“Untuk mencintai, kamu harus memiliki kekuatan.
Kekuatan melawan amarah dengan kesabaran
Dan kekuatan mema’afkan dengan ketulusan.”
-Anonim-
Setelah pertemuan dengan Pak Bumi beberapa hari yang lalu yang tidak membuahkan hasil karena peristiwa yang tak terduga, akhirnya disinilah Abhi sekarang. Kembali ke rumah Pak Bumi dimana ia nanti akan bertemu lagi Nara dan putranya. Abhi sudah memantapkan hati, ia akan berusaha untuk perlahan mendekati Sakha. Benar kata Nara, bahwa ia tidak mungkin langsung mengaku bahwa dia adalah Papa Sakha karena jelas itu akan membuat bocah kecil itu kebingun.
Abhi Kembali di jamu dengan masakan Nara. Meskipun sudah lima tahun tak mencicipinya, ia hafal betul dan dapat membedakan rasa masakan yang Nara buat dengan yang biasa di buat Bi Ningsih ataupun sang Bunda. Karena masakan Nara terasa seperti ada yang khas, yang tidak tahu itu apa, Abhi hanya merasakannya saja.
Disisi lain, kini Nara sudah bisa menguasai dirinya dalam menghadapi Abhi. Karena kedepannya mau tidak mau Nara akan sering bertemu dengan lelaki. Entah itu menyangkut putranya ataupun terkait perusahaan dimana ia harus menggantikan sang Papa sebagai sang ahli waris satu-satunya, mengingat Papanya kini sudah cukup tua jika harus menghandel urusan perusahaan seorang diri.
Lain Nara, lain pula Sakha. Bocah kecil itu kini tampak tak takut lagi pada Abhi. Bahkan ketika sang Kakek menyambut kedatangan Abhi, dimana Abhi mencium punggung tangan sang Kakek, begitu pulalah yang dilakukan oleh Sakha. Ia mengulurkan tangan lebih dahulu kepada Abhi dan segera mencium punggung tangan Abhi setelah Abhi mengulurkan tangannya.
Mendapati perlakuan manis sang putra tersebut membuat wajah Abhi berseri-seri, ia tak henti-hentinya tersenyum simpul. Sembari menyantap hidangan yang telah disediakan, sesekali Abhi melirik sang putra yang duduk di samping Nara dengan mulut penuh makanan. Kali ini sang putra tidak di suapi entah itu oleh Pak Bumi, kakeknya atau Nara, mamanya. Bocah kecil itu makan sendiri dengan lahap meskipun belepotan dan tercecer sana-sini. Namun, Abhi malah melihat itu sebagai sesuatu yang menggemaskan. Syukurlah sang putra tidak rewel tentang makanan dan ia makan dengan lahap, piker Abhi. Putra? Entah mengapa setiap kali mengakui Sakha sebagai putranta ada sesuatu yang berdesir di dadanya.
“Putra ya…,” gumamnya.
๐ฎ๐ฎ๐ฎ
Selepas makan malam, Abhi berbincang-bincang dengan Bumi terkait bisnis. Selain itu, Abhi juga memberikan undangan untuk rapat direksi karena Bumi juga termasuk salah satu pemegang saham di perusahaan Abhi. Rapat tersebut juga akan membahas tentang produk baru yang hendak di launching sehingga Abhi perlu mendapatkan masukan-masukan dari beberapa pihak sebelum benar-benar melaunching produk tersebut.
“Oke, Papa akan usahakan untuk dating,” ucap Bumi dan Abhi pun menganggukkan kepalanya menerima jawaban Bumi.
Waktu sudah menunjukkan pukul Sembilan malam. Tak terasa begitu cepat berlalu. Abhi menghabiskan waktunya untuk membahas bisnis dengan Papa Nara, padahal selain masalah itu Abhi ingin lebih dekat dengan sang putra. Mendapati wajah Abhi yang sedikit-sedikit lirik sana sini, Bumi tahu apa yang dicari oleh pemuda itu.
“Lagi nyari Sakha ya?” tanya Bumi.
Merasa ketangkap basah, Abhi pun hanya tersenyum kecil sembari menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
“Biasanya dia sibuk nonton kartun kesukaannya,” jelas Bumi. Abhi mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar penjelasan Bumi.
“Mau bertemu Sakha dulu tidak sebelum pulang?” tawar Bumi yang langsung di jawab anggukan kepala oleh Abhi.
Bumi pun terkekeh. Ini pertama kalinya sejak ia mengenal Abhi bahwa Abhi memiliki sisi yang seperti ini. Bumi tahu mungkin Abhi segan untuk bertanya perihal Sakha kepadanya karena walau bagaimana pun Abhi lah penyebab rasa sakit yang pernah dirasakan putrinya di masa lalu. Dan mungkin sampai kini? Entahlah, Nara lebih tertutup tentang perasaannya, jadi Bumi tak lagi mampu membaca tentang perasaan Nara.
Tapi, tetap saja sebenci apapun Bumi pada Abhi yang pernah menghancurkan masa depan putrinya, Bumi tidak sampai hati untuk melarang Abhi bertemu putranya. Sakga berhak tahu bahwa Abhi adalah Papa kandungnya.
Bumi mengajak Abhi ke ruang keluarga tempat dimana Sakha biasanya menonton kartun dengan ditemani oleh Nara. Abhi tahu letak ruang keluarga itu karena di tempat itu pulalah dia kerapkali menghabiskan waktu dengan Nara. Mereka akan streaming film sepanjang hari jika malas keluar rumah.
Ruang keluarga memang salah satu tempat favorit Abhi juga di rumah itu setelah taman bunga tentunya. Ruang keluarga itu seperti mini teater dimana ada karpet tebal digelar dengan TV besar memenuhi ruangan. Terdapat pula bantal-bantal empuk disana, sengaja disediakan agar nyaman berbaring dengan menonton TV. Sofa-sofa juga mengelilingi kanan dan kiri ruangan itu. Terdapat nakas kecil di samping sofa-sofa empuk itu sebagai tempat meletakkan makanan, minuman atau cemilan-cemilan sebagai peneman acara menonton di ruangan itu.
Setelah sampai disana, baik Bumi maupun Abhi mendapati Sakha dan Nara tidur dengan TV yang masih menyala.
“Kamu belum beruntung Bhi, bocahnya malah tidur,” ujar Bumi.
“Nggak apa-apa Pa, bisa lain kali,” ucap Abhi.
Bumi pun menganggukkan kepalanya. Setelahnya ia berniat untuk membangunkan Nara agar memindahkan Sakha ke kamar, pasalnya ia tidak cukup kuat untuk menggendong bocah gembul tersebut.
“Jangan dibangunin Pa, biar Abhi saja yang pindahin Sakha ke kamar,” ujar Abhi.
Bumi pun mengangguk, kasihan juga melihat Nara cukup kelelahan karena begitu aktifnya Sakha siang tadi. Bocah itu tidak bisa diam dan terus berlarian kesana kemari. Abhi pun mengambil Sakha untuk digendongnya. Ia mengangkatnya perlahan-lahan takut mengganggu tidur bocah itu. Ketika hendak melangkahkan kaki menuju tangga ke arah kamar Nara, Pak Bumi menghentikannya.
“Tidurkan di kamar tamu Bhi, Nara tidak menempati kamar atas karena susah dan berat jika harus menggendong Sakha yang ketiduran ke kamar atas,” jelas Bumi.
Abhi pun menganggukkan kepala. Ia yang memang sudah hafal tata letak rumah itupun segera membawa putranya ke kamar tamu sesuai instruksi Papa Nara.
Abhi meletakkan Sakha di ranjang dengan hati-hati. Sesekali ia mencium kening dan pipi putranya. Mendapati beberapa bekas coklat menempel di sekitar mulut dan pipi sang putra, Abhi pun berinisiatif untuk membersihkannya agar sang putra dapat tidur dengan nyaman. Dan syukurlah Abhi tak perlu bersusah payah mencarinya. Tisue basah, tissue kering dan perlengkapan bayi lainnya sudah tertata rapi di samping nakas tempat tidur. Mungkin, Nara meletakkan disana agar mudah dijangkau.
Abhi mengambil tissue basah dan perlahan-lahan menyeka wajah bocah lelaki itu agar bersih dari noda-noda cokelat yang dimakan bocah itu. Namun, tiba-tiba Abhi terkejut mendapati bocah lelaki itu mengerjap-ngerjapkan matanya, tangan mungil bocah itu mengucek perlahan matanya hingga kemudian bocah itu membuka matanya.
“Papa…..” ucap Sakha lirih, suara khas bangun tidur.
Deg, mendengar kata yang diucapkan putranya itu Abhi terkejut, Sakha tahu dia papanya?
๐ฎ๐ฎ๐ฎ
lanjutt....
Comment on chapter 8 II Selangkah Lebih Dekat