PROLOG : Dialog Senja
Biarkan aku memberitahumu sesuatu,
Sesuatu yang menciptakan untaian lirik tiap kali raga bernapas.
Beberapa keindahannya tak mampu dilepas dengan tarian lisan.
Sesuatu yang terdekap kian eratnya tanpa adanya detak.
Beberapa masih tertinggal menyisakan jejak yang dalam menghangat.
Sesuatu yang dihidupkan dalam Renjana.
Sesuatu yang wanginya terkenang bagai Bunga Kenanga.
Sesuatu yang hangatnya tak terlupa serupa Matahari Senja.
Sesuatu itu, masih hidup menetap di palung hati sampai sekarang. Pemiliknya, hanya dia seorang— Renjana Kenanga Matahari Senja.
- Tertulis untuk Cinta Pertama yang telah Terkubur Renjana.
Ditulis oleh, Nona Kuas, Rinai.
***
“Always stay by my side. You’re like my dream— like yesterday, today and my everything. I can’t erase you...” - Part Of Davichi Songs.
RINAI : Cinta Pertama Terkubur Renjana
© LotUs Malam aka Vlitte'Rn, write since 2022
•••••
Taman Ayodya - Jakarta, 2020
“KALAU suatu saat nanti semesta dan segenap isinya membuang aku. Apa kamu masih sudi memungut dan menerima aku, Nai?"
"Pastinya lah, sudi banget. Berarti, gue bisa menjadikan Renjana Kenanga Matahari Senja milik gue seorang, dong! Tapi, kenapa tiba-tiba nanya begitu?"
"Bukan apa-apa, cuman sekedar bertanya aja, kok," jawab lelaki kanvas itu sengaja mengelak dari tanda tanya tersebut.
Belum mengumpulkan nyali dirinya untuk menoreh tamparan keras akan kenyataan pada gadis kuas di depannya. Renjana pun mulai menarik napas teramat dalam demi dapat meneruskan dialognya di bawah luasa naungan teduhnya payung jingga, "Lalu.., kalau suatu waktu Senja berpulang kepangkuan ufuk dan aku gak kunjung kembali. Bagaimana, Nai?"
Rinai terbungkam sementara gelegar ombak di atas sana mengaduh tat kala kapal besar bersayap baja membelah lautan kapas yang luruh menggelap. Pekik dengungannya tidak sanggup menjangkau telinga gadis yang mematung di hadap kolam ikan itu, termangu ia memutar berulang kali tiap tanya yang Renjana suguh pada sekotak walkman di sudut ruang kepalanya.
"Mau ke mana, Renjana?" tanyanya meragu, kemudian berusaha bangkit dari jongkoknya sebelum kedua kakinya menyatu dengan muka tanah. "Kenapa, pertanyaan yang lo kasih dari tadi aneh-aneh? Memangnya sebenarnya ada masalah apa, Renjana?"
Lelaki yang tak pernah kenal bosan mengamati punggung Kuasnya itu pun mengulum senyum simpul. Renjana tidak mengiyakan, tapi tidak pula mentiadakan masalah yang tersemat dalam tanya Rinai barusan. Tak lama, tiupan angin senja yang hendak berpamit diri pun menghampiri— dengan syahdunya menciptakan jarak di antara kedua insan tersebut. Kedua insan manusia yang enggan beranjak dari taman kota yang tak lagi berpenghuni ini.
Renjana mengambil langkah mendekat ke arah lingkaran kolam ikan berdiameter cukup besar itu. Terduduk ia di atas dinding yang menancapi tepian kolam tanpa menyurutkan senyum yang tercetak amat tebal dan dalam di wajahnya. "Duduk dulu, Nai," pintahnya sambil menepuk-nepuk ruang yang lowong di sampingnya.
"Banyak yang mau aku bicarakan sama kamu. Syukurnya, aku masih punya banyak waktu." Renjana kian merendahkan oktaf suaranya layaknya sebuah gumaman.
Entah, berapa banyak sisa waktu yang Renjana punya setelah hari ini. Bisa jadi, inilah yang disebut-sebut sebagai kesempatan terakhir diri menghirup oksigen dunia fana yang terkadang menyesakkan jiwa. Tak ada yang mengetahui. Tiada satu pun yang mau memberitahukan, kapan tepatnya momen itu akan mendatangi dirinya.
Jarak mereka kini hanya sepanjang uluran tangan. Meski begitu, Rinai sebatas mampu melihat kelabu yang mengabut menyelimuti lapisan kaca yang selalu menatapnya hangat. Untuk pertama kalinya ia tidak bisa menyelami pekatnya manik mata Renjana yang biasanya terbaca dengan mudah.
Entah rahasia apa yang sedang bersembunyi di balik sana, sangsi Rinai bertanya lebih lanjut.
"Sebanyak apa yang mau dibicarain? Kayaknya, kita gak bisa lama di sini, mau hujan sebentar lagi."
Lelaki pemabuk warna jingga di sampingnya pun menengadahkan pandang. Ah, sudah mau hujan saja, keluh hatinya. Ya, padahal sekarang ini belum memasuki musim penghujan. Mungkin, hujan keburu kepalang rindu setengah mati dengan Bumi yang juga diam-diam mendamba kembalinya derai rayuan dari belai hujan. Nyaris mati tanah jagat ini menggelepar terhampar gersang.
Renjana menghela napas. Lantas jemarinya terulur menyisir helaian rambut Rinai untuk kemudian disisipkannya di belakang daun telinga. "Nai, kamu tahu, bagi Senja— aku ini separuh jiwanya. Jadi ... ada kemungkinan, nantinya aku harus ikut pulang bersamanya."
"Nah, jadi makin ngelantur 'kan ngomongnya."
"Bukan ngelantur, Nai. Seumpama aja, hanya berandai-andai. Karena pada akhirnya, kita harus mengakui kenyataan bahwa gak ada yang namanya 'selamanya' di dunia yang fana ini, Nai."
Rinai tangisan Senja sekonyong-konyong menyerbu wajah Bumi dengan cumbuannya, berkecil hati merelakan Bumi kelak dibungkus erat sunyinya gulita Malam. Taman kota Ayodya telah jatuh dalam dekapan awan gelap tanpa mereka sadari. Matahari seakan ditelan ombak yang mengamuk berkecamuk di atas sana sebelum benar-benar hinggap pada pangkuan ufuk. Di depan mata, pepohonan yang berdiri menjulang saling beradu menambah kebisingan.
Mengerikan.
Serupa dengan nasib hati seorang Anggraini Putik Rinai saat ini. Landscape yang semula cerah dan penuh warna-warni bunga yang mekar dengan segenggam senyuman, pun porak poranda dilindas riuh badai tanpa adanya prakata.
"Gak harus diingatkan dan dipertegas juga, kan? Selamanya itu memang mustahil. Tapi, seenggaknya waktu bersedia untuk kompromi lebih dulu sebelum hal yang nggak diharapkan terjadi," tukas Rinai menodong Renjana dengan ratapannya yang nanar merintihkan amarah.
Lelaki di hadapannya tak membuang wajah menerima todongan mendadak tersebut. Renjana justru mengangguk singkat seraya berucap membalas, "Ya. Aku setuju sama kamu, Nai. Walau kamu sepertinya lupa, kalau waktu dan takdir itu tercipta tanpa hati." Diseretnya Rinai menemui kenyataan yang sesungguhnya hingga kandas lah harap terhadap sang waktu.
"Ya udah, kalau gitu..."
"Kamu mau apa, Nai?"
"Gue mau, kita tinggal satu atap. Biar gue bisa sama lo— dua puluh empat jam tiap harinya, Renjana."
"Astaghfirullah, Nai. Belum mahram kita, belum boleh tinggal serumah!"
Rinai berdengus. Sesulit itu menjaga Renjana agar tetap berada di sisinya dalam keadaan aman, selamat, dan sehat sentosa. "Selama lo pamit sebelum pergi, ya udah. Gue bisa se-dikit lebih tenang untuk melepaskan ... semoga."
"Kalau pergi pasti aku pamit, kok, Nai. Kalau tanpa pamit atau bilang itu namanya bukan pergi, tapi hilang."
***
Untuk kalian yang masih belum sudi meninggalkan hangat dan manis segala kenangan di balik punggung. Dan untuk kalian yang sedang berada dalam perjalanan melupakan, semua yang telah keruh berdebu oleh waktu ... tetapi belum usai seutuhnya. Cerita ini akan menemani tiap pijak langkah yang terkerubung sepi dan keraguan.
Mari menyelami lebih jauh jutaan rajutan kalimat narasi yang meraung— ribuan untaian deret dialog yang berbisik lirih, dari seorang Rinai yang diminta Takdir dan Waktu untuk melepas ikatan jiwa sang terkasih pada jemarinya.
Yah, ini kisah gadis bernama Rinai dan perihal bagaimana Cinta Pertama-nya usai setelah Terkubur utuh di bawah Renjana.
Demi kepingan-kepingan yang Melebur dalam Duka dan membiarkan cinta berdiri tanpa kaki. Semoga kisah ini dan kalian bisa sampai pada tepian lembar yang berucap, "Tamat."
Lantas, menumbuhkan berani membalik lembar baru berikutnya dengan alur yang berbeda. Ditemani pendamping utama yang berbeda pula.
Kisah ini ditulis dengan Tinta Jingga Kelabu Tak Berdebu. Semoga selamat sampai di penghujung tujuan...
Salam hangat dari Renjana, untuk kalian para pengagum Senja.
***
Reminder : Tidak semua yang tiada dapat tergantikan. Mungkin pasangan masih bisa diganti, diambil alih posisinya dengan yang lain. Tidak untuk mereka yang menyandang gelar keluarga, entah itu orangtua, sanak saudara, sampai ke kakek, juga nenek— memang mereka belum tentu manusia yang baik bagi diri, tapi tetap ... mereka bagian dari rumah. Mereka lah yang mengisi ruang dalam rumah yang diri naungi. Memang tak semua dari mereka banyak dianggap berharga, namun yang berharga sendiri tidak pernah mampu terbaca oleh mata. Maka dari itu, gunakan lah kesempatan yang diberikan sang waktu, sebelum luka akan duka tidak lagi mampu melunasi besarnya harga mati dari penyesalan selepas berlalunya ketiadaan.