Berita tentang pernikahan Alvi dengan Niken sudah tersebar di seantero kampus. Dan tentu saja berita itu juga sampai ke telinga Irene. Irene berjalan mencari-cari dimana Alvi berada. Ditemuinya lelaki yang kini tengah menatap keluar jendela lantai tiga ruang kelasnya itu. Semua temannya seolah tahu apa yang akan terjadi kemudian dan mereka meninggalkan Alvi dan Irene berdua saja di dalam kelas.
“Ada apa loe kesini...?” tanyaAlvi.
“Ada apa? Loe bilang ada apa? Loe amnesia ya, atau loe pikir gue gadis bodoh yang bisa loe bohongin gitu aja...,” cercahnya.
“Oh, loe sudah tahu...,”
“Dengan gampangnya loe hanya ngomong hal itu ke gue? Gue butuh penjelasan dari loe...,”
“Penjelasan apa lagi yang loe butuhin. Bukannya loe udah tahu lebih dulu tentang hal ini sebelumnya. Dan gue juga sudah beritahu loe sejak awal kalau gue mau di jodohin,”
“Tapi.. loe apa gak bisa menolak keinginan kedua orang tua loe...,”
“Gue gak punya jalan lain. Bukannya loe sendiri yang nolak untuk nikah dengan gue? Jadi, selain menerima hal ini gue gak bisa lakuin apa-apa lagi...,”
“Jadi, sampai akhir loe akan tetap bertahan menjadi boneka kedua orang tua loe yang berpikiran kolot itu...?”
“Jangan pernah mengatai kedua orang tuaku ataupun menjelek-jelekkan keluargaku. Sekalipun aku membenci mereka, mereka tetap orang tua gue, tetap keluarga gue..,” ucap Alvi kali ini dengan nada meninggi.
“Loe... Loe udah berubah Vi...,”
“Gue? Berubah? Bukannya loe yang sudah berubah. Atau sejak awal memang itu sifat dan tujuan loe,” ucap Alvi pada Irene sembari meninggalkan gadis itu di dalam kelas.
Irene mencoba mencerna perkataan terakhir Alvi karena dia tidak mengerti apa yang dikatakan oleh lelaki itu yang megatakan sifatnya berubah dan bahkan lelaki itu jua menyebutkan tujuannya yang sebenarnya. Dia berpikir sejenak dan menemukan sesuatu dalam pikirnya.
“Bulshitttt apa dia sudah tahu......,” desahnya.
๐ผ๐ผ๐ผ๐ผ๐ผ
Alvi pulang dari kampus dan melewatkan pelajaran terakhirnya. Bersama dengan ketujuh bodyguarnya mobil melaju menuju sebuah rumah bergaya kuno yang luasnya naujubileh besarnya. Dari depan rumah itu tak begitu mencolok, bahkan jika dibandingkan dengan rumah-rumah mewah lainnya yang berada di kanan kiri rumah itu. Tapi, ketika memasuki rumah itu, interiornya begitu indah. Terdapat ragam budaya disana ada gaya eropa dan gaya-gaya lainnya.
Alvi duduk di Gazebo di dekat kolam renang. Dia duduk termenung disana, memikirkan kejadian yang berlangsung hari ini. Kalau saja dia tidak mendengar hal mengerikan itu beberapa hari lalu, maka dia mungkin gak akan semarah saat ini pada Irene. Dan gak mungkin menyakiti gadis itu sesadis saat ini. Pikirnya kembali pada kejadian yang berlangsung beberapa hari lalu.
Beberapa hari lalu Alvi berhasil kabur dari ketujuh bodyguardnya. Dia hangout bareng bersama kedua sahabatnya, Fandy dan Bagas. Mereka mengunjungi sebuah cafe yang cukup bergengsi. Tapi, tanpa sengaja Alvi melihat Irene juga berada disana. Alvi hendak menghampiri Irene dan mengajaknya bergabung bersama dia dan kedua temannya. Pasalnya baik dia ataupun Irene sulit sekali untuk pergi kencan bersama. Karena itu dia ingin memanfaatkan fakta yang ada. Namun, gadisnya tak sendirian di cafe itu. Dia bersama dengan seseorang, seseorang yang menjadi musuh bebuyutannya tak hannya dirinya tapi perusahaan keluarganya juga merupakan saingan dari perusahaan keluarga Alvi.
Kedua temannya yang melihat hal itu pula mengajak Alvi meninggalkan cafe itu. Tapi, bukan Alvi namanya kalau dia berhenti sampai disitu saja. Setidaknya dengan mata kepalanya sendiri dia ingin mengetahui apa yang terjadi sebenarnya antara kekasihnya dengan Jacky. Dia mengisyaratkan kedua temannya untuk ikut menyamar seperti dirinya. Mereka duduk tepat dibelakang meja Irene dan Jacky hingga mereka bisa mendengar semua hal yang dibicarakan oleh kedua orang tua itu.
“Kenapa? Kenapa kau lakukan itu padaku....,” desah Alvi dalam renungannya.
“Loe kenapa? Lagi galau?” seseorang mengagetkan Alvi dan membuyarkan renungan lelaki itu.
“Loe? Ngapain disini...?”
“Ya, seperti biasa...,” ucapnya sembari membawa beberapa bunga lili yang telah di petiknya dalam genggaman tangannya.
“Bisa abis semua bungaku kalau loe petikin tiap hari......,” ucap Alvi dengan sinis seperti biasanya.
“Loe kenapa? Perang dingin sama cewek loe? Apa dia udah tahu kalau kita akan menikah hari sabtu besok?” tanya Niken.
“Ya, dia udah tahu. Dan dia marah habis-habisan ke gue. Puas loe....,”
“Hah.. Baguslah kalau dia udah tahu. Loe udah putus dengannya..?” tanyanya lagi yang membuat Alvi langsung meninggikan suaranya karena geram.
“Loe ngarep banget gue putus dengannya..?” ucapnya pada Niken. Niken tak menjawab, hanya mengangguk dan tersenyum puas melihat lelaki di depannya marah. “Jangan-jangan loe udah mulai jatuh cinta sama gue....,” terka Alvi seketika.
“Hah... jangan ngaco hal seperti itu tidak mungkin terjadi,”
“Terus kenapa loe puas banget denger gue mau putus sama dia...,”
“Gue seneng aja akhirnya cowok bodoh macem loe bisa juga putus dari macan betina itu,”
“Eh, jangan pernah jelek-jelekin cewek gue dengan mulut kotor loe itu...,” bentak Alvi.
“Terserah loe deh. Harusnya loe bersyukur putus sama dia sekarang. Dia bukan cewek baik-baik...,” ucap Niken sembari pergi meninggalkan Alvi yang masih duduk ngejogrok di gazebo.
“Emangnya loe cewek baik?” tanya Alvi yang melihat Niken menjauh pergi dari hadapannya. Niken tak menjawab dia hanya memberi isyarat dengan menggerakkan kedua pundaknya ke atas sebagai tanda jawaban atas pertanyaan Alvi.
Selepas kepergian gadis itu, Alvi kembali pada renungannya. Tapi, dia masih dibayang-bayangi oleh perkataan Niken terakhir kali mengenai pendapatnya tentang Irene seolah gadis itu tahu betul siapa dia.
“Jangan-jangan sejak awal tuh cewek tahu kebusukan Irene...,” duga Alvi.
๐ผ๐ผ๐ผ๐ผ๐ผ
Alvi masih penasaran tentang segala hal yang diketahui gadis itu tentang Irene. Seusai mandi dan berganti pakaian dia mendatangi kamar Niken. Di ketuknya beberapa kali kamar itu tapi masih tak ada jawaban. Ketika mendapati kamar itu tak terkunci Alvi langsung masuk saja ke dalam kamar itu. Dilihatnya kamar itu dari ujung ke ujung.
“Rapi juga kamarnya....,” gumamnya.
Sementara itu, Niken tak mengetahui siapa yang datang ke kamarnya karna suara berisik dari shower yang dinyalakannya. Usai mandi dikenakannya handuknya dan bergegas untuk mengambil pakaian ganti di almari. Tapi, ketika dia melangkahkan kakinya keluar kamar mandi, dia melihat ada seorang pria yang berdiri mengamati setiap jengkal kamarnya. Dia tak tahu siapa pria itu, karena merasa takut akan terjadi sesuatu dengan dirinya ditarinya kedua lengan sang pria itu dan dibantingnya dengan satu kali bantingan hingga pria itu terjatuh di atas ranjangnya.
“Loe....,” ucapnya terkejut ketika mendapati bahwa sang pria adalah sosok menyebalkan yang dikenalnya.
“Iya, nie gue bukan orang jahat yang bakal nyelakain loe...,” ucap lelaki itu.
Niken masih memegangi lelaki itu hingga lelaki itu mengatakan maksud kedatangannya ke kamarnya secara diam-diam. Tapi tak disadarinya handuk yang semula membalut tubuhnyanya itu beringsut turun ke bawah secara perlahan. Dan dia sontak terkejut dengan hal itu. Langsung di tutupnya kedua mata lelaki dihadapannya itu dari pandangannya terhadap dirinya. Ditariknya handuk yang hampir saja jatuh dan membuat terbuka seluruh tubuhnya itu dan kemudia dengan cepat dia melepas tangannya yang menutupi kedua mata Alvi dan bergegas ke kamar mandi untuk mengambil baju mandinya. Selepas itu, langsung di interogasinya kedatangan Alvi yang diam-diam memasuki kamarnya itu.
“Mau apa loe kemari...?”
“Oh, gue mau nanya sesuatu sama loe...,”
“Tapi, loe gak harus masuk kamar gue diem-diem kan..?”
“Gue gak masuk diem-diem. Tadi, gue udah berulang kali manggil-manggil loe. Tapi, loe lagi keramas kali makanya gak denger...,” jelas Alvi sembari menunjuk rambut Niken yang masih basah.
“Loe mau nanya apa sih...?”
“Sesuatu yang penting. Loe ganti baju dulu aja. Gue tunggu loe di taman belakang...,” ucapnya pada Niken. Niken tak menyahut hanya berdiri memandang lelaki itu dengan tatapan dingin. Alvi berjalan keluar dari kamar Niken, namun sebelum itu dia membisikkan sesuatu di telingga Niken yang membuat muka gadis itu menjadi merah karena marah. “Ternyata loe seksi juga...,” bisik Alvi ditelinga Niken dengan senyum jahilnya.
“Loe....,” ucap Niken sembari hendak memberikan pukulan keras pada Alvi. Tapi, Alvi lebih sigap darinya dan keluar dari kamar itu dengan cepatnya.
*****
Niken berjalan dengan malas menuju taman belakang. Dia mendapati Alvi yang tengah duduk bersantai di bangku samping taman itu. Dia melangkah gontai menghampiri Alvi dan duduk diam disamping lelaki itu.
“Kenapa wajah loe? Loe masih marah karena gue masuk kamar loe?” tanya Alvi namun Niken tetap diam tak menanggapi pertanyaan-pertanyaan itu. “Atau loe marah karena gue gak sengaja ngeliat........,” ucapannya terhenti karena lototan mata Niken yang tajam ke arahnya. Alvi terkekeh melihat kelakuan gadis di sampingnya. Dia tak henti-henti menggoda gadis itu. “Loe cakep kalau lagi ngambek. Ah.. gue salah apa ini karena besok kau akan jadi pengantin ya makanya kau bisa jadi secantik ini...,” goda Alvi yang membuat Niken geram.
“Sudahlah, loe jangan main-main sama gue. Sebenarnya apa maksud loe nyuruh gue kesini?”
“Oh, itu...itu soal Irene. Loe sepertinya tahu banyak tentang dia...?”
“Gue harus jawab pertanyaan loe ini?”
“Iyalah harus, kalau nggak gue bakal sebarin kalau gue sudah....,”
“Ya, baiklah-baiklah gue jawab. Dasar cowok brengsek,” ucapnya pada Alvi. Tapi hal itu tak membuat Alvi marah. Dia malah terkekeh mendengar hal itu. “Irene temen SMP dan SMA gue...,”
“Apa? Jadi dia, sama kayak loe....,”
“Kayak gue, gimana maksud loe......,”
“Ya, loe ngerti kan maksud gue...,”
“Udik? Kampungan?”
“Bukan gue yang ngomong. Loe sendiri tuh yang melontarkian kata-kata itu...,”
“Dasarr.... Bukan dia yang kayak gue. Tapi gue yang kayak dia...,”
“Maksud loe?”
“Sudahlah gak usah bahas yang bagian ini. Yang penting adalah gue tahu betul siapa Irene itu. Gadis anak konglomerat yang tak begitu populer namun dalam sekejap bisa menjadi tenar diseantero sekolah dengan menggandeng beberapa anak konglomerat lainnya..,”
“Maksudmu...,”
“Dia sering gonta-ganti pacar dengan mendekati anak-anak konglomerat lainnya, dodolll...,”
“Oh... terus....,”
“Ya, gitu seterusnya. Ketika cowok-cowok itu tak lagi menguntungkan baginya dia memutuskan mereka. Salah satu tujuannya mendekati pria-pria itu adalah agar dia dapat mewujudkan impiannya menjadi pianis terkenal. Oh, ya gue denger-denger dia sekarang juga deket dengan pewaris group MR-Company saingan perusahaan papa loe, sebuah perusahaan yang bergerak dalam mencetak para pemain musik berbakat, Jacky Malik Rusdiantoro...,” jelasnya.
“Bagaiman loe bisa tahu...,”
“Temen-temen gue yang jadi informannya...,”
“Jangan bohong sama gue. Loe kan gak punya temen satu pun...,”
“Terserah loe, kalau gak percaya omongan gue, lebih baik gue pergi...,”
“Eh... jangan ngambek gitu dong...,”
“Terus mau loe apa...?”
“Lanjutin cerita loe...,”
“Itu semua yang gue tahu tentangnya. Apa lagi yang mau loe tahu?”
“Menurut loe, apa dia ngedeketin gue karena hal itu. Bagi gue tak masalah apa tujuannya ngedeketin gue. Tapi, kenapa sekarang dia berbalik ke Jacky?”
“Loe bodoh atau apa. Sekarang ini perusahaan papa loe kalah jauh dibandingkan dengan perusaan papa Jacky, yang berada dalam klasemen teratas untuk urutan seluruh perusahaan yang ada dinegara ini,”
“Oh, jadi dia seperti itu. Loe dan dia tak ada bedanya. Apa memang semua cewek seperti itu,” ucap Alvi dengan raut wajah penuh kekecewaan.
๐ผ๐ผ๐ผ๐ผ๐ผ