Namanya Liora, memiliki hidup yang tenang dan damai. Namun, memiliki teman-teman yang kelakuannya terkadang membuatnya sakit kepala. Apalagi hidup di kota metropolitan, pergaulan bebas, dan kehidupan malam sudah menjadi pemandangan yang biasa. Di antara ketiga temannya, hanya dirinya yang lebih memilih menjadi konservatif di tengah gaya modern kehidupan manusia.
Tidak masalah jika dia dianggap katrok, kudet, atau apa pun itu. Dia lebih menyukai kehidupannya tanpa campur tangan siapa pun. Selama dua puluh sembilan tahun ini, dia selalu memegang prinsipnya. Hanya saja terkadang dia harus siap sedia untuk datang ke bar ketika teman-temannya sudah tidak sadarkan diri seperti hari ini.
“Coba tebak, alasan dia mabok hari ini sampai pingsan di tempat. Pingsan di tempat, Li.” Naura menekankan kata “di tempat” untuk mempertegas kekesalannya.
“Putus kalik. Lo juga kayak gitu kan biasanya,” jawab Liora sekenanya. Mereka dicegat oleh penjaga di depan bar untuk menunjukkan KTP-nya.
“KTP!” kata penjaga bertubuh kekar itu dengan tegas.
“Kita semuda itu kah, Pak?” Mata Naura berbinar ketika penjaga itu menganggap mereka masih muda.
“Bukan kamu, yang belakang.” Liora tertawa kecil lalu mengeluarkan dompetnya dan memperlihatkan tanda pengenalnya. Wajah Naura berubah kesal ketika hanya Liora yang diminta untuk memperlihatkan tanda pengenalnya.
“Udahlah, enggak penting ini. Cepat kita bawa tuan puteri pulang. Kepala gue udah pusing.” Liora berkata lemah. Sejak tadi sore sepulang bekerja, tubuhnya sudah meminta istirahat penuh. Demam sepertinya akan mulai menyerangnya tengah malam nanti.
Keduanya lalu mencari ke segala penjuru bar. Begitu menemukan Reina, keduanya langsung menghampiri wanita yang tidak sadarkan diri itu.
“Rein, bangun. Ayo kita pulang.” Naura memegang lengan kiri Reina dan menurunkannya dengan pelan dari kursi bar yang tinggi. Liora yang melihat kaki Reina dibungkus dengan sepatu berhak setinggi lima belas sentimeter hanya bisa menggeleng. Dia lalu berjongkok dan melepaskan kedua sepatu itu.
Ketika Liora berdiri, dia kejutkan dengan tangan laki-laki yang memegangnya. Liora lalu menatap ke samping kanannya. Betapa terkejutnya ketika dia mendapati pria yang tidak pernah dia temui selama ini muncul dalam keadaan mabuk.
“K-kamu .. Li-o-ra bukan?” Mata pria itu berusaha terbuka dan menatap wanita yang dia rasa kenal itu dengan seksama. Liora menatap sekeliling pria yang bersama orang di depannya. Sama saja. Semuanya sudah teler dan tidak sadarkan diri.
“Li, lo kenal dia?” Naura berkata dengan siaga. Wanita itu bersiap untuk memukul pria yang tidak dikenalnya di bar. Liora hanya mengangguk sekilas. Dia lalu memberikan sepatu Reina dan meminta Naura untuk mengembalikan Reina di kosannya.
“Akhirnya kita bertemu kembali, Liora.” Pria itu memeluk Liora dengan tergesa-gesa sampai membuat tubuhnya terjerembab ke depan. Beruntungnya Liora memiliki keseimbangan yang baik.
Liora berusaha untuk melepaskan pria itu tapi tenaga pria itu memeluknya sangat erat. Satu-satunya yang bisa Liora lakukan saat ini adalah mengantarkan pria itu untuk kembali ke kediamannya.
Liora dengan susah payah mengubah posisi tubuh pria itu dan berhasil. Tangan pria itu berada di sisi kiri bahunya dan tangan kanannya memegang pinggang sang pria. Liora hendak meninggalkan bar jika suara bartender tidak menghentikannya.
“Tunggu, Nona. Pria itu belum membayar minumannya.” Liora menghembuskan napasnya dan menutup matanya dengan kesal. Liora tidak akan mau membuang uangnya hanya untuk membayar alkohol itu. Dia mau tidak mau terpaksa memegang pantat pria itu dan mengambil dompetnya. Dia mengeluarkan uang berwarna merah sebanyak tiga lembar. Tangannya juga akhirnya mengambil jas pria itu dengan susah payah.
Tubuh Liora yang sedang tidak dalam keadaan fit membuatnya tidak sabar ingin segera menyelesaikan masalah ini. Dia lalu menghentikan taksi dan memasukkan pria itu. Saat berada di dalam mobil, pria itu sama sekali tidak mau mengatakan alamatnya. Alhasil Liora hanya bisa memilih hotel sebagai tempat terbaik.
Liora memesan hotel dengan uang yang ada di dalam kantong pria itu. Dia tidak peduli jika saat bangun nanti pria itu merasa telah dijarah. Yang terpenting sekarang Liora bisa segera pulang dan tidur di rumah. Demamnya sudah mulai naik saat ini dan tubuhnya sudah mulai lemah.
Liora meletakkan pria itu di atas kasur dengan cukup keras karena berat badan pria itu lebih besar daripada dirinya. Liora bahkan ikut terbawa oleh pria itu. Pria itu membuka matanya dengan sayu. Tangannya mengusap pipi Liora dan bibir pria itu tersenyum dengan lebar. Kedua lengan kekarnya kemudian beralih ke pinggang Liora sebelum pria itu kembali menutup matanya.
Liora dengan sekuat tenaga melepaskan diri dan berakhir terlentang di sebelah pria itu. Rasa kasur yang begitu lembut dengan udara dingin air conditioner berhasil membuatnya nyaman. Dia ingin menutup matanya sebentar dan pulang lima menit setelahnya. Namun, tubuh kecil itu justru direngkuh ke dalam pelukan sang pria.