Manik hampir menghabiskan satu kaleng soda miliknya, sementara pembicaraan mereka berlanjut hingga langit benar-benar gelap. Petugas kebersihan tidak menghiraukan mereka, terus membersihkan pelataran klinik dari sampah-sampah yang banyak. Di tengah pembicaraan, Seynald tertawa saat mengingat kenangan-kenangan lucu mereka di lapangan basket dan di luar kelas. Akhirnya, Seynald berdiri dan mengulurkan soda miliknya kepada Manik untuk mengajaknya bersulang.
"Menurutmu," kata Manik sambil mengira sisa soda di dalam kaleng, "kenapa kita selalu merasa kurang hidup saat berbicara tentang hal-hal besar dan filosofis, sementara begitu menyenangkan apabila kita membicarakan sesuatu yang begitu remeh?"
Seynald terkelakar, menyesap sodanya dengan nikmat. "Karena itu memberi kita perspektif, kawan. Kita jadi mengerti betapa kecilnya masalah kita dibandingkan dengan luasnya dunia dan kehidupan."
Manik mengangguk, merenung sejenak sebelum menjawab, "ya, mungkin kau benar. Kita butuh momen-momen seperti ini untuk merasa lebih berarti."
Seynald membuang tatapannya ke arah langit nun jauh, "aku tak tahu seberapa lama aku di bangku cadangan, Manik. Tetapi yang aku tahu kau selalu mengajakku bercerita tentang harimu yang menurutku gila. Terima kasih karena... kau tahu, kita sering lupa untuk menghargai momen kecil ini. Bukan tentang bagaimana kita memenangkan turnamen antar pelajar, namun, bagaimana warna rambut Abigail itu lebih unik daripada cara guru matematika kita memakai kacamata."
Mereka terus berbicara hingga langit benar-benar gelap. Seynald merasa sangat senang, seolah semua masalahnya lenyap bersama gelak tawa dan percakapan mereka. Akhirnya, mereka memutuskan waktunya untuk pulang.
"Sekali lagi terimakasih, kawan!" Seynald menatap manik dengan penuh keyakinan, "kau akan membawa mitos akademi itu menjadi kisah luar biasa! Aku percaya kepadamu!" lalu berdiri dan beranjak pergi mendahului Manik untuk kembali ke asrama putra.
Manik merenungkan kata-kata Seynald. Di dalam hatinya, ia merasa bahagia telah bisa membuat sahabatnya merasa lebih baik. Namun, di balik kebahagiaan itu, ada rasa hening yang mendalam, menyadari bahwa kebahagiaan juga datang dari memahami dan menerima diri sendiri. Momen itu memberikan Manik kesadaran baru tentang arti pertemanan dan kebahagiaan sejati.
Dengan perasaan campur aduk, Manik duduk sendirian sekarang, membiarkan momen sepi mengendap dalam pikirannya, sementara angin malam menyapu halaman depan klinik, beradu dengan suara sapu yang berdesik dari petugas kebersihan. Sadar dia tidak sendirian, memilih untuk membelikan satu minuman kepada petugas kebersihan itu lalu pergi dengan mendengar ucapan terimakasih petugas yang datar.
Ucapan hambar itu cukup membuat harinya sedikit tidak menyenangkan, Manik kemudian mengakhiri hari dengan menuju ke asrama putra dan bergegas menuju kamarnya yang berada di sudut ruangan untuk meletakkan tas, mengganti baju, dan bersiap mandi. Ia juga meletakkan batu pemberian Abigail diatas bungkus sisa camilan yang dimakannya bersama Nirluka.