“Setiap orang seperti bulan, dan memiliki sisi gelap
Yang tidak pernah dia tunjukkan
Pada siapapun.”
-Mark Twain-
Sama halnya dengan gadis yang mematung di hadapannya, Abhi pun sama. Ia tidak menyangka bahwa dirinya akan bertemu dengan gadis itu lagi. Nara, Nara Aulia Senja. Gadis yang dulu pernah menjadi kekasihnya dan bahkan pernah menjadi calon istrinya karena perjodohan kedua orangtua mereka.
Sejak putus dari gadis itu, ia sama sekali tak pernah bertemu dengannya. Ia hanya mendengar bahwa gadis itu melanjutkan kuliah di luar negeri. Selain itu, tak pernah ia tahu lagi kabar gadis itu. Bahkan meskipun ia sering bertemu Papa gadis itu, ia tidak pernah mendengar Pak Bumi membicarakan keadaan sang putri. Pertemuan mereka hanyalah sebatas bisnis saja tidak lebih. Tapi, entah apa rencana semesta, hingga malam ini ia bertemu gadis itu lagi.
"Oh..ternyata anda.. silahkan menuju ruang makan, Papa sudah nunggu anda untuk makan malam...," Ucap gadis bernama Nara itu dengan bahasa formal.
Abhi pun mengangguk dan berjalan mengikuti gadis itu. Ia bahkan tak mampu mengucapkan sepatah katapun. Terlebih ketika mendengar gadis itu berbicara formal kepadanya. Rasanya terdengar aneh di telinganya. Ia terbiasa berucap nonformal dengan gadis itu dulu, karena dulu mereka adalah sahabat, sebelum akhirnya persahabatan mereka berakhir setelah salah satu diantara mereka nyatanya memiliki perasaan yang lebih dari sekedar sahabat.
๐ฎ๐ฎ๐ฎ
Sampai di ruang makan, ia mendapati Pak Bumi sedang asyik menyuapi seorang bocah kecil yang duduk manis di sampingnya. Dari postur tubuhnya Abhi memperkirakan bocah itu berumur sekitar empat sampai lima tahun. Rasa penasaran berkecamuk di dalam kepala Abhi. Siapa bocah kecil itu? Apakah dia... Abhi menggelengkan kepalanya mencoba mengusir dugaan yang terbesit di benaknya. Tidak mungkin kah Nara sudah menikah? Pak Bumi tidak pernah memberitahunya.
Mungkin tak masalah jika Abhi tidak diberi tahu, tapi tidak mungkin rasanya jika orang tuanya juga tidak diberi tahu bukan? Atau mereka sebenarnya tahu tetapi sengaja tidak memberitahukannya pada Abhi. Entahlah, Abhi mencoba menggelengkan kepalanya, mengusir segala pikiran aneh di kepalanya itu. Toh, kalaupun Nara sudah menikah tidak ada hubungannya lagi dengan Abhi bukan? Hidup Nara adalah miliknya, sama seperti hidup Abhi yang juga hanyalah milik Abhi, keduanya tidak berhubungan sama sekali bukan? Abhi menghentikan keterpakuannya dari rasa penasaran tentang bocah kecil itu, setelah Bumi bersuara menyapanya.
"Oh..Bhi kamu sudah datang. Duduk..silahkan duduk, kita makan dulu ya sebelum membicarakan pekerjaan...," Ujar Bumi. Abhi pun mengangguk mengiyakan.
"Ma'af ya saya rubah jadwal pertemuan kita. Cucu saya datang, jadi seharian saya menghabiskan waktu dengannya sampai lupa punya janji temu denganmu...," Jelas Bumi.
"Iya, tidak apa-apa pak. Lagipula malam ini saya tidak ada acara apapun...," Ujar Abhi.
"Oh iya, kenalin ini cucu saya. Putra Nara...," Ucap Bumi.
Abhi pun mengalihkan atensinya kepada bocah laki-laki yang melihatnya sekilas saja. Bocah itu tampaknya tak peduli dengan Abhi yang menatapnya. Ia nampak sibuk menikmati makanan yang disuap oleh sang kakek untuknya.
"Nak, nggak sopan ah kek gitu. Salim dulu sama Om nya...," Ucap Nara memecah keterpakuan Abhi yang menatap putranya.
Bocah lelaki itu tak mengindahkan ucapan sang Mama. Ia tetap saja asyik dengan makanan di mulutnya.
"Arshaka...!" Ucap Nara. Mendengar nama panjangnya di sebut oleh sang Mama, ia pun kemudian turun dari kursi dengan melompat kecil. Setelahnya ia menuju kursi tempat duduk Abhi.
"Perkenalkan caya Alchaka Om..panggil aja Chaka. Anak Mama Nala, Cucu Akek Bumi...," Ucap Shaka putra Nara memperkenalkan diri pada Abhi sembari mengulurkan tangannya. Abhi tak membalas uluran tangan bocah itu. Ia masih saja terpaku menatap bocah lelaki itu. Terlebih menatap mata bocah itu, ia seperti tak asing. Tatapan mata itu ia sering melihatnya dan sangat mengenalnya. Tapi, tidak mungkin kan?
Abhi menggelengkan kepalanya mengeyahkan pemikiran yang tetiba muncul di sana. Sementara Shaka, bocah itu menggerakkan tangannya di depan wajah Abhi karena sedari ukuran tangannya tak di balas oleh Abhi.
"Hei..hei..om...," Ucap Shaka lagi, mencoba membuyarkan keterpakuan Abhi.
Shaka yang tidak tahan pun akhirnya berdiri di atas kursi tepat di samping tempat duduk Abhi. Ia menggoyang-nggoyangkan tangan Abhi kemudian agar mau menerima uluran tangannya. Namun, Abhi masih diam termenung, ia masih tidak mempercayai apa yang dilihatnya saat ini.
"Hei..hei...om..ini Chaka, Chaka Om.. Nama Om ciapa? Dali tadi di ajak kenalan gak bicala-bicala si om. Ma, apa ci om gak bisa bicala...," Rengek Shaka yang sejak tadi menahan kesal karena Abhi tak juga membalas uluran tangannya.
Abhi pun akhirnya tersentak mendengar rengekan bocah itu sama sang mama.
"Abhi, nama Om Abhi Sakha Bayu...," Ucap Abhi dan kemudian ia bukannya menyambug uluran tangan bocah lelaki itu melainkan ia memeluk bocah itu.
Sakha yang tiba-tiba di peluk orang yang belum dikenalnya itupun menangis takut. Bagaimana tidak, Mamanya pernah mewanti-wanti agar Sakha tidak bicara dengan orang yang tidak di kenal karena bahaya bisa jadi penculik kata sang Mama. Nah ini, ia malah dipeluk oleh orang asing tersebut. Eh, tapi apakah masih disebut orang asing jika baru saja orang tersebut memperkenalkan namanya pada Sakha?
"Ma..mama...," Rengek bocah itu. Tapi Abhi sama sekali tidak melepaskan pelukannya kepada bocah itu. Ia malah semakin memeluknya erat dan mengecupi rambut bocah itu.
Tahu bahwa anaknya merasa tidak nyaman dalam pelukan Abhi, Nara pun akhirnya mencoba mengambil putranya dari pelukan Abhi Dari raut wajah serta tindakan Abhi yang spontan memeluk Shaka, Nara tahu bahwa lelaki itu bisa menebak siapa bocah kecil dihadapannya itu.
"Sayang..nggak apa-apa. Om Abhi hanya pingin meluk Sakha aja, anak pintar nggak boleh nangis..," ucap Nara sembari menggendong bocah lelaki itu setelah Abhi melepas pelukannya pada Sakha, setelah sebelumnya Nara memberi isyarat lewat matanya pada Abhi untuk melepaskan putranya dari pelukannya.
Nara menggendong Sakha mencoba menenangkan bocah yang menangis itu. Sementara Abhi mematung di tempatnya. Ia mengalihkan pandangannya ke arah Pak Bumi mencoba untuk menuntut penjelasan kepada lelaki paruh baya dihadapannya itu. Tetapi, Bumi hanya menggelengkan kepalanya. Enggan untuk memberi penjelasan.
"Saya tidak berhak memberi penjelasan apapun padamu. Nara lah yang berhak atas itu, jadi jika kamu memang ingin tahu kebenarannya, tanyakan sendiri pada Nara...," Ucap Bumi.
Setelah kepergian Nara untuk menenangkan sang putra, Abhi dan Bumi pun diselimuti keheningan. Ia masih diselimuti dengan rasa terkejut mendapati bocah kecil yang memiliki potret yang sama persis dengan foto dirinya sendiri ketika kecil dulu.
"Makanlah...," Ujar Bumi kemudian memecah keheningan. Abhi bahkan sudah kehilangan selera makannya. Ia tak mengindahkan perkataan Bumi.
"Jika kamu bisa sekali saja menghargai putri saya maka itu hari ini, makanlah. Putri saya sudah susah payah menyiapkan semua makanan ini sendiri...," Ujar Bumi dan hal itu tentu saja membuat raut wajah Abhi tertegun.
Akhirnya, Abhi pun memenuhi permintaan Bumi. Ia memakan makanan yang telah tersedia di piringnya dan mencoba memakannya. Rasanya, Abhi sulit sekali untuk menelan makanan-makanan itu. Yang ia inginkan saat ini hanyalah menuntut penjelasan tentang siapa sebenarnya sosok bocah kecil itu, meski dikepalanya Abhi sudah bisa menebak-nebak jawaban dari pertanyaannya sendiri.
๐ฎ๐ฎ๐ฎ
lanjutt....
Comment on chapter 8 II Selangkah Lebih Dekat