedung yang akan mereka lakukan. Darren sebagai ketua divisi justru tidak mendengarkannya dengan baik. “Otak lo lagi di mana deh?”
“Ya.” Darren hanya mengangguk untuk membalas penjelasan Jefri.
“Udahlah. Ntar malem kita dugem aja. Gue nemu tempat dugem yang paling oke. Banyak cewek cantik, bohay, seksi. Lo tinggal milih aja. Gimana?”
“Atur aja deh,” jawab Darren pada akhirnya. Dia tahu ini menjadi kebiasaan yang tidak baik tapi selama ini hanya alkohol, musik keras, dan wanita-wanita penghibur menjadi pelarian terbaiknya.
“Oke. Siiip.”
Jefri keluar dari ruangan dengan wajah bahagia. Mengingat malam-malam yang menyenangkan di bar membuatnya seketika lupa dengan masalah pekerjaannya yang terlalu berat ini. Belum lagi dia harus berhadapan dengan orang-orang kantor yang beragam.
Dunia malam memang menjadi tempat terbaik untuk menghilangkan semua lelah yang ada. Mereka dapat melupakan berbagai macam masalah hidup. Alkohol dan musik keras menjadi obat yang mujarab untuk mengobati kehidupan dunia.
“Lo kenapa coba?” Fajar menatap sahabatnya dengan tidak habis pikir. Dia tidak heran jika Darren menghabiskan banyak alkohol tapi kali ini wajahnya jelas-jelas berbeda. Ada raut patah hati. “Lo lagi patah hati? Sejak kapan lo deket sama orang?”
“Sejak kapan dia patah hati?” Jefri datang sambil membawa satu wanita di pelukannya. Satu tangannya masih memegang alkohol berwarna biru.
“Lo kalau ada masalah cerita sama kita.” William menepuk pundak Darren. Pria itu memang lebih dewasa daripada teman-temannya yang lain.
“Kata dia, orang yang dia suka itu orang yang sepuluh tahun lalu dia temui, bukan yang dia temui saat ini.” Darren akhirnya mulai meracau. Ketiga pria itu langsung duduk serentak. Jefri bahkan menyuruh wanita di sampingnya untuk pergi.
William, Fajar, dan Jefri saling melirik satu sama lain. Mereka seolah menebak apa maksud perkataan sahabatnya yang sudah teler itu.
“Jadi orang yang disukai siapa?” tanya Fajar.
“Gue.” Darren menundukkan kepalanya yang berat. “Gue sepuluh tahun lalu. Tapi kenapa sekarang dia nggak suka sama gue?”
“Dia suka sama lo sepuluh tahun lalu sama yang sekarang bedanya apa? Sama aja itu lo kan?” Jefri mengatakan logika tidak berdasarnya.
Darren mendongakkan kepalanya menatap pria berambut acak-acakan itu. Bibir pria itu telah berubah warna menjadi merah akibat menghisap bibir wanita di bar tadi. Darren memegang bahu Jefri dengan kuat. “Dia masih suka sama gue? Bilang kalau dia suka sama gue.”
“Kenapa lo nggak nanya dia aja anjir. Bahu gue sakit cok.” William dan Fajar langsung menarik Darren untuk kembali duduk.
“Gimana pun dia teman kita Darren. Inget, bukan samsak lo.” William memperingatkan.
“Lo bisa kan telepon dia. Kalau masih ada nomornya. Zaman sekarang lebih mudah karena udah dibatasin buat daftarin kartu. Siapa tahu nomor dia masih hidup.” Fajar memberikan saran yang logis.
Darren lalu mengeluarkan ponselnya. Dia mencari nama yang sebelumnya pernah dia lupakan. Darren membuka kontak wanita tersenyum dengan gaun bermotif bunga. Darren tanpa sadar mengusap foto profil itu. Air matanya menetes begitu saja. Jefri benar, sejak dulu Liora tidak pernah meninggalkannya. Bahkan wanita itu masih menyimpan nomornya. Wanita itu tidak pernah berganti nomor. Hanya dirinya yang tidak pernah memperhatikan itu. Dia terlalu terpaku pada masa kini. Dia tidak pernah memikirkan apa pun yang dulu ada di belakangnya. Padahal kalau Darren mau melihat ke belakang sedikit, ada orang yang selalu berdiri melihatnya dari kejauhan sana.
“Hiks, gue nggak pernah tahu kalau dia selalu di sini. Gue bodoh banget kayaknya.” Darren memeluk ponselnya dengan erat. Dia berharap sosok itu adalah Liora. Lioranya yang dulu pertama kali mereka ketemu. “Will, kenapa dulu gue nggak pernah ngelihat dia?” tanya Darren dengan putus asa.
“Mungkin lo emang nggak pernah tahu perasaan lo. Mungkin juga lo baru menemukan arti dirinya setelah lo ngelihat dia lagi. Kadang kita emang menyadarinya belakangan.”
Fajar dan Jefri hanya bisa saling berpandangan dan menatap William. Kedua pria itu tahu dengan baik kisah cinta William yang terbilang paling menyedihkan di antara mereka.
“Kalau lo nggak mau menyesal. Ada baiknya lo sekarang berusaha buat ngejar dia. Daripada lo setengah nggak waras gini. Padahal baru juga ketemu kemarin.” Jefri menelan ludahnya dengan pelan. Dia ikut merasa sedih melihat sahabatnya seperti orang gila.
“Kalau gue ditolak? Gue udah ditolak.” Darren menatap Jefri dengan pandangan putus asa. Dahulu dia yang menolak Liora. Mungkin ini memang balasan untuknya. Ternyata rasanya teramat menyedihkan.
“Baru juga ditolak sekali. Masak mau nyerah? Gue jadi kepo, cewek ini kayak gimana sampai lo jadi sedikit gila gini.” Fajar mengatakannya dengan frontal tanpa disaring sama sekali sampai membuat William dan Jefri cukup terkejut.
“Gue mau telepon dia.” Darren lalu menghubungi nomor kontak itu. Tidak ada balasan untuk waktu yang cukup lama. Namun, sebelum nada sambungan itu berakhir, orang disebrang sana sudah mengangkatnya. “Li, Liora? Liora kan?” sapa Darren dengan bersemangat. Alkohol memang berhasil membuat kewarasan manusia menghilang.
“Hemm.” Liora hanya menggumam sebagai jawaban.
“Gue seneng lo nggak ngubah nomor lo.”
“Kalau nggak ada yang penting gue matiin.”
“Tunggu. Jangan. Bisa nggak lo ngomong lebih panjang lagi? Li, bisa nggak kita mengulang semuanya? Bisa nggak lo ngasih kesempatan kedua buat gue?” Darren mengakhiri perkataannya dengan tangisan.
“Hati-hati kalau pulang,” kata-kata itu menjadi penutup telepon yang berlangsung tidak sampai satu menit.
Jefri langsung menarik telepon Darren, sedangkan Fajar dan William mengangkat paksa pria itu untuk segera pulang ke apartemennya. Mereka besok pagi masih harus bekerja dan sekarang sudah jam dua malam. Bisa-bisa mereka mendapatkan nasihat menyenangkan dari bos mereka esok hari.
***
Liora baru saja selesai dengan terjemahannya dan telah menyeting email untuk mengirimkan pesan. Dia menutup laptopnya dan meletakkan kacamatanya di atas laptop. Matanya terasa pedas. Perutnya lapar. Dia mengambil beberapa snack kering di mejanya. Tapi tanpa sengaja tangannya menyenggol sebuah kotak kecil yang dia lupakan isinya. Liora mengambil kotak itu dan membukanya.
Kotak itu ternyata berisi mengenai foto Liora sewaktu SMA. Raut wajah yang sedikit bahagia itu masih tergambar dengan jelas. Liora tersenyum saat mengingatnya. Tetapi kegiatannya terganggu ketika ponselnya tiba-tiba berdering.
“Siapa orang gila yang telepon pagi-pagi buta?” monolog Liora sambil menggeram marah. Tidak biasanya ada orang yang menghubunginya di jam orang-orang sedang terlelap ini. “Orang gila ini sepertinya perlu dikasih sumpah serapah.”
Liora lalu mengambil ponselnya yang tergeletak di balik selimut. Masalahnya selimutnya sedang berantakan dan dia harus mencari di mana tepatnya ponsel itu berada. Hampir satu menit mencari, Liora akhirnya berhasil menemukannya. Liora cukup terkejut dengan nama penelepon. Dia mulai berpikir untuk mengangkatnya atau tidak. Liora menghembuskan napasnya pelan. Pada akhirnya dia mengangkat telepon itu.
“Li, Liora? Liora kan?” ucap Darren dengan suara khas orang mabuk. Liora menjauhkan ponselnya dan menatap foto profil yang terpampang di sana. Dia menghembuskan napas pelan. Pria itu masih memakai foto profil yang sama seperti lima tahun lalu.
“Hemm.” Liora hanya menggumam sebagai jawaban.
“Gue seneng lo nggak ngubah nomor lo.” Mendengar suara Darren yang putus asa membuatnya bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa pria itu sampai harus meneleponnya di jam dua malam ini. Apalagi setelah sepuluh tahun yang lalu tidak ada pesan sedikit pun dari pria itu. Tapi Liora tidak pernah punya hak untuk menanyakannya. Dia bukan siapa-siapa dalam hidup Darren.
“Kalau nggak ada yang penting gue matiin,” ucap Liora dengan tegas. Dia tidak ingin berlama-lama mendengar suara pria itu.
“Tunggu. Jangan. Bisa nggak lo ngomong lebih panjang lagi? Li, bisa nggak kita mengulang semuanya? Bisa nggak lo ngasih kesempatan kedua buat gue?” Liora mengerutkan dahinya. Darren menangis? Seorang Darren? Darren yang cowok itu? Liora mencubit lengannya. Ternyata memang ini semua bukan mimpi.
“Apa sih yang sedang terjadi?” ucap Liora dengan lirih. “Kenapa ini orang tiba-tiba datang lagi.” Liora mengacak-acak rambutnya.
Pada akhirnya dia tidak ingin mengatakan sumpah serapahnya. Dia menarik napasnya dengan perlahan dan menghembuskannya. Liora bersikap dengan tenang.
“Hati-hati kalau pulang.” Akhirnya kata-kata itu menjadi pilihan yang tepat. Liora tidak pernah memikirkan akan bertemu dengan Darren kembali. Apalagi harus mendengarkan tangisan pria itu. Bagaimana mungkin pertemuan pertama mereka setelah sepuluh tahun berlalu itu berakibat fatal sampai sejauh ini.
Liora menatap kembali foto masa SMA-nya. Terlihat di bagian belakang foto itu terdapat wajah seorang pria yang tanpa sengaja terekam juga. Senyumnya yang manis dengan gigi rapi itu terpotret tanpa sengaja ketika sahabat SMA Liora mengambil fotonya. Pria itu yang disukainya dulu. Dulu saat umurnya masih menginjak delapan belas tahun.
“Kenapa lo harus datang lagi? Ketika hidup gue udah baik-baik aja. Ketika gue sudah berhasil menatanya dengan baik. Ketika gue selesai dengan diri gue sendiri. Kenapa kita harus saling mengenal, Darren?”