Berdiri ditengah cahaya hangat Nagisano Shizuka, pikiran Yuki melayang kembali ke jalanan Tokyo yang ramai setahun silam. Itu adalah dunia yang berbeda, tempat di mana mimpinya hancur bertabrakan dengan kenyataan yang pahit. Di Tokyo, Yuki hanyalah seorang barista yang penuh harapan, penuh dengan bersemangat. Namun, kota itu tidak ramah untuk orang sepertinya.
Ia teringat masa-masa awalnya di kedai bergengsi di Tokyo, Junmai Origami, di mana beragam aroma biji kopi yang baru disangrai dengan mesin bercampur dengan aroma ambisi para kru yang bertugas. Wahtu itu Yuki memulai shift pertamanya dengan harapan besar, namun tekanan kerja segera menjadi luar biasa. Baginya, setiap hari terasa seperti ujian tanpa henti, kinerjanya seperti tidak pernah sesuai harapan.
Kumagai Hirota, seorang Shift Lead, sangat teguh pada kesempurnaan. Pandangannya yang tegas dan standarnya yang kaku hanya menyisakan sedikit ruang untuk kesalahan. "Ikuti saja Standar Operasional Prosedur, Yuki!" ulang Hirota, suaranya tanpa empati. "Presisi adalah kuncinya. Tidak ada ruang untuk melakukan kesalahan apapun!"
Tapi Yuki bukanlah mesin. Dia tidak bisa memaksakan dirinya untuk bekerja seperti robot, melaksanakan setiap tugas dengan presisi mekanis. Dia ingin menanamkan setiap cangkir kopi dengan sentuhan seni, sedikit jiwa. Kepatuhan yang kaku terhadap SOP terasa menyesakkan dadanya, menghilangkan antusiasme yang ia temukan dalam pembuatan kopi.
Hari berganti minggu, dan kegagalan terus menumpuk. Tangan Yuki semakin gemetar saat dia mencoba menyempurnakan seduhan kopinya, hatinya semakin tenggelam karena kesalahannya sendiri. Pandangan pelanggan yang tidak menyukai kopi buatannya sangat tajam dan penuh kritik, semakin mengikis kepercayaan dirinya. Yuki banyak menghabiskan malamnya untuk membaca ulang buku panduan kedai, mempraktikkan tekniknya kembali, tetapi sepertinya tidak ada yang bisa membantunya.
Suatu hari yang menentukan, kekuatan Yuki sudah mencapai puncaknya. Yuki ditugaskan untuk membuat serangkaian minuman yang rumit untuk sekelompok pelanggan kritikus kopi. “Berjuanglah, Yuki!” ucap teman di shiftnya, Ayase, saat melihat kegugupan Yuki menguasai dirinya, tidak bisa berbuat apa-apa selain mengikuti prosedur baku, kopi yang disajikan Yuki jauh dari sempurna. Teguran Hirota dengan cepat terlayangkan saat mengetahui ketidakpuasan para kritikus itu, menyalahkan Yuki, "kau tidak cocok untuk pekerjaan ini, Yuki!" katanya, menusuk hati Yuki dan menghabiskan seluruh kekauatan yang tersisa pada lelaki itu, “menyerahlah saja.”
Malam itu, sendirian di apartemen kecilnya, Yuki berdiam diri, tak terasa meneteskan air mata, mengalir dan bercampur dengan rasa pahitnya kegagalan. Dia merasa tersesat, mimpinya hancur. Pada saat itulah dia putus asa dan mengambil keputusan untuk meninggalkan Tokyo. Dia tidak sanggup membayangkan hari lain di kota yang telah menghancurkan semangatnya itu.
Kembali ke Okinawa merupakan pilihan yang tepat menurut Yuki, didorong oleh berita penyakit kakeknya yang kambuh, dia tidak punya pilihan lain lagi. Yuki berharap menemukan harapan baru yang tersisa darinya di sekitar Nagisano Shizuka, untuk memulihkan mimpinya yang hancur di Tokyo. Kegagalannya di Junmai Origami masih melekat, menghantuinya setiap saat ia menyeduh kopi yang kurang memuaskan.
Kini, saat dia berdiri di kedai Nagisano Shizuka, Yuki bersumpah untuk mendapatkan kembali hasratnya. Dia tidak akan membiarkan masa lalu mendefinisikan dirinya. Nagisano Shizuka adalah kesempatannya untuk memulai hal baru, untuk memadukan kecintaannya pada kopi dengan pembelajaran dari kegagalannya. Di sini, ia akan menciptakan ruang di mana setiap cangkir adalah sebuah karya seni, sebuah bukti pembaruan hidupnya terhadap seni penyeduhan kopi.
Gema dari Tokyo di masa lalu tidak lagi menghantuinya, kini Yuki telah semakin kuat bertahan hidup dengan prinsipnya sendiri, Nagisano Shizuka membantunya keluar dari keterpurukannya di masa lalu. Berdiri di lobi kedai yang kecil, Yuki mengamati barisan kecil orang yang menunggu wawancara kerja. Estrella, yang saat ini sedang bertugas, berdiri di sampingnya, sementara Hayato, yang telah menyelesaikan pengirimannya lebih awal, sibuk mengatur dokumen mereka dan mengecek nama masing-masing pelamar.
Beberapa wawancara di sesi awal tidak berjalan dengan baik. Para pelamar kurang memiliki visi, menurut Yuki, mereka hanya tertarik untuk bersenang-senang saja terhadap pekerjaan barista. Yuki merasa sedikit berkecil hati melihat alasan-alasan itu, sebelum akhirnya seorang pelamar mengenalinya dan menyapa.
“Yuki, sudah lama tidak bertemu,” sebuah suara yang familiar bagi Yuki menyapanya. Dia adalah Ayase, mantan rekan kerja Yuki di Junmai Origami, Tokyo. Saat ini perempuan itu telah mengundurkan diri dari pekerjaan lamanya dan berkunjung ke Okinawa untuk berlibur. Secara kebetulan, dia melihat poster perekrutan di papan informasi kota yang sebelumnya dipasang oleh Hayato. "Aku melihat posternya dan berpikir gambar-gambar itu lucu, sebenarnya, aku ingin melihat seberapa jauh kemajuanmu dan ingin membantumu melihat mimpi yang kamu bayangkan dahulu, Yuki." Kata Ayase sambil tersenyum penuh tekad.
Penglihatannya jelas, dan hasratnya sama dengan Yuki, mengenai rasa adalah hal yang tidak bisa diukur dari nikmat atau tidaknya sebuah kopi. Untuk pertama kalinya dalam sesi wawancara ini, Yuki merasakan perasaan lega dan harapan untuk terus maju muncul kembali.
“Jadi, apa yang kamu lakukan sejak meninggalkan Junmai Origami?” Yuki bertanya.
“Semenjak Yuki keluar dari pekerjaan beberapa bulan yang lalu, sebenarnya aku telah menjelajahi budaya kopi yang berbeda dari berbagai tempat, mempelajari teknik-teknik baru,” jawab Ayase. “Tapi aku selalu percaya pada visimu, Yuki. Aku ingin melihat ke mana arahmu membawa kedai ini menuju hati setiap orang untuk merasakan pulang, seperti yang kamu utarakan dahulu tentang rasa sebuah kopi.”
Yuki tersenyum hangat, “tentu saja, Ayase, kapanpun,” kata Yuki mempersilakan Ayase untuk bergabung ke dalam kru kecilnya, “selamat datang kembali.”
Selanjutnya, dari meja lain, Estrella melakukan wawancara dengan seorang remaja putri bernama Hitome, yang mengungkapkan keinginan kuatnya untuk meningkatkan keterampilan komunikasinya kepada pelanggan. Ia sendiri mengagumi Estrella dalam hal komunikasi yang interaktif dan atraktif.
“Jadi, kenapa kamu ingin bekerja di sini?” tanya Estrella kepada pelamar tersebut sambil memasang senyum ramah.
“Sejujurnya,” Hitome memulai dengan gugup, “Saya selalu buruk dalam berbicara dengan orang lain. Tapi melihat bagaimana Kakak menangani pelanggan dengan begitu mudah dan menawan, saya pikir saya bisa belajar banyak dari Kakak.”
Estrella tertawa, matanya berbinar. “Oh, percayalah, tidak selalu seperti ini. Aku sangat gugup saat memulainya! Dan tidak perlu se-formal itu, perkenalkan, namaku Estrella.”
Hitome tertawa kecil, tampak santai. "Benarkah begitu? Saya... maksudnya, aku, merasa itu sulit dipercaya, untuk seorang Kak Estrella!”
"Itu benar! Namun dengan latihan dan banyak momen memalukan, seperti obrolan menjadi kikuk setelah mencoba menjadi ramah, aku menjadi lebih baik. Dan kamu pun juga akan melakukannya.” Estrella meyakinkannya.
Wajah Hitome bersinar dengan harapan. “Terima kasih, Kak Estrella. Saya akan bekerja keras untuk belajar!”
Dengan Estrella yang memberi persetujuannya, Hitome menjadi kandidat kedua yang diterima bekerja di dalam tim Yuki mengelola Nagisano Shizuka.
Sementara itu, Hayato yang sibuk dengan urusan administrasi, sedikit menggerutu tentang beban kerja tambahan. Namun, dia tetap menjaga semuanya berjalan dengan baik, karena dia sendiri mengetahui betapa pentingnya proses ini untuk masa depan Nagisano Shizuka.
Terakhir, kini Yuki mewawancarai seorang pria yang lebih muda darinya bernama Marlin, yang diutus oleh Christopher dari kedai Shiosai Kamome untuk belajar dari Yuki dalam mengelola sebuah kedai kopi, terlebih, apabila Marlin kemudian bisa belajar dari Arlend yang memiliki detail sempurna terhadap teknik penyeduhan kopi.
Marlin duduk, postur tubuhnya kaku dan sigap, matanya tajam dan fokus pada Yuki. “Saya di sini untuk belajar dan membuktikan diri,” katanya tanpa menunggu dipersilakan terlebih dahulu, suaranya tegas.
Yuki mengangguk, merasakan keseriusannya. "Kenapa kau ingin bekerja di Nagisano Shizuka? Sementara dari portofoliomu sendiri adalah berasal dari Shiosai Kamome sebagai karyawan magang mereka."
Marlin mencondongkan tubuh ke depan, tatapannya masih tajam. "Christopher mengirim saya untuk menjadi yang terbaik. Dia percaya pada metodemu dan ingin saya belajar semua yang saya bisa darimu dan juga Arlend."
Yuki merasakan tekanan personal dari Marlin yang kian meningkat. “Ini tidak akan mudah, Marlin. Meski kami kedai kecil tidak seperti Shiosai Kamome tempatmu bekerja, kami memiliki standar yang tinggi dan metode kami sangat ketat. Terlebih, ini bukan tempat bermain.”
"Saya mengerti," jawab Marlin tanpa ragu. "Saya siap menghadapi tantangan ini. Saya akan melakukan apa pun agar bisa belajar dari Anda."
Ketegangan mereka berdua terlihat jelas, Estrella yang sudah selesai melakukan sisa wawancara dan Hayato yang menumpuk berkas pelamar yang gagal menatap Yuki dan Marlin yang seolah bersitegang. Yuki pada akhirnya mengagumi tekad Marlin dan mengakuinya. "Baiklah, mari kita lihat apa yang kamu punya."
Marlin kemudian meminta izin untuk meninggalkan lokasi, ia menjadi kandidat terakhir yang diterima sebagai tim. Dengan itu, karyawan baru Nagisano Shizuka adalah Ayase, Hitome, dan Marlin. Mereka akan berada di bawah pengawasan Estrella dan Arlend yang telah bekerja di kedai selama hampir tiga minggu ini. Sebagai manajer, Yuki bertanggung jawab untuk mengembangkan kedai lebih lanjut untuk naik kelas. Sehingga, dia secara pribadi meminta bantuan Hayato untuk memasarkan kedai melalui pamflet dan platform online sebelum lelaki bertopi hijau itu pergi setelah minum kopi hitamnya.
"Hayato, bisakah aku meminta tolong untuk kamu menangani pemasaran Nagisano Shizuka?" Yuki bertanya.
Hayato menghela nafas ingin menolak, tapi kemudian mengangguk. "Baiklah, aku akan mengurusnya," dia setuju, tanpa sedikit pun menggerutu.
“Terimakasih, selain kopi tak terbatas kau akan mendapatkan bagianmu sendiri.” Kata Yuki, yang langsung disambut baik oleh Hayato dengan penuh semangat secara tiba-tiba, untuk kemudian dia pamit setelah meletakkan berkas-berkas pelamar yang sudah tertata dengan rapi dan disusun berdasarkan urutan mereka melakukan wawancara.
Dengan staf baru yang siap memberikan energi dan ide segar, Nagisano Shizuka siap melanjutkan perjalanannya menjadi tempat yang dicintai oleh pelanggan.
...
Di sore yang tenang itu, kedai Nagisano Shizuka terasa lebih sepi dari biasanya. Pelanggan yang biasanya memenuhi meja dan kursi kini tak terlihat, Yuki perlu mengevaluasi hal tersebut karena datangnya pelanggan tidak bisa ditebak. Yuki dan Estrella, yang baru saja melewati sesi wawancara yang melelahkan, memanfaatkan momen ini untuk menciptakan menu baru, yakni minuman non-kopi.
Yuki berdiri di belakang bar, memandang Estrella yang berdiri di depannya sedang mengelap meja bar, memanggilnya untuk berhenti sejenak dari aktivitasnya. Dengan senyum hangat Yuki memulai pembicaraan, "pernah dengar bahwa kedai kopi yang baik adalah kedai yang juga menjual minuman non-kopi?” Estrella yang mendengarkan tidak tahu apa yang disampaikan oleh manajernya itu, Yuki melanjutkan pembicaraan, “mari kita buat Iced Milk Tea. Ini cukup sederhana tapi sangat menyegarkan. Sederhananya, orang datang ke kedai kopi tidak semuanya ingin memesan kopi."
Estrella mengangguk karena akhirnya mengerti, matanya bersinar dengan rasa ingin tahu yang besar. "Aku siap, manajer Yuki. Tunjukkan caranya!"
Yuki mengambil gelas es yang tinggi dari rak, memperlihatkannya kepada Estrella. "Pertama, kita siapkan gelas es yang tinggi seperti ini," katanya, “setiap gelas memiliki karakteristik dan untuk es adalah gelas seperti ini yang terbaik.” Yuki kemudian meletakkan gelas es yang tinggi tersebut di meja. "Kemudian, coba kamu tuangkan 40ml krimer ke dalamnya sebagai kondimen, oh iya, kondimen sendiri adalah bahan baku yang digunakan untuk mencampur minuman."
Estrella mengikutinya dengan cermat, menuangkan krimer vanila ke dalam gelas yang diambil Yuki itu dengan hati-hati. Yuki melanjutkan, "Setelah itu, tambahkan 10ml gula cair. Ini memberikan sentuhan manis yang sempurna dan tidak terlalu manis."
Sambil menuangkan gula cair, Estrella tersenyum kecil. "Sepertinya ini akan sangat lezat."
"Memang," jawab Yuki sambil tersenyum kembali. "Sekarang, tambahkan es tube secukupnya." Yuki kemudian mengambil sejumput es yang biasanya digunakan untuk membuat es kopi menggunakan serok kecil berbahan stainless steel, menambahkannya ke dalam gelas, diikuti oleh Estrella untuk membuat es batu itu pas dengan gelas.
"Bagian terakhir adalah teh hitam, aku sengaja sudah membuatnya sebelum wawancara," lanjut Yuki, "masukkan teh hitam ini sebanyak 120ml." Yuki mencontohkan dengan menuangkan teh ke dalam gelas yang sudah terisi dengan krimer, gula, dan es batu berbentuk tabung, memperlihatkan langkah-langkahnya dengan hati-hati. Estrella yang melihat kemudian mengikuti, menikmati setiap detiknya teh di tuangkan.
Setelah teh terisi penuh di gelas, Yuki mengambil sedotan ramah lingkungan dan meletakkannya di dalam gelas. "Dan voila! Iced Milk Tea siap disajikan, berkat Estrella!"
Estrella melihat gelas yang sudah terisi dengan Iced Milk Tea di depannya dengan rasa puas, bertepuk tangan atas kerja mereka berdua yang telah berhasil menciptakan menu baru. "Terima kasih, Yuki. Aku tidak sabar untuk mencobanya sendiri."
Yuki menatapnya dengan mata yang penuh simpati. "Sama-sama, Estrella. Aku yakin kamu akan melakukannya dengan baik."
Sore itu, di bawah cahaya matahari yang mulai memudar, suasana di kedai Nagisano Shizuka terasa lebih hangat dari biasanya, Yuki menyadari bahwa wajah ceria Estrella yang cerah membuatnya melupakan dunia sejenak, kemudian tersenyum sendiri. Momen-momen seperti ini memperkuat ikatan di antara rekan kerja, membuat setiap hari di kedai ini terasa lebih berharga.
Setibanya malam dimana matahari sudah tenggelam di ufuk barat dengan sempurna. Yuki dan Estrella bekerja sama untuk menutup kedai, mereka berdua membersihkan meja dan merapikan peralatan. Saat semua selesai, Yuki mematikan lampu utama, meninggalkan kedai dalam keheningan yang tenang.
Di luar, angin malam mulai berhembus. Estrella memasang helm sepeda dengan senyum lelah penuh kepuasan. Namun, ketika ia mencoba mengayuh sepeda, ia merasakan ada yang salah. “Yuki,” panggilnya cemas dengan memasang raut wajah sedikit panik, “rantainya putus.”
Yuki, yang tengah mengunci pintu kedai, mendekat untuk melihat lebih jelas. “Ah, sepertinya memang rusak. Jangan khawatir, kita bisa meninggalkannya di sini dan menguncinya. Bagaimana kalau kita pergi menjenguk Kakek Benjiro dan adikmu di rumah sakit dengan sekuter matikku?”
Estrella mengangguk, merasa lega. “Terima kasih, Yuki. Itu ide yang bagus.”
Mereka berdua mengunci sepeda dengan aman sebelum menaiki sekuter matik Yuki. Dengan suara lembut mesin yang mengiringi, mereka melaju di jalanan Okinawa yang mulai sepi. Malam itu, mereka berhenti di stand makanan lokal untuk membeli Tofuyo kesukaan Kakek Benjiro dan Sup Miso untuk adik Estrella, hadiah sederhana namun penuh makna bagi kedua pasien.
Di stand makanan lokal, aroma makanan yang menggoda memenuhi udara. Yuki dan Estrella berjalan di antara para penjual, membeli Tofuyo dan mencari Sup Miso, serta mencicipi beberapa makanan lokal. “Coba ini, Yuki!” seru Estrella dengan semangat, sambil menyodorkan sepotong takoyaki ke arah Yuki.
Yuki tertawa, menerimanya dengan senyum. “Ini enak sekali!” katanya setelah gigitan pertama.
Estrella tersenyum lebar. “Aku senang kamu suka. Bukankah ini menyenangkan? Okinawa begitu indah dan aku akan selalu senang berada di sini!”
Mereka melanjutkan perjalanan dengan hati yang ringan, bercanda dan tertawa sepanjang jalan. Bagi Estrella, momen ini adalah salah satu yang paling bahagia, menghabiskan waktu bersama Yuki di bawah langit malam Okinawa yang menenangkan.
Mereka melanjutkan perjalanan dari satu stand ke stand lainnya, mencoba berbagai hidangan mulai dari yakitori hingga taiyaki. Setiap gigitan adalah momen yang baru bagi Estrella, dengan rasa yang berbeda dan aroma yang memikat.
Sambil berjalan, Estrella bercerita tentang kenangannya bersama adiknya. Yuki mendengarkan dengan seksama, merasakan kehangatan dalam cerita-cerita sederhana namun penuh makna itu. Mereka tertawa bersama, berbagi cerita-cerita lucu dan momen-momen memalukan. Hingga akhirnya Yuki sadar, bahwa Estrella adalah berasal dari Swedia dan kebetulan orang tuanya bekerja di Okinawa sejak empat tahun terakhir hingga ia bisa fasih berbahasa Jepang, membuat Yuki tidak pernah menanyakan itu.
Di salah satu stand, Yuki membeli dua mangkuk Sup Miso yang mengepul hangat. Mereka duduk di bangku kayu di dekat stand, menyeruput sup yang lezat itu sambil menikmati suasana malam yang ramai. Orang-orang berlalu lalang, suara tawa dan percakapan memenuhi udara.
“Ini benar-benar malam yang indah,” kata Estrella, matanya bersinar dalam cahaya lampu-lampu jalan. “Aku merasa sangat beruntung bisa menghabiskan waktu seperti ini di Jepang.”
Yuki tersenyum, merasakan kebahagiaan yang sama. “Aku juga. Terima kasih telah menemani, Estrella, semoga Okinawa akan selalu menjadi rumah keduamu setelah Gothenburg.”
Mereka melanjutkan malam dengan berjalan-jalan lebih jauh, membeli oleh-oleh kecil untuk adik Estrella. Tawa dan canda terus mengalir di antara mereka, menghangatkan hati dan membuat malam itu terasa sempurna.
Ketika mereka akhirnya tiba di rumah sakit, Yuki menepikan skuter dan mereka berjalan masuk dengan barang-barang belanjaan mereka. Malam itu, dalam kesederhanaan dan kehangatan, mereka menemukan kebahagiaan kecil yang membuat hubungan mereka semakin erat. Yuki berpikir, apakah rumah itu, apakah Okinawa berhasil menjadi rumah untuk Estrella?