Loading...
Logo TinLit
Read Story - After School
MENU
About Us  

   Momen itu terjadi di hari Jumat, awal bulan Desember, di penghujung tahun 2019. Cuaca pada hari-hari seperti ini mulai jauh dari kesan bersahabat. Sejak petang lepas maghrib, hujan deras mengguyur Jakarta. Nama gue Janelendra Gabriel. Gue lahir di hari ketika John Lennon ditembak mati oleh seseorang yang konon katanya adalah fans beratnya, bernama Mark David Chapman di kota New York. Bagi yang gak tau siapa itu John Lennon dan kapan dia tewas, silahkan tanya pada Google, si canggih yang menjadi salah satu warisan teknologi dari abad 20 yang kemudian disempurnakan pada abad 21. Saat momen itu, usia gue sedikit lagi genap kepala empat. Artinya waktu itu gue sedang dalam masa persiapan untuk memasuki krisis baru di kehidupan setelah usia 13 tahun, 17 tahun, 25 tahun dan 30 tahun.

   Gue bekerja di sebuah agency iklan sebagai creative director. Lumayanlah, udah tujuh tahunan kerja di sini. Namanya T3XT. Sengaja tulisannya begitu, karena memang pemiliknya alias investornya ada tiga orang. Kantornya lumayan bonafide. Makanya bisa menyewa sebuah bangunan di sudut yang cukup mahal di daerah Kemang, Jakarta Selatan. Gue beruntung bisa masuk ke sini meski gue hanya anak jebolan Desain Grafis - yang sekarang bernama DKV (Desain Komunikasi Visual) - tanpa ijazah alias gak lulus. Karena dulu, ada teman satu angkatan di kampus, Ali namanya, yang udah duluan masuk T3XT, meyakinkan atasannya karena tau siapa gue dan kinerja gue, berdasarkan pengalaman dia berkali-kali kerja sama gue saat kami masih berstatus ‘buruh’ freelance industri kreatif. Saat itu gue dan Ali sama beberapa teman lain memang lebih suka menjadi freelancer, bukan karyawan tetap (baik itu di film, iklan atau event), karena itu artinya kami bisa ambil sebanyak mungkin kerjaan yang kami anggap pas sembari bisa berlibur sesuka hati dan yang terpenting secara finansial hasilnya memuaskan, meski gak teratur kayak orang kantoran. Saat itu, itu adalah pekerjaan impian buat gue.

   Tapi seiring bergantinya zaman dan usia, lama-lama memiliki kehidupan yang lebih teratur termasuk soal income, menjadi obsesi lain gue. Walau pakaian kerja harus tetap non-formil. Maka terdamparlah gue di T3XT, kantor yang punya segudang aturan termasuk soal jam kerja, yang dulu sangat gue hindari.

   Di kantor, gue baru aja selesai mengerjakan satu proyek dari klien kakap, sebuah perusahaan minuman merk internasional ternama, yang mau launching produk barunya. Jadi butuh eksposur besar-besaran. Dan percayalah, pekerjaan kayak gini itu sangat menyita perhatian, emosi, waktu dan tenaga. Gue sampai kadang gak tau lagi, mana pagi, mana siang, mana sore dan mana malam. Makanya, ada tradisi positif di kantor, setiap selesai satu project besar, gue dan tim diberikan libur tiga hari, untuk re-charge katanya. Dan di project kali ini gue beruntung karena semua urusan pekerjaan bisa selesai pas di hari Jumat alias weekend, yang artinya gue akan ketambahan dua hari waktu istirahat (Sabtu dan Minggu). Yang artinya lagi, itu adalah waktu yang tepat untuk berpesta sejenak. Tapi gue menolak ajakan anak-anak buah gue untuk clubbing. Udah gak suka. Jadi biarlah, para millenials itu menikmati malam disko ria mereka.

   Gue lebih memilih menikmati malam Sabtu seorang diri. Apalagi suasana hati masih agak sedikit kurang baik, bawaan galau gara-gara Nila. Jadi inginnya sendirian dulu. Saat itu gue udah susun rencana self-healing gue untuk weekend dan tiga hari setelahnya: mengunjungi toko buku, menonton ulang semua session Stranger Things dan Friends di Netflix, menikmati dark joke ala Tretan Muslim-Coki Pardede di Youtube dan menyesap musik jazz. 

   Di Kemang, gak jauh dari kantor, ada salah satu tempat favorit gue. Namanya Jazztro, sebuah bistro yang rutin menampilkan musik jazz secara live. Dan malam itu di Jazztro, ke sanalah gue melangkah, duduk seorang diri di salah satu spot terbaik yang menghadap ke panggung sambil menikmati sepiring steak daging domba yang lembut dan segelas bir dingin yang rasanya cukup menenangkan batin.

   Rata-rata pengunjung malam itu adalah para pria dan wanita kantoran, jumlahnya gak terlalu banyak. Satu per satu lantunan musik irama jazz mengalun lembut dari atas panggung, memenuhi semua sudut ruangan bistro yang temaram, menemani makan malam gue.

   Lalu....

   “Janel!”

   Sapaan seorang wanita mendadak mengalihkan pandangan gue. Gue fokus menatapnya. Kulitnya putih, rambut panjang seleher, wajah sedikit oval dan berkacamata. Tingginya semampai. Badannya agak berisi tapi tidak bisa dikatakan gemuk, dan mungkin beberapa pengunjung akan sepakat dengan gue, kalo wanita ini masih terlihat cantik meski secara usia udah 30an.

   “Hoiii!” Si ibu cantik ini mengibaskan tangannya tepat di depan wajah gue.

   Gue tegaskan sekali lagi pandangan gue. Dia adalah seseorang dari masa lalu, seorang teman baik dari masa SMA. Dia adalah Kinarza Jelita alias Kinar.

   “Kinar?” Gue menyapanya.

   “Iya! Ya ampunnn.... Janel, akhirnya bisa ketemu lagi! Lo apa kabar?” ujar Kinar penuh antusiasme sembari cipika-cipiki dan memeluk gue erat.

   Malam itu, gue dan Kinar tenggelam dalam temu kangen yang penuh arti.

   “Baik, Kin. Gila ya, udah berapa tahun kita gak ketemu?” kata gue.

   “Empat belas tahun! Terakhir 2005, ingat gak lo, kita ketemu di Dufan, di acara party apalah itu? Hahaha.”

   Gue membongkar memori. “Iya, iya. Kayaknya itu terakhir kita ketemu.”

   Sepertinya memang tahun segitu, 2005, terakhir gue ketemu Kinar. Saat itu ada acara musik bertajuk, Party & Do-Fun. Kayak DWP gitu. Idenya adalah bikin music party di amusement park. Bintang tamu utamanya adalah para jagoan-jagoan EDM era 90an dan 2000an: The Prodigy, Chemical Brothers, Safri Duo, Fatboy Slim dan si ratu dansa Sophie Ellis-Bextor. Digeber dari jam tujuh malam (Dufan alias Dunia Fantasi tutup lebih cepat jadinya) sampai pagi hari jelang matahari terbit. Gokil sih emang EO-nya! Tapi sayangnya acara keren seperti itu hanya terjadi sekali. Tahun-tahun berikutnya udah gak digelar lagi. Terlalu mahal mungkin.

   Lalu gue tertegun sejenak. Dari garis-garis wajahnya, Kinar gak banyak berubah. Walau jelas, aura wajahnya bukan lagi aura seorang gadis remaja. Jujur aja, gue senang bercampur haru ketika menyadari siapa wanita yang sedang berbincang dengan gue ini. Ada cerita masa lalu yang gak akan pernah bisa gue lupakan ketika berbincang dengan Kinar. Tapi cerita itu bukanlah sepenuhnya tentang Kinar. Ada cerita tentang mantan pacarnya yang adalah sahabat gue, lalu teman-teman kami dan juga... sebuah cerita tentang teman satu geng Kinar yang namanya pernah tergores istimewa di hati gue. Malam itu, kehadiran Kinar benar-benar membuat segalanya berubah. ‘Monster’ yang sekian tahun tertidur, bangkit pada malam itu.

   “Hey, kok bengong sih lo?” Kinar menghardik gue yang masih terkesima.

   Gue tersadar dan ketawa.

   “Boleh gue duduk?” tanya Kinar.

   “Ya bolehlah,” jawab gue.

   Kinar langsung mengambil tempat di samping gue. “Kenapa sih lo, pangling banget kayaknya ketemu gue. Gue berubah ya?”

   “Enggak kok.” Lalu gue hening. “Apa kabar lo?”

   “Baik, Nel. Gak nyangka ya, kita bisa ketemu lagi.”

   “Iya, gak nyangka. By the way, lo udah dari tadi di sini atau baru sampe?”

   “Gue habis meeting Nel, di kafe sebelah dari sore. Begitu selesai, ke sini sama beberapa temen.” Kinar menunjuk sebuah sudut, tempat teman-temannya berkumpul. “Udah lama duduk, gue baru sadar, kayaknya itu elo. Makanya gue samperin,” lanjut Kinar.

   “Kantor lo di Kemang juga?”

   “Oh enggak. Gue mah kantor di Senayan. Gue kerja di asuransi, Nel.”

   Gue mengangguk, diam sesaat, lalu tersenyum. “Eh, gimana tuh kabar teman-teman lo, geng... Nu Girls, masih suka ketemuan kalian?”

   Kinar langsung ketawa. “Lo nanyain teman gue yang mana nih? Spesifik dong!”

   Mendengar ocehan Kinar, gue ikutan ketawa. “Yah... semuanya itu lah, yang dulu sering jalan bareng sama Krazy Squad.”

   “Masih basa-basi aja lo, Nel! Bilang aja lo mau nanyain kabarnya si Lovi. Iya kan?”

   Gue gak bisa lagi mengelak. Memang nama itu, Lovi Putri Arini, yang ingin gue tau kabarnya dari Kinar. Kinar, Lovi dan beberapa teman mereka lainnya dulu bergabung dalam satu geng cewek-cewek bernama: Nu Girls. Mereka adalah adik-adik kelas gue di SMA, dan dulu saat mereka kelas satu, Kinar dan gengnya dekat sama cowok-cowok di geng gue, namanya Krazy Squad (KS). Bahkan ada yang sampai pacaran.

   Gue tersenyum grogi. “Iya tuh, si Lovi apa kabar ya?”

   Kinar tersenyum. “Masih ingat aja nih.”

   Lalu agak lama Kinar terdiam, seperti berpikir, sampai akhirnya dia bicara.

   “Terus terang, Nel, gue gak tau lagi kabarnya Lovi. Udah lama banget gue gak pernah kontak apalagi ketemu dia.”

   “Sama sekali?” tanya gue penasaran.

   Kinar mengangguk. “Dia tuh benar-benar hilang gak ada jejaknya. Apalagi setelah dia married.” Lalu Kinar memberikan spasi, seperti merasa ada sesuatu yang salah dari ucapannya. “Eh, sori, tapi lo tau kan dia udah nikah?” tanya Kinar hati-hati.

   “Ya taulah,” jawab gue santai. “Seingat gue dia nikah gak lama setelah kita ketemu di Dufan itu. Iya, kan?”

   Kinar mengernyitkan dahi. “Kok elo bisa tau?”

   Sekarang gue yang gantian mengernyitkan dahi. “Aneh deh lo. Kayaknya semua temannya Lovi tau deh dia udah nikah.”

   “Maksud gue, pas hari-H pernikahannya, kok lo bisa tau? Karena setahu gue, dulu pernikahan dia itu gak terlalu di-publish sama Lovi dan keluarganya. Jadi emang saat itu dikit banget teman-temannya Lovi yang tau dia nikah.”

   “Kalo soal itu, ada teman gue, temannya Lovi juga, dia dapat undangan. Dari dia gue tau Lovi nikah.” 

   Kinar tertegun. “Oh gitu. T’rus lo datang?”

   Gue diam sesaat, lalu tersenyum paksa. “Enggak. Hanya teman gue itu yang datang. “Lo sendiri datang?” Gue bertanya balik pada Kinar.

   “Datang. Tapi dari angkatan gue, emang hanya gue yang diundang.”

   Gue menyimak tanpa suara.

   Kinar lanjut cerita, “Nah, habis dia married, gue sama Lovi masih in touch tuh. Dia bahkan sempat reunian sama angkatannya kita. Makanya, kabar dia nikah akhirnya kesebar, dan saat itu dia terlihat masih baik-baik aja. Tapi setahunan setelah itu, dia seperti menarik diri dan gak ada kabar lagi. Menghilang. Bahkan di semua media sosial aja dia gak aktif.”

   Gue mengangguk pelan. “Lo pernah ke rumahnya?”

   “Pernah. Sekitar dua tahun lalu kayaknya. Tapi keluarganya udah gak di situ.”

   “Rumahnya udah dijual?”

   “Enggak sih. Itu masih rumahnya Lovi. Tapi kayaknya untuk sementara keluarganya gak tinggal di situ. Yang ada hanya penjaga rumah, suami-istri. Menurut ibu yang jaga, orangtuanya Lovi di Malaysia. Si Aline, adiknya Lovi di Bali sama suami. Nah, Lovi sendiri mereka gak tau ada di mana. Kata mereka suka pindah-pindah.“ Kinar kemudian terdiam. “Yah, gitu deh ceritanya, Nel. Lovi itu totally disappear! Sama sekali gak ada yang tau dia di mana.”

   Gue tertegun mendengar omongan Kinar. Sesuatu telah mengusik batin gue malam itu.

   “Kenapa sih Kin, dia jadi misterius gitu? Jadi tertutup banget, jauh dari kesan dia yang dulu rame,” tanya gue penasaran.

   Kinar mengangkat bahunya. “Yah... manusia kan mahluk paling abstrak, Nel. Selalu berubah. Dan Lovi berubah, gue rasa karena pernikahannya itu deh.”

   “Lovi yang bilang itu ke elo?”

   Kinar menggeleng. “Enggak. Lovi gak pernah cerita apa pun soal pernikahan dia. Itu hanya asumsi gue aja. Karena... dia itu kan nikah karena...”

   Gue mengangguk. “Iya, gue tau kok,” ujar gue lirih, tanpa memberikan kesempatan Kinar menyelesaikan kalimatnya.

   Tatapan mata gue kemudian menerawang jauh. Malam itu gue tiba-tiba merindu, kangen sama Lovi. Lovi adalah cewek istimewa di mata gue. Dia itu dulu cantik, imut, rame, suka becanda, ketawanya paling renyah, sedikit galak dan penyuka musik rock. Tapi satu hal yang paling gue ingat dari Lovi adalah: jam tangan Baby-G. Lovi adalah pencinta jam tangan yang cewek banget itu. Koleksinya banyak dan unik-unik. Meski gak tiap hari, tapi di lengannya bisa melingkar Baby-G dengan wujud serta warna yang berbeda-beda. Semuanya lucu dan imut, seperti dirinya. 

   Satu lagi, di pembicaraan terakhir gue dengan Lovi, ada satu ucapan dia yang akan selalu gue ingat sampai sekarang dan itu menimbulkan rasa penyesalan yang mendalam. Saat itu Lovi seperti meminta pertolongan gue, tapi entah kenapa gue gak terlalu serius nanggapinnya. Pertemuan dengan Kinar, membangkitkan lagi rasa bersalah itu.

   I miss her, soooo... much!

   “Kenapa, kangen yah?” goda Kinar.

   Gue tersenyum tipis tanpa menjawab pertanyaan Kinar.

   “Lo tinggal di mana sekarang?” Gue berusaha mengalihkan pertanyaan Kinar.

   “Di Bintaro, Nel. Sama suami.”

   “Rumah lo yang di Matraman masih ada?” Kembali gue menggali informasi.

   “Udah dijual. Bokap-Nyokap pindah ke BSD. Kalo lo, masih di daerah Salemba?”

   “Tinggal orangtua gue doang di sana. Kalo gue, dari lima tahun lalu udah tinggal di Cibubur. Beli rumah di sana. Yah... kecil-kecilan lah.”

   “Lo udah nikah, Nel?” Kinar bertanya sebuah topik yang kata orang sangat sensitif.

   Gue menggeleng tanpa beban. “Belum.”

   Ada keterkejutan terpancar dari wajah Kinar. “Hah, serius? Belum ketemu yang cocok ya kayaknya. Hahaha...”

   “Sepertinya begitu.” Gue balas tertawa. “Anak lo udah berapa?”

   “Baru satu. Usia enam tahun.”

   Gue mengangguk halus.

   “Lo belum nikah, jangan bilang karena masih nungguin Lovi!”

   Gue mendelik tegas. “Yah enggak lah! Ngapain juga gue masih nungguin dia?”

   Kinar terkekeh. “Becanda, Nel. Tapi masak sih, lo masih jomblo?”

   Gue jeda sejenak. Mengorek kembali peristiwa gak menyenangkan sebulan lalu itu, sejujurnya sedikit membuat gue gak nyaman.

   “Gue baru bubaran, Kin. Ada lah sebulan lalu. Padahal kita udah mau nikah.”

   “Oh. Sori....” ucap Kinar lirih.

   Gue tersenyum getir. “It’s okay. Itulah hidup. C’est la vie kalo kata orang Prancis.”

   “Siapa dia kalo boleh tau?”

   “Namanya Nila. She’s a model. Beda limas belas tahun gitu sama gue.

   Mata Kinar langsung membelalak. “Seriusan?” Lalu dia tertawa kencang. “Gila! Suka daun muda lo ternyata ya.”

   “Ya, gue sih bukan sengaja cari yang jauh banget umurnya. Tapi, karena waktu itu cocok, gue juga sayang sama dia, ya udah, jadian dan gue seriusin. Cuma… sekarang kan udah lewat juga. It’s OK…” Gue tersenyum getir.

   Kinar tersenyum samar. “Iya, move on lah ya! Gue doain deh, lo segera dapat pengganti si Nila-Nila ini dan beneran married.”

   Gue mengangguk. Lalu gue menatap Kinar agak lama. “Tapi jujur ya Kin, gue senang banget ketemu lo malam ini. Gue jadi kangen sama masa lalu.”

   Kinar kembali tersenyum samar. Tapi sinar matanya mendadak berubah.

   “Sebenarnya gue emang berharap bisa ketemu lo, Nel! Dan gak nyangka, semesta menjawab harapan gue.”

   Gue segera menegakkan badan, duduk lebih tegap karena ingin serius menyimak perkataan Kinar. Sepertinya kalimat Kinar barusan bermakna sesuatu.

   “Kok bicara lo jadi dalam gitu? Ada apa nih?”

   Kinar menatap gue lekat-lekat. “Lo pernah ketemu sama Raska, gak? Atau minimal lo tau kabarnya dia.”

   Raska. Sahabat karib gue. Sama seperti Lovi, sosok itu juga udah lama menghilang. Entah di mana dia sekarang. Dulu Kinar dan Raska pernah pacaran. Cinta mereka begitu dalam meski akhirnya jadi sangat menyakitkan.

   Gue menggeleng. “Ada sekitar sepuluh tahun kali Kin, gue gak pernah ketemu dia lagi. Dulu banget gue pernah ketemu dia, gak sengaja di rumah sakit. Itu pun buru-buru. Dia mau berobat katanya. Kita sempat tukaran nomor HP dan SMS-an. Tapi setelah beberapa bulan, nomornya udah gak aktif. Gue pernah coba ke rumahnya, tapi ternyata udah dijual. Setelah itu gak pernah lagi gue ketemu dia. Bahkan ada rumor, dia udah meninggal. Enggak tau juga deh.”

   Kinar makin menatap lekat ke gue. “Lo mau gak ketemu dia?”

   Gue langsung melongo. “Ketemu Raska maksudnya?”

   “Iya.”

   “Jadi, gosip dia meninggal itu gak benar dong?”

   “Iya.”

   “Memangnya, lo udah ketemu dia?”

   “Gue gak ketemu sama dia. Tapi sekitar seminggu lalu, gak sengaja pas lagi makan siang di kafe dekat kantor, gue ketemu Richie.”

   “Richie... abangnya Raska?”

   “Iya. Awalnya kita hanya ngobrol basa-basi. Sampai kemudian gue memberanikan diri nanya soal Raska.”

   “T’rus apa kata Richie?”

   “Dia gak banyak cerita, hanya kasih gue alamat tempat Raska sekarang. Sebelum pisah, Richie sempat pesan, kalo bisa gue ke sana temuin Raska. Awalnya sih gue gak peduli. Gue pikir, bodo amat lah ya, dia bukan urusan gue lagi. Tapi pas di rumah, hati gue gelisah. Kayak ada dorongan supaya gue temuin Raska. Cuma masalahnya gue gak mau sendiri. Gue harus ajak orang dan gue kepikiran elo. Masalahnya lagi, gue kehilangan kontak elo. Cari elo di medsos, gue lupa nama panjang lo. Ada nama Janelendra, tapi yang keluar wajah-wajah asing semua, kayak dari Nepal atau India gitu. Hahaha. Jadilah gue semacam make a wish, gue bilang, kalo emang gue harus nemuin Raska, gue juga harus ketemu elo, dan ajaibnya, sekarang gue ketemu elo.”

   Gue tersenyum penuh arti tanpa bicara apa pun.

   “Berarti... ketemunya kita malam ini, adalah sebuah pertanda kalo memang kita harus temuin Raska, Nel.”

   “Memangnya dia di mana?” selidik gue.

   “Dia lagi direhabilitasi, di daerah Bogor,” ucap Kinar pelan.

   Suasana mendadak hening. Gue mengangguk paham. Sejak SMA, Raska memang udah memakai drugs. Bertahun-tahun dia terpenjara oleh narkotika. Gue ingat banget hari itu, karena gue ada di sana, hari di mana hidup Raska berubah selamanya. Hanya diperlukan satu hari.... satu hari saja untuk memahat takdir Raska. Jalan hidupnya berbelok drastis sejak hari itu – di suatu siang di penghujung tahun 1996. Dia masuk ke sana, ke lorong hitam narkotika dan gak pernah keluar lagi.

   “Dia masih make ya berarti?” ujar gue lirih.

   Kinar tersenyum getir. “Yah... lo tau dia lah, Nel.”

   “Sedih aja sih, dengar sahabat gue masih begitu.”

   “Jadi gimana, lo mau kan temenin gue ke sana?”

   “Iya, gue mau! Gue juga pengin banget ketemu dia.”

   Tatapan sendu Kinar melintas di mata gue.

   “Gue percaya ini bukan sekedar kebetulan, Nel. Semuanya udah diatur oleh semesta. Kita memang harus ketemu untuk suatu tugas yang gue belum tau itu apa.”

   Gue mengangguk pelan. Kalimat Kinar barusan, rasanya teramat dalam buat gue. Terdengar seperti sebuah pesan khusus yang dikirim dari langit.

   “Kapan kita ke tempatnya Raska?” tanya gue.

   “Kalo besok, Sabtu, lo oke?” Kinar berbalik tanya.

   “Oke!”

   “Ya udah. Besok ya. Lo bisa kan jemput gue?”

   Gue mengangguk. “Aman!”

   “Nanti alamat rumah, gue kirim lewat WA.”

   Setelah itu gue dan Kinar saling bertukar nomor HP. Gak lama Kinar pamit harus segera pulang. Hanya gue sekarang yang jadi termangu sendirian. Termangu, karena pita memori di otak jadi berputar ke belakang. Di otak gue, seperti ada potongan-potongan semua adegan di masa lalu yang pernah gue alami. Bergerak layaknya gambar di film. Malam itu gue tenggelam dalam kenangan, berteman musik Jazz dan kesendirian.

 

                                        Your memory is a monster... – John Irving, A Prayer for Owen Meany

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
FaraDigma
1365      681     1     
Romance
Digma, atlet taekwondo terbaik di sekolah, siap menghadapi segala risiko untuk membalas dendam sahabatnya. Dia rela menjadi korban bully Gery dan gengnya-dicaci maki, dihina, bahkan dipukuli di depan umum-semata-mata untuk mengumpulkan bukti kejahatan mereka. Namun, misi Digma berubah total saat Fara, gadis pemalu yang juga Ketua Patroli Keamanan Sekolah, tiba-tiba membela dia. Kekacauan tak terh...
It Takes Two to Tango
472      346     1     
Romance
Bertahun-tahun Dalmar sama sekali tidak pernah menginjakkan kaki di kota kelahirannya. Kini, ia hanya punya waktu dua minggu untuk bebas sejenak dari tanggung jawab-khas-lelaki-yang-beranjak-dewasa di Balikpapan, dan kenangan masa kecilnya mengatakan bahwa ia harus mencari anak perempuan penyuka binatang yang dulu menyelamatkan kucing kakeknya dari gilasan roda sepeda. Zura tidak merasa sese...
Rembulan
1236      697     2     
Romance
Orang-orang acap kali berkata, "orang yang gagal dalam keluarga, dia akan berhasil dalam percintaan." Hal itu tidak berlaku bagi Luna. Gadis mungil dengan paras seindah peri namun memiliki kehidupan seperti sihir. Luna selalu percaya akan cahaya rembulan yang setiap malam menyinari, tetapi sebenarnya dia ditipu oleh alam semesta. Bagaimana rasanya memiliki keluarga namun tak bisa dianggap ...
Antropolovegi
132      117     0     
Romance
"Ada satu hubungan yang lebih indah dari hubungan sepasang Kekasih Kak, Hubungan itu bernama Kerabat. Tapi kak, boleh aku tetap menaruh hati walau tau akhirnya akan sakit hati?" -Dahayu Jagat Raya. __________________________ Sebagai seseorang yang berada di dalam lingkup yang sama, tentu hal wajar jika terjadi yang namanya jatuh cinta. Kebiasaan selalu berada di sisi masing-masing sepanjang...
What If I Die Tomorrow?
428      274     2     
Short Story
Aku tak suka hidup di dunia ini. Semua penuh basa-basi. Mereka selalu menganggap aku kasat mata, merasa aku adalah hal termenakutkan di semesta ini yang harus dijauhi. Rasa tertekan itu, sungguh membuatku ingin cepat-cepat mati. Hingga suatu hari, bayangan hitam dan kemunculan seorang pria tak dikenal yang bisa masuk begitu saja ke apartemenku membuatku pingsan, mengetahui bahwa dia adalah han...
The Diary : You Are My Activist
14872      2528     4     
Romance
Kisah tentang kehidupan cintaku bersama seorang aktivis kampus..
Perfect Love INTROVERT
10835      2019     2     
Fan Fiction
Little Spoiler
1089      661     0     
Romance
hanya dengan tatapannya saja, dia tahu apa yang kupikirkan. tanpa kubicarakan dia tahu apa yang kuinginkan. yah, bukankah itu yang namanya "sahabat", katanya. dia tidak pernah menyembunyikan apapun dariku, rahasianya, cinta pertamanya, masalah pribadinya bahkan ukuran kaos kakinya sekalipun. dia tidak pernah menyembunyikan sesuatu dariku, tapi aku yang menyembunyikan sesuatu dariny...
Kalopsia
750      551     2     
Romance
Based of true story Kim Taehyung x Sandra Sandra seharusnya memberikan sayang dan cinta jauh lebih banyak untuk dirinya sendiri dari pada memberikannya pada orang lain. Karna itu adalah bentuk pertahanan diri Agar tidak takut merasa kehilangan, agar tidak tenggelam dalam harapan,  agar bisa merelakan dia bahagia dengan orang lain yang ternyata bukan kita.  Dan Sandra ternyata lupa karna meng...
Hello, Troublemaker!
1234      574     6     
Romance
Tentang Rega, seorang bandar kunci jawaban dari setiap ujian apapun di sekolah. Butuh bantuan Rega? mudah, siapkan saja uang maka kamu akan mendapatkan selembar kertas—sesuai dengan ujian apa yang diinginkan—lengkap dengan jawaban dari nomor satu hingga terakhir. Ini juga tentang Anya, gadis mungil dengan tingkahnya yang luar biasa. Memiliki ambisi seluas samudera, juga impian yang begitu...