Keesokan harinya, suasana di sekolah terasa berbeda. Ada keheningan yang tidak biasa. Manik terbangun dari tidurnya yang pulas, teringat hari ini ada sesi latihan basket di pagi hari sebelum jam pelajaran pertama, ia bergegas mencuci muka dan mengemas pakaian gantinya agar langsung bisa mengikuti jam pelajaran pertama.
Manik berjalan menuju lapangan basket, berharap bisa bertemu Seynald seperti biasa karena ia tahu seburuk-buruknya dirinya bermain pastilah ada seorang yang tidak pernah sekalipun memainkan di lapangan, yaitu Seynald si penghangat bangku cadagan. Namun, ia mendapati pemandangan dimana teman-temannya berkumpul dengan wajah tegang di pinggir lapangan, tidak ia dapati ada Seynald disana.
Pergelangan tangan manik ditarik oleh seseorang, Abigail, dengan tatapan tajam dan tegang, "Manik, dengarkan aku, ada yang perlu kau tahu," kata perempuan yang saat ini berpakaian kaos olahraga akademi, dengan suara ketakutan. "Seynald... seolah tidak pernah ada di akademi ini, apakah dia hilang atau semacamnya?"
"Apa maksudmu?" Manik bergidik mendengarnya, tidak percaya.
"Dengar, mitos akademi itu nampaknya nyata. Sementara aku mencoba memastikan apa yang terjadi, kau harus menyelesaikan Navaphare!" seru Abigail, tergupuh-gupuh. Sebelum melepas pergelangan tangan Manik, perempuan yang cemas itu mengisyaratkan bahwa dia benar-benar serius, lalu, berlari pergi menjauhi area lapangan basket.
Manik terdiam, rasa dingin menjalar di seluruh tubuhnya. Hatinya terasa hancur. Ingatannya langsung melayang ke malam sebelumnya, saat mereka berbicara dan tertawa bersama. Rasa tidak percaya dan kehilangan menyelimuti dirinya saat ini.
Ketika Manik membaur dengan teman di tim basketnya, ia disambut dengan suara riuh rendah penuh semangat. Seolah tidak terjadi apa-apa.
"Baiklah, semua! Hari ini adalah hari besar kita. Kita harus ganyang mereka!" teriak Aegis, kapten tim, dengan semangat tinggi. "Ini adalah momen kita untuk menghabisi kelas para kroco itu!"
Seluruh anggota tim bersorai menyahut Aegis yang tidak bisa dihentikan sama sekali, namun Manik mencoba berbicara, "Aegis, ada sesuatu yang perlu kalian tahu. Seynald..."
Namun, Aegis memotongnya dengan cepat, "Manik, tidak sekarang. Kita harus fokus pada pertandingan ini. Seynald...? Siapa dia! Pasti selalu menjadi cadangan, dia tidak benar-benar berpengaruh pada tim."
Rekan-rekan tim lainnya mengangguk setuju. Mereka berbicara tentang strategi, taktik, dan bagaimana mereka harus mengalahkan tim lawan. Tidak ada yang memperhatikan wajah Manik yang penuh kehilangan.
"Ini adalah kesempatan kita untuk menunjukkan siapa yang ganyang siapa," kata Aegis memanasi anggota tim kembali. "Jadi katakan, siapa!?"
"Kita!" kompak semua mengatakan itu, "ganyang mereka!" semua menyerukan kalimat itu, kecuali Manik, yang terdiam terheran.
Manik merasa terasing di antara teman-temannya sendiri. Ia tahu Seynald mungkin tidak pernah benar-benar bermain basket dan selalu menjadi cadangan, tetapi bagi Manik, Seynald adalah sahabat yang berharga. Merasa putus asa, ia menyadari bahwa bagi timnya saat ini, kemenangan lebih penting daripada kehilangan seorang teman, bahkan dianggap tidak penting sama sekali karena selalu menjadi pemain cadangan.
Atau mungkin, benar apa yang dikatakan oleh Abigail, bahwa Seynald benar-benar tidak pernah ada di akademi ini.
Saat pertandingan berlangsung, Manik mendapati menit bermain yang singkat, ia bermain dengan hati yang berat, namun, masih mampu memberikan beberapa umpan sempurna kepada temannya. Bahkan, satu umpannya kepada Aegis berbuah 2 poin saat ketua tim basket itu melakukan gerakan slam dunk, membuat penonton heboh dan mereka memberi Manik kredit baik untuk itu.
Pertandingan selesai dengan kemenangan telak kelas A yang memaksa pihak lawan tersudutkan oleh permainan agresif mereka dari kuarter pertama.
Meskipun timnya bermain dengan baik dan memenangkan pertandingan dengan hasil sangat memuaskan, Manik merasa ada yang hilang. Sorak-sorai penonton dan pujian yang didengarnya silih berganti itu masih tidak bisa menghapus rasa kehilangan yang dirasakannya saat ini.
Di ruang ganti, setelah pertandingan, suasana sangat meriah. Aegis dan anggota lainnya merayakan kemenangan mereka, tetapi Manik memilih untuk tetap diam. Saat semua orang sibuk dengan kebahagiaan mereka, Manik menyelinap keluar, menuju tempat di mana dirinya dan Seynald biasa berbicara. Manik tidak lagi bisa menemui penghuni bangku cadangan itu, yang tidak pernah sekalipun mendapatkan menit bertanding, seseorang yang senang mendengarnya bergumam ataupun mengeluh tentang apapun. Seynald terasa tidak pernah ada di akademi ini, sekalipun di luar lapangan, apa yang dikatakan Abigail nampaknya benar; mitos akademi adalah kenyataan.