DANAU luas sejauh mata memandang dengan permukaannya yang seputih salju menyambut indera pengelihatan kami. Perasaanku mengatakan, es yang ada di danau itu setebal tiga jengkal tangan orang dewasa. Meski begitu, aku tetap tidak boleh tertipu dengan permukaannya yang tampak tebal. Beberapa permukaan danau beku bisa jadi memiliki ketebalan es yang berkeretak, tipis, dan bisa hancur sewaktu-waktu apabila diinjak.
Di depanku, matahari dengan malu-malu menampakan diri dari balik gunung salju menjulang yang ada di kejauhan sana. Membuat bayangan pepohonan yang ada di seberang sana tampak riuh, menutup tepian danau dengan bayangan mereka yang memanjang.
Benar-benar sudah mau pagi. Terang. Hal yang kulakukan selanjutnya adalah langsung berjongkok di atas tumpukan salju, melepas tas keranjang anyaman, dan dengan segera mengeluarkan sepatu es warna cokelat dengan tulang bison yang dipotong jadi sebesar ukuran sepatu yang menempel di bagian bawahnya.
Ini sepatu es khas suku Glacier. Terbuat dari kulit bison yang kemudian dibentuk sesuai ukuran kaki. Ibu sendiri yang membuatnya setelah Nenek dan Bibi Oan berhasil menangkap seekor bison. Dagingnya kemudian kami simpan untuk dimakan nanti, dan beberapa dibagikan ke warga Glacier dan Tetua Adat Rowei.
Aku tersenyum mengingatnya. Saat itu, kami sekeluarga bisa makan enak. Orang-orang terdekat, bahkan Tetua Adat Rowei sekalipun bisa makan daging dengan kenyang.
Aku memutuskan menatap Dapna setelah memori manis yang singkat itu. Dapna melakukan hal yang sama; berjongkok dan memakai sepatu es. Aku menunggunya. Setelah dirasa selesai, kami pun kembali memakai tas anyaman lagi, perpegangan tangan, dan setelah itu meluncur di atas es diikuti Lana.
Dapna melepaskan genggaman tangannya padaku, dan dia kemudian meluncur dengan luwes ke tengah danau. Melaju, mundur, melompat, berputar, dan mendarat dengan anggun. Aku mula-mula kagum pada keahliannya meluncur di es, tetapi setelahnya, rasa cemas langsung menyergapku saat itu juga. "Hei, jangan main-main! Cepat ke sini!"
Aku mengibaskan tangan pada Dapna, menyuruhnya mendekat agar sekiranya dia tidak meluncur terlalu jauh. Dapna menurut dan dia meluncur ke arahku sambil mengembungkan pipi. Mungkin terganggu dengan teriakan serta suruhanku.
Maklum saja, aku khawatir kalau dia akan menginjak bagian es yang tipis kemudian tenggelam ke dalam danau. Kalau sampai itu terjadi, aku bisa membayangkan betapa paniknya aku nanti dan bagaimana reaksi Ibu, Nenek, Bibi Oan, Ria, serta dua kakakku yang lain. Aku akan dimarahi habis-habisan, karena bagi mereka, akulah tanggung jawab Dapna, karena aku lebih tua darinya.
Dapna sudah berada di sampingku sekarang. Aku lega untuk sesaat, meski lagi-lagi aku harus berjongkok, melepas tas, dan mengeluarkan sesuatu dari tas anyaman. Sebuah tombak lipat yang gagangnya terbuat dari kayu, senjata khas suku Glacier—selain busur dan anak panah.
Aku kemudian kembali memakai tas anyaman lantas meluruskan tombak yang semula terlipat, baru setelah itu, aku pun mengarahkan bagian runcingnya ke permukaan es dan memejamkan mata.
Baiklah, inilah teknik memancing di es ala suku Glacier, "melacak keberadaan ikan sambil merasakan es". Caranya, dengan mengarahkan ujung runcing tombak ke es dan kau kemudian meluncurkan diri sambil merasakan es.
Jujurlah, aku agak gugup ketika melakukan ini. Musim salju sebelumnya, yang melakukan ini adalah Kak Nahla dan Kak Tallu, aku hanya menonton saja saat itu, sambil menyiapkan joran dan umpan, tetapi, karena Dapna ada di sini, aku jadi curiga, jangan-jangan saat ini dia sedang menatapku dalam dan intens.
Meski fokusku tertuju pada es, aku merasakan kalau dia berdiri satu jengkal di sampingku, dengan kepalanya yang menengadah dan ekspresi polos ingin tahu.
Aku ingin tertawa—kebiasaanku kalau sudah ditatap intens begitu oleh saudari-saudariku sampai Ibu sesekali menegurku dengan pukulan kayu tepat di kepala—tetapi, kutahan sekuat tenaga demi satu hal; ikan.
Kakiku pun meluncur di sepanjang tepian danau sambil merasakan ketebalan esnya dengan pelan dan tenang diikuti Dapna dan Lana. Sejauh ini, yang kurasakan esnya tebal, tidak rapuh. Kalau kakiku merasakan es yang tipis, mungkin aku akan langsung melebarkan mataku. Panik dan cemas sebentar, kemudian meluncur mundur.
Aku terus meluncur, meluncur, dan meluncur sambil merasakan es, hembusan angin, dan cahaya hangat matahari yang mulai kian eksis dan meninggi. Sampai ketika Dapna hendak bertanya, aku langsung melotot dan mendesis ganas ke arahnya, kemudian kembali memejamkan mata dan berkonsentrasi.
Aku betul-betul tidak ingin mengalami gangguan apa pun, termasuk mendengar suara Dapna atau mendengar suara cempreng Lana. Setidaknya, untuk saat ini.
Kakiku refleks berhenti, dan kedua alisku menukik tajam. Kurasakan sesuatu yang bergerak di bawahku. Air yang mengalir tenang, suara es yang berkeretak, dan ekor yang tersibak menampar air.
Langsung kutancapkan tombakku ke bawah, lalu kemudian meluncur melingkar, membuat gambar lingkaran. Dapna menatapku. "Ikannya ada di sini?"
"Ya." Aku mengangguk semangat dengan yakin dan tersenyum lebar.
Aku terus berputar tanpa mengindahkan tatapan Dapna dan Lana sehingga lingkaran yang kuciptakan pun tergambar dengan baik dan dalam.
Untuk selanjutnya, aku pun meletakan tas anyamanku di atas es dan mengambil gergaji dan bangku kecil yang kemudian kuberikan kepada Dapna.
Aku langsung menancapkan gergajinya ke es dan menggerakkannya dengan penuh semangat. Dapna sudah duduk di atas bangku kecil yang sudah kuberikan. Dia menonton dengan lugu dan penasaran. Lana yang semula diam di es memutuskan untuk berjalan ke tepian, ke arah semak-semak. Hendak mencari beri enak yang mungkin tumbuh di sela-sela semak (padahal, kami sudah memberinya makan).
Cahaya matahari yang mulai menyinari kami sepenuhnya mengindikasikan kalau aku menggergaji es dengan lumayan lama. Setelah esnya terpotong membentuk lingkaran, aku pun mengambil capit besi di tas anyamanku. Kemudian menancapkannya ke es, dan mengeluarkannya sekuat tenaga.
Peluh keluar dari pelipisku ketika aku menariknya, dan tepat sesuai dugaanku esnya setebal tiga jengkal tangan orang dewasa. Berat, keras, dan bikin jengkel.
Dapna bangkit, berinisiatif menarik keluar es yang sedang kutarik. Dia berjongkok dan memeluk esnya sekuat tenaga.
Beberapa lama akhirnya es pun keluar. Sayangnya, hal itu tidak membuatku lega. Aku kembali mengambil tombak, membuat lingkaran, dan kemudian menggergaji es. Bukan hanya aku saja yang akan memancing, Dapna juga demikian. Aku tidak bisa membiarkan Dapna melubangi es sendiri karena dua hal; pertama, Dapna masih kecil, umurnya sembilan tahun, kedua, aku Kakaknya, dan dia jadi tanggung jawabku.
Berapa umurku? Tiga belas tahun. Umur yang lumayan untuk mengerjakan beberapa pekerjaan rumah.
-
Matahari sudah muncul dari balik gunung, dengan tidak malunya menyinariku yang sedang terbaring di atas es dengan mulut terengah-engah. Aku sudah membuat dua lubang es, dan aku sudah menyuruh Dapna untuk menyiapkan dua joran, satu bangku kecil untuk kududuki, dan sebungkus belatung. Lana ada di sisiku. Ikut berbaring dengan menjulurkan lidah setelah dia puas mencari beri. Matanya terpejam, sedang merasakan hangatnya sinar matahari pagi.
"Semuanya sudah siap." Dapna mengintruksikan. Aku pun bangun, lalu duduk di bangku kecil.
"Umpannya tidak kau buka?" Aku bertanya begitu ketika kantung kulit warna merah tua itu teronggok begitu saja di atas es di samping joranku—Dapna sudah mengambil jorannya.
Dapna menggeleng. Alisnya mengerut. "Tidak mau, jijik."
Aku menghembuskan napas lewat hidung, kemudian membuka bungkus umpan itu. Belatung dengan kulit putih kekuningan menggeliat. Beberapa ada yang mati kedinginan, beberapa ada yang masih hidup, seolah bertahan. Aku mengambil satu belatung yang mati, dan memberikannya pada Dapna.
Dapna menatap belatungnya dengan jeri. Aku menatapnya datar.
"Suatu hari nanti, kau akan terbiasa dengan ini Dapna," celetukku. "Kau tidak akan langsung menyentuh kulitnya, tanganmu sudah dibalut dengan sarung tangan," lanjutku, berusaha untuk meyakinkannya agar dia tidak takut.
Dapna menatap belatung itu sebentar, kemudian dia menerimanya dengan ragu. Alisnya mengernyit dengan bibir yang berkerut jijik.
Aku menghela napas lagi. Aku bukan guru yang baik, tetapi karena aku adalah kakak ketiga dan dia adik yang paling bungsu, jadi kuputuskan untuk mengajarinya sesuai dengan kemampuan yang kumiliki.
"Pertama-tama, siapkan jorannya." Aku mengintruksikan sambil memegang joran. Dapna mengikuti. Ekspresinya masih kegelian karena memegang belatung mati.
"Sudah."
"Kedua, pasang kail pancingnya dengan umpan."
"Oke."
"Kau merasa kesulitan tidak?" Aku bertanya, mencoba memastikan karena tadi dia sempat jijik.
"Tidak." Dia menjawab.
Aku mengangguk. "Kita tusuk belatungnya dengan kail, dan setelah itu masukan ke dalam air, dan selanjutnya, kita tunggu ikannya sampai ia memakan umpan kita." Itu instruksi terakhir yang kuucapkan.
Dapna mengangguk. Dia tampak serius setelah aku mengintruksikan cara memancing ala kadarku.
Lana kemudian bangkit dari es, dan duduk melihat kedua tuannya dengan ekor terangkat yang agak digoyangkan. Namun, ketika seekor burung putih mungil mendarat di atas es, rubah itu langsung berlari mengejar. Meninggalkan aku dan Dapna.
"Kapan ikannya akan memakan umpan?"
"Jangan berisik." Aku membalas ucapannya dengan berbisik. "Ikannya akan lari kalau kau berisik." Aku mengingatkan dengan tegas. Dapna langsung mengatup mulutnya dan mengangguk. "Ikannya akan datang dengan segera setelah memakan umpan kita, untuk itu, kita harus bersabar." Aku berbisik lagi, mencoba mengingatkan dan Dapna lagi-lagi mengangguk.
Hening. Tidak ada topik pembicaraan saat kami memancing. Lana juga sudah berlari jauh mengejar burung. Dari sini, aku bisa mendengar rubah itu tertawa. Bunyi ang-ang-ang, terdengar dari kejauhan meski agak samar.
Aku menghela napas. Sudah beberapa lama kami menunggu. Aku bertopang dagu, tetapi sesuatu yang bergerak di joran milik Dapna sukses membuat kami melotot.
"Pa-pancinganku bergerak! Ba-bagaimana ini?"
"Tarik!" Aku berseru. Dapna berdiri dan langsung menarik jorannya. Senyumnya melebar ketika dia mendapat ikan yang cukup besar.
Aku tersenyum senang. Hal yang kuajarkan padanya akhirnya membuahkan hasil.
"Ikannya besar," cetusnya, girang.
"Langsung masukan ke dalam tas keranjang," suruhku.
Dapna tersenyum, memasukan ikan yang masih menggeliat itu ke tas keranjang, dan mengambil umpannya meski ekspresinya masih agak takut dan geli.
Rasa bangga menyergap hatiku saat itu juga. Membuatku optimis kelak bisa menjadi Kakak yang lebih baik.
Tali joranku bergoyang seperti ada sesuatu yang menarik di air. Aku menarik joranku. Dapat kulihat seekor ikan salmon berukuran jumbo bergerak-gerak liar. Dapna langsung ber'wah' kagum melihatnya.
"Besar sekali!" Dia berseru, sedangkan aku langsung memasukan ikan itu ke dalam tas keranjang.
"Aku juga agak terkejut," sahutku, dengan tersenyum lebar. Itu adalah ikan salmon pertama yang aku dapat. Biasanya, aku selalu mendapat ikan-ikan kecil, trout, dan lele.
Jangan heran kenapa di danau ini ada ikan salmonnya. Danau ini terhubung dengan sungai. Ada aliran sungai di sisi kanan dan kiri, tetapi percayalah, karena luasnya danau ini, ikan salmon jadi sukar untuk di dapat. Apalagi, saat mereka sedang bermigrasi.
Beberapa lama kemudian, suasana kembali hening. Dapna kembali mendapatkan ikan dan langsung memasukan ikan itu ke tas keranjang.
Aku bertopang dagu, menatap air es yang tenang. Setelah beberapa lama, akhirnya aku berhasil mendapat enam ikan dengan ukuran sedang.
Karena bosan dan Dapna yang sedang sibuk berkonsentrasi, aku pun iseng menatap langit. Awan mendung sejauh mata memandang muncul. Aku mengernyit heran. Bukankah tadi cuacanya cerah?
"Eh, Kakak, Lana mana?"
Tatapanku langsung mengarah ke arah Dapna begitu dia bertanya. Aku berkedip. Untuk sesaat aku langsung ingat bahwa aku punya seekor rubah merah yang mesti diawasi.
Baik aku, maupun Dapna, kami berdua menoleh ke sana-kemari, hendak mencari Lana. Untuk sesaat, aku melihat rubah merah itu di kejauhan. Mengendus-endus semak berselimut salju dengan sesekali menjilati esnya. Mungkin dengan harapan ia bisa menemukan buah beri di sana.
"Lana!" Aku berteriak kepada Lana. Ia sekarang menoleh ke arahku. Lidahnya terjulur gemas. Kalau seandainya ia dekat, sudah kuusap bulu lembutnya yang tebal. "Cepat kemari! Tidak ada beri di sana!" Aku memberitahunya.
Aku pernah ke sana, sekali, saat masih kecil di musim panas yang lembut. Iseng mencari beri untuk Lana yang saat itu masih kecil juga. Saat aku menelurusi tempat itu, tidak ada beri di sana. Hanya hutan lebat dengan semak-belukar liar yang dapat mengotori rok.
Bukannya mendekat, rubah itu malah masuk ke dalam hutan. Melompat-lompat riang dengan lidah terjulur. Jelas sekali ia tidak ingin menurut dan lebih memilih bermain ke tempat lain.
Aku menghela napas, kemudian menancapkan bagian ujung joranku ke es sampai ia tertancap. Aku berdiri, kemudian meluncur menjauh.
"Kakak mau ke mana?" Dapna bertanya cemas. Dari ekspresinya, sepertinya dia takut aku meninggalkannya sendirian.
"Aku akan menjemput Lana. Kau tetap di sini, jangan ikut." Aku langsung meluncur setelah mengatakan itu, tetapi ucapan Dapna yang lain sukses membuatku berhenti sebentar.
"Jangan lama-lama!" katanya, dengan berseru sedikit, berselimut takut.
Aku menoleh. "Aku tidak akan lama." Kemudian meluncur lagi. Meninggalkan Dapna di es.
Dapna adalah gadis yang pintar—bahkan lebih pintar dariku—dan dia adalah anak paling patuh selain Ria dan Kak Tallu.
Sambil meluncur di es, aku meyakinkan diri bahwa aku benar-benar tidak akan lama berada di sana. Yah, hanya sekadar membawa kembali rubah merahku dari danau sebelah Barat ke danau sebelah Timur.
Lagipula, bahaya apa yang bakal menimpa kami?