“Aku ingin ke Taman Eden.” Kata Mawar putih suatu sore yang dingin. Dia tampak muram sebab teman di sampingnya, Mawar Merah sudah berangkat dua hari lalu ke Taman Eden yang dikatakan seperti surga itu.
“Aku juga. Kapan, ya?” Kaktus di ujung sana menyahut cepat.
“Tumbuhan berduri sepertimu cocoknya di tanah tandus bukan di tanah Taman Eden yang subur!” celetuk Keladi, urat tengahnya semakin terlihat merah bercahaya ketika kesal.
Kaktus yang dongkol mendengar asumsi keladi hanya berdiam diri dengan wajah masam, duri-duri yang tumbuh di sekujur tubuhnya tampak semakin tegang.
“Sudah-sudah,” sambar Kembang Sepatu, “lagipula mungkin Taman Eden tidak seindah yang dikatakan. Kita tidak pernah mendengar langsung satu pun cerita dari teman-teman kita yang sudah pergi ke sana, mereka tidak pernah kembali.”
“Itu jelas karena mereka bahagia, mereka tidak hanya diberi pupuk tapi dinyanyikan. DINYANYIKAN!” Anyelir Merah tampak bersemangat dengan tegas dan juga berhasil meyakinkan sekawanan Lily Putih yang berdiri berkelompok di sudut. Beberapa dari mereka terkena tetesan hujan yang rembes dari atap rumah kaca.
“Aku tahu! Walaupun tidak melihat langsung. Tapi kalian ingat tidak Tuan yang membawa Petunia? Kemarin siang dia kembali,” Bunga Kertas kuning bersorak, membuat yang lain segera menoleh ke arahnya, “Tuan itu berbincang dengan Tuan kita untuk menanyakan pupuk terbaik dan bagaimana cara merawat Petunia! Benar-benar beruntung Si Petunia!” Yang lain langsung riuh berbisik-bisik dan mengangguk menyetujui perkataan Bunga Kertas.
“Haaaah~” Mawar Putih melenguh lemah, “aku ingin ke Taman Eden segera …,” ucapnya kemudian. Dia bahkan tertunduk putus asa.
-oOo-
Malam itu sangat lembab, Mawar Putih sudah tak putih lagi, kusam, sudah abu-abu dan layu. Dia menangis di antara Melati yang sudah tumbang dan Oxalis yang sudah kisut kelopaknya. Warna ungu pada Oxalis berubah pucat seperti baru saja di rebus.
“Oxalis? Melati?” rintih Mawar Putih memanggil dua teman barunya, “kalian masih hidup? Jawablah aku ….”
“Ya…, ya.” Oxalis menyahut dengan suara parau dan lemah. Nyaris tidak terdengar dia berusaha mati-matian mengeluarkan suara untuk menjawab Si Mawar.
“Oxalis! Syukurlah! Ayo bertahan! Tuan kita sebentar lagi akan pulang! Dia akan menyirami kita!” ujar Mawar Putih segera, menyemangati Oxalis yang kelopak bunganya sudah gugur satu dua.
“Hahaha!” tawa menggelegar datang dari sudut kanan mereka, itu tawa Kaktus yang masih gemuk saja, durinya masih mengilap dan juga tampak sehat, “Hei Mawar Putih! Kau baru dua minggu di sini! Jangan sok menghibur! Kita juga sama-sama tahu kalau Oxalis tidak akan bertahan hingga matahari terbit! Daripada kau semangati, lebih baik kau doakan dia!”
“Kau ini keterla-”
“LIHAT! Perhatikan sekitarmu!” sambar Kaktus, “Hanya kau dan aku yang masih tegak. Oh! Bukan. Hanya aku yang masih tegak! Kau sudah layu! Kau akan mati Mawar!” lalu Kaktus tergelak-gelak.
Mawar Putih melihat sekelilingnya. Gelap, lembab dan banyak bunga-bunga yang mati sudah kering kecoklatan. Dia menangis, perlahan-lahan berubah menjadi raungan panjang. Dia ingin memperingatkan teman-temannya di rumah kaca bahwa Taman Eden itu bualan belaka. Lebih baik berhimpit-himpitan dan diberi pupuk yang standar. Di rumah kaca, mereka merasa aman, teratur disiram dan diberi pupuk.
“Kamu salah, Anyelir. Jangankan nyanyian, disiram saja tidak …,” rintih Mawar Putih semakin menunduk.
“Oh, Lily? Tidak apa-apa jika harus terkena rembesan hujan, itu hanya sedikit dan tidak mematikan. Di sini aku berharap hujan akan membolongi atap beton ini, Lily …,” ratap Mawar Putih lagi. Pada ujung-ujung kalimat suaranya kian menipis.
“Ini bukan Taman Eden, teman-temanku. Ini Kuil Api. Tetaplah di rumah kaca,” ucap Mawar Putih sebelum benar-benar tumbang dan saat itu juga lah pintu kayu itu terdengar berderit terbuka.
Tuan mereka, yang sudah pergi selama dua puluh dua hari, memeriksa bunga-bunga, “Ah! Mati!” ucapnya sambil mencabut Mawar Putih dengan kasar dari pot tanah liat. Dia lalu melemparnya pada tumpukan sisa makanan di luar. Mawar Putih itu ikut-ikutan dikerubungi lalat.
“Taman Eden hanya ada untuk kaum kami. Si Kaktus! Kaum yang bertahan dengan segala penderitaan dan tabah dikatakan tidak indah!” ucap Kaktus sambil menerima percikan air oleh Tuan dan setelah itu dia dijemur di tengah matahari pagi yang cerah.
(Tamat)
Bjirrr plot twist!
Comment on chapter ES DOGER YANG BANYAK SUSUNYA