Sepanjang perjalanan menuju kosannya, Liora tidak bisa melupakan kejadian pagi tadi. Kejadian itu berputar di pikirannya bagaikan kaset rusak yang tidak tahu bagaimana cara menyusun urutan secara kronologis. Liora menghembuskan napas panjang. Hidupnya terlalu lelah jika harus ditambah dengan masalah ini. Dia tidak seharusnya memusingkan masalah tersebut. Hidupnya selama ini sudah berjalan dengan baik tanpa harus bertemu dengan pria itu. Dia telah berhasil melewati semuanya.
“Lagi ada rapat kantor ya, Mbak?” tanya sopir taksi yang berusaha memecah suasana hening.
“Iya, Pak.” Liora mengangguk dengan pelan. Dia membenarkan saja pertanyaan itu. Lagipula rapat apa di hari sabtu? Liora harusnya hari ini sedang menggosok kamar mandi kosannya dan melanjutkan terjemahan novel mandarinnya. Pekerjaannya lebih banyak di hari libur ini.
“Saya juga sering dapet taksi di hotel itu, Mbak. Banyak wanita karir yang saya temui. Semuanya sangat-sangat membanggakan di mata saya. Sekarang bisa melihat banyak wanita-wanita yang berkelas.”
“Ya begitulah, Pak. Semuanya berjalan berputar. Tidak dalam satu tempat,” kata Liora dengan bijak. “Sayangnya hidup saya tidak terlalu berputar banyak, Pak,” lanjut Liora dalam hatinya.
“Saya ingin nanti anak saya juga bisa merasakan bagaimana kerja di tempat bergengsi, Mbak. Biar dia bisa sesukses teman-temannya.”
Liora hanya mengangguk dengan sopan. Dia tahu kalau setiap orang tua pasti memikirkan masa depan anaknya dengan baik. Meskipun hubungannya dengan keluarganya tidak sebaik itu, tapi dia tahu kedua orang tuanya selalu berusaha mendukungnya dengan baik.
“Saya harap anak bapak bisa menemukan kehidupan yang baik seperti keberuntungan orang-orang di luar sana.”
“Terima kasih, Mbak.”
Setelah itu tidak ada percakapan yang terjadi di antara mereka tapi percakapan itu berhasil membuatnya mengingat hubungannya dengan kedua orang tuanya yang sekarang penuh kecanggungan.
Dulu, ketika dia sudah lulus kuliah, dia pernah memberontak dan mengatakan seluruh kekesalannya dalam hidupnya. Setelah kejadian itu, kedua orang tuanya lebih menjaga perasaannya. Bahkan ketika umurnya telah menginjak dua puluh sembilan tahun ini, mereka sama sekali tidak menanyakan tentang pernikahan. Padahal kebanyakan orang tua saat ini akan mulai bertanya hal tersebut.
Meskipun tidak pernah mengatakan tentang pernikahan, Liora tahu bahwa mereka sangat ingin mengucapkannya. Tetapi kecanggungan yang ada di antara mereka telah sangat dalam. Liora bahkan hanya pernah satu kali membahasnya dengan adiknya, Orelia. Dia tahu adiknya juga lebih ingin tahu masalah percintaannya dan hanya Orelia yang berani menanyakannya.
Setelah sampai di depan kosannya, Liora membuka kamar dan betapa terkejutnya ketika menemukan dua wanita dewasa dengan wajah sekeras bata menatapnya. Kedua wanita itu sepertinya menghabiskan malamnya di kamar kosan berukuran lima kali lima.
“Gue kira lo bakalan pulang semalem!” Naura membuka percakapan dengan perkataan tajam.
Liora menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Dia tahu pasti keduanya akan menanyakan lebih lanjut mengenai pertemuannya dengan Darren semalam. “Gue habis dari rumah sakit. Ngabisin infus.”
“Seriusan?” Naura dan Reina berkata bersamaan dan berlari mengecek keadaan Liora. Naura tahu kalau semalam Liora sudah tidak badan tetapi masih dia paksa untuk membantunya membawa Reina ke bar.
“Iya. Makanya baru pulang siang gini,” ucap Liora dengan lemah.
“Terus semalem siapa yang lo temui itu?” tanya Naura dengan semangat empat puluh lima. Wanita itu sangat bersemangat melihat salah satu teman lurusnya dekat dengan seorang cowok.
“Cuma teman aja kok. Dia temen satu kampung halaman gue.”
“Yang bener?” Naura menyipitkan matanya. Dia tidak percaya kalau di antara keduanya hanya teman karena gerak gerik mereka tidak seperti orang yang berteman tetapi lebih.
“Lo nggak bohongin kita kan? Lo nggak akan mau buang-buang waktu buat bantuin itu cowok kalau bukan karena ada apa-apa.” Reina menambahkan argumen yang cukup valid.
“Ya itu karena teman satu kampung halaman kan. Jadi gue mau bantuin dia. Udah kalian kalau mau main ya main aja di sini. Kalau nggak mau pergi aja jalan-jalan sana. Gue masih banyak tugas.” Liora mengusir kedua temannya secara gamblang.
“Lo mau jadi milyuner di usia tiga puluhan ya? Udah jadi pegawai negeri terus ngejob jadi translator juga. Gue rasa lo udah bisa naik haji,” ucap Reina di depan pintu.
“Aamiin deh yaa. Udah sana nyari kesibukan sendiri.” Liora menutup pintu kamar kosnya dan menatap lantai kosong.
Ruangan kosannya kembali sepi. Tidak ada seorang pun di dalamnya lagi seperti hari-hari sebelumnya dan sebelumnya. Dia sudah berdamai dengan dirinya sendiri. Dia sudah menemukan kehidupannya yang damai dan tenang. Dia hanya berharap semuanya akan baik-baik saja sampai waktu nanti ketika telah usai. Tidak ada lagi yang dia inginkan di hidup ini.
***
Kedua orang yang berbeda satu tahun itu menatap satu sama lain. Mereka tidak pernah melihat salah satu sahabatnya bisa melakukan adegan yang cukup eksterm semalam. Cukup ekstrem dalam batas wanita itu tentu saja, mengingat Liora adalah wanita paling lurus yang pernah mereka lihat.
“Kata gue temen lo ketemu cinta pertamanya,” ucap Reina setelah jauh dari kamar Liora.
“Bisa jadi.” Naura mengangguk dengan cepat. Kali ini dia setuju dengan tebakan Reina yang terkadang lebih suka ngebanyol. “Bisa jadi juga cinta tak terbalas.”
“Hemm. Sepertinya bisa jadi.” Reina dan Naura fokus memikirkan kemungkinan hubungan keduanya karena hal ini merupakan salah satu kejadian langka selama pertemanan mereka.
Dakkk …
“Aaaahhh …” Reina menutup dahi sebelah kirinya yang terkena jendela salah satu kamar di lorong kosan itu. “Dahi berharga gue.”
“Lo nggak apa-apa kan? Ini juga jendela kenapa dibuka lebar gini deh.” Naura berkata dengan kencang sampai orang di dalamnya membuka pintu kamar.
“Ya lo lihat-lihat makanya kalau jalan.” Wanita itu juga menaikkan suarannya. Dia tidak terima jika disalahkan karena itu haknya.
“Heh, udah dikasih tahu berapa kali sih kalau di sini itu jendelannya ga perlu dibuka apalagi selebar ini. Lo baca grup nggak?”
“Terserah gue lah. Urusan gue, gue yang nyewa kamar ini.” Wanita itu menantang Naura yang sudah berada di ubun-ubun.
Sebelum sempat Naura melemparkan satu pukulannya, tangannya sudah lebih dulu ditahan oleh Liora. Temannya itu pasti langsung berlari ke tempat mereka. Terlihat dari napasnya yang naik turun. “Kata gue lo berdua mending ikut gue ke supermarket. Cepet ambil tas lo berdua.” Liora mendorong kedua sahabatnya untuk kembali berjalan ke kamar Naura.
Liora beralih menatap wanita di depan kamar yang baru saja membuat dahi temannya benjol. Wanita itu menatap Liora dengan gugup. Entah mengapa aura Liora memang sangat mencekam. Bahkan setara dengan kehadiran setan yang berhasil membuat bulu kuduknya merinding.
“Gue rasa lo perlu belajar masalah pakai ac dalam ruangan.” Liora mengucapkan satu kata tersebut dan meninggalkan wanita itu. Sepeninggal Liora, wanita itu baru merasakan kembali napasnya.
“Itu orang kenapa masih punya teman dah.”