Musim panas yang terik menyelimuti Distrik Kunigami. Dari kedai kecil bernama Nagisano Shizuka, lautan biru membentang sejauh mata memandang; memantulkan kilauan cahaya yang seolah menari di atas permukaannya. Berdiri dengan sederhana, dinding kayu yang mulai lapuk terasa hidup kembali dengan hiasan bunga-bunga tropis yang bermekaran—bersahutan dengan alam di sekitarnya. Setiap detail mencerminkan perpaduan antara estetika tradisional Jepang dan sentuhan mural pastel yang menggambarkan biota laut—penghormatan kepada kedamaian lautan.
Bagi warga setempat, kedai ini lebih dari sekadar tempat bersantai. Mereka menyebutnya “Mimpi Panjang di Musim Panas Semesta,” setiap jendela mengantar pemandangan laut yang tak terhalang, ombak yang bergulung lembut, sepoi angin berhembus ke arah pantai. Aroma asin yang menyegarkan dari garam laut; bercampur dengan suara ombak yang menenangkan... membisikkan rahasia dan harapan ranpa sekat.
“Sudah waktunya memulai hal yang baru.” Yuki Shizukesa, berbisik kepada dirinya sendiri. Lelaki 20 tahun itu baru saja kembali dari Tokyo dan kini berdiri di dalam kedai warisan kakeknya. Dengan tangan penuh kehati-hatian, ia menaikkan tirai jendela, membiarkan sinar matahari pagi masuk dan memenuhi ruangan dengan hangat. Di hatinya terpatri tekad yang dalam—Nagisano Shizuka akan terus berdiri; melanjutkan kisah dan kenangan kakeknya yang kini terbaring di rumah sakit setempat.
Penangkap mimpi yang tergantung di langit-langit bergerak pelan tertiup angin, bulu-bulunya berayun lembut, sementara manik-manik kecilnya beradu, menghasilkan dentingan halus—simfoni yang berpadu dengan gemerisik dedaunan dan kicauan burung laut di kejauhan. Di sudut ruangan, aroma kopi yang baru diseduh mengisi udara, bercampur dengan bau asin laut, menciptakan perpaduan aroma yang menenangkan dan penuh nostalgia.
Siapa saja yang datang ke sini akan merasakan nostalgia yang bahkan mereka tidak pernah sekalipun mengalami, sebuah magis yang hadir dalam musim panas tak berkesudahan di Desa Onna, ujar mereka. Sehingga... rapatkanlah tangan, tangkupkan kedua telapakmu di depan dada seperti yang Yuki lakukan saat ini, “apapun yang terjadi, harapan terkuat akan berakhir baik.”
Gemerisik angin berhembus pelan melalui jendela—menenangkan. Suara mesin penggiling kopi berpadu di dalam ritmis, aroma wewangian biji kopi menyeruak dengan lembut. Terseduh dengan begitu tenang, buih bermunculan seraya uap hangat menyembul ketika Yuki dengan perlahannya menuangkan air panas dari dalam ketel.
"Wow, luar biasa, Yuki!" Suara riang memecah keheningan. Hayato, teman masa kecilnya, duduk di depan bar—kemudian menyesap kopi hitamnya itu, sebuah rutinitas sebelum mengantarkan koran. Lelaki berusia 19 tahun itu memiliki kesenangan tersendiri; selalu menyempatkan mampir ke kedai setiap pagi hanya untuk menikmati secangkir kopi hitam. "Kakekmu mungkin perlu mencari barista baru, kau tahu?" ujarnya dengan nada iseng, mengangkat cangkir kopinya seperti piala penghargaan, “ngomong-ngomong, kopi ini enak.”
Yuki tertawa kecil. Sambil merapikan bangku-bangku yang berantakan setelah dua minggu kedai tutup, ia menjawab, "Kalau kita saja belum siap, akan sulit mencari orang lain." Tata letak meja diatur sedemikian rupa agar setiap pengunjung merasa dekat dan akrab, menciptakan suasana di mana setiap cangkir kopi dapat menjadi awal percakapan hangat.
"Semoga harimu lancar," ucap Hayato sambil mengenakan topi hijaunya, lalu mengayuh sepedanya dengan senyum lebar. "Kuharap aku bisa dengar kabar baik darimu, Manajer! Berjuanglah!"
Yuki hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala, namun di dalam hatinya, ada perasaan haru dan keyakinan kuat—Nagisano Shizuka yang kini sepenuhnya berada di bawah pengelolaannya akan menjelma menjadi kedai kopi paling terkenal di seluruh Okinawa.
Pagi ini adalah awal dari babak baru dalam hidupnya.
Suara ornamen penangkap mimpi bergemerincing saat ada orang yang membuka pintu masuk, seorang pria dan istrinya menjadi pelanggan pertama Yuki hari ini. “Selamat datang”, sambut Yuki ramah dan dibalas dengan senyuman hangat oleh mereka berdua. Sepasang suami istri tersebut kemudian duduk di dekat akuarium kecil yang berada di sudut ruangan— memperliatkan ikan-ikan tropis yang berenang dan bermandikan sinar matahari pagi yang hangat. Diiringi musik lembut, Yuki mulai bekerja. Dengan penuh semangat, ia mempersiapkan pesanan Espresso Single Shot—kopi pertama yang ia sajikan sebagai barista sekaligus pengelola kedai.
Yuki dengan cermat menakar 14 gram biji kopi campuran Okinawa Red Bourbon dan Ishigaki Typica dalam perbandingan seimbang. Gilingan halus itu menguar, membawa aroma manis dan lembut yang memenuhi ruangan. Ia menekan bubuk kopi dengan hati-hati menggunakan tamper, memastikan ekstraksi sempurna dari setiap butir kopi. Setelah memasang porta filter ke mesin espresso, ia menekan tuas dengan penuh konsentrasi. Cairan cokelat pekat mengalir perlahan, menciptakan espresso yang sempurna—padat, aromatik, dan memikat.
Dengan teliti, ia menyajikan espresso dalam cangkir mungil, ditemani segelas air putih di sampingnya. Saat ia meletakkannya di meja, pasangan paruh baya itu tersenyum hangat. Sinar matahari pagi menembus jendela besar, menciptakan cahaya keemasan yang memeluk setiap sudut ruangan.
"Turut prihatin atas kondisi kakekmu, Yuki. Kami selalu menyempatkan waktu untuk mampir setiap pekan," ujar pria itu, matanya sedikit lelah, namun tetap menyiratkan kehangatan.
"Terima kasih," balas Yuki dengan senyum tulus. "Tidak banyak yang berubah di sini… hanya kakek yang tak lagi bisa bersama kami."
Sang istri menatapnya lembut, penuh kasih. "Kadang perubahan justru datang untuk menguatkan. Ini saat yang tepat bagimu untuk memulai kembali, Yuki. Nagisano Shizuka kini adalah milikmu sepenuhnya."
Kata-kata itu menancap dalam di hati Yuki. Ia tahu, kedai ini bukan sekadar tempat menjual kopi—di sinilah kenangan diciptakan dan hubungan baru dimulai. Nagisano Shizuka akan menjadi lebih dari sekadar warisan; ia akan menjadikannya tempat di mana setiap sudut menyimpan kisah dan kehangatan, tempat di mana kenangan indah dan romansa tumbuh tanpa batas.
Dengan semangat yang membara, Yuki berjanji dalam hati; Nagisano Shizuka akan menjadi kedai paling terkenal di Okinawa—maksudnya, pasti—menjadi tempat orang-orang bisa menemukan rasa nyaman dan kebahagiaan. Ia tersenyum, sang manajer memulai harinya dengan perasaan hangat.