Satu bulan yang lalu....
“Menemukanku tak akan semudah itu. Menyerahlah.”
Berengsek!
“Aku bersumpah akan menemukanmu dan mencekikmu dengan hukum yang berlaku, sialan.”
Perempuan rambut pirang sedada itu meremas kertas di tangannya hingga tak berbentuk, melemparnya asal ke sembarang arah. Sial. Bagaimana bisa mereka masih terpancing permainan murahan seperti ini? Menyebalkan.
“Mundur. Ini jebakan.” Suara Velove Agnieszka berkumandang, memberi perintah mutlak yang sayangnya sudah terlambat untuk mereka menarik kaki mundur.
“Mereka mengepung.” suara Keira Sashenka dari pusat CCTV & data membuat mereka waspada. Di detik yang sama, Keira memberitahukan kalau lokasi target berhasil ditemukan. Masalahnya, mereka tidak bisa ke mana-mana.
Dor.
Dor.
Dor.
Tiga lesatan senjata bertubi berhasil mereka hindari. Sayangnya, di lesatan ke-empat salah satu anggota terkena srempetan peluru.
“Akh!”
“Gery!!”
Dalam serempak, Velove beserta rekan timnya yang lain mulai menodongkan senjata, saling menatap tajam dan perkelahian pun tidak lagi dapat terhindarkan.
“Baru awal dan kau sudah terluka.” Ucap Velove membalut luka Gery dengan slayer yang selalu tersemat di saku belakangnya. “Temukan pintu keluar.”
“Aku tidak apa-apa.”
Velove mengangguk, enggan berkomentar lagi. “Tetap di sisiku.”
Sudah terlambat. Pilihannya tinggal dua: mereka atau para bajingan ini yang mati.
“Vee, awas!” teriak Gery bertepatan dengan satu pukulan dari arah belakang yang membuat Velove jatuh.
“Sial.”
Dan di detik berikutnya pria dengan wajah codet di bagian pelipis itu ikut terlempar jatuh ketika satu tendangan dari Dave Johnson—wakil direktorat operasi sekaligus rekan satu tim Velove mengenai rusuk kirinya.
Dave mengulurkan tangan, membantu Velove bangun. “Kau terluka?”
“Melukaiku tak akan semudah itu.”
“Aku tahu.”
Lalu, mereka kembali menyerang. Velove meringsek maju, menendang, melompat dan memberi tinju pada titik-titik lemah hingga beberapa orang di sana tumbang dalam sekali waktu.
“Musuh bertambah dari sisi utara. Vee, pergilah ke sana.” Arahan Keira Velove terima. Tanpa berkata-kata, Vee memimpin pasukan yang sudah ia bagi dan mulai menyerang secara brutal. Dalam keadaan seperti ini, wajah seorang Velove Agnieszka tidak akan terlihat. Hanya ada Vee—topeng wajah cantik penuh pesona, namun cukup mematikan siapa saja yang berani mendekat ke arahnya.
“Pintu keluar ada di bagian timur.”
Dengan kemarahan yang masih menyala-nyala, Velove menghabisi mereka semua—menerobos kumpulan pria berbadan besar dengan segala risiko yang ada.
“Dua dari sisi kananmu.” Keira masih terus mengarahkan, memberitahu titik-titik dan pergerakan agent Claister. “Ingat untuk tidak membabat habis mereka.”
“Aku tak berjanji.”
“Velove Agnieszka!” Keira berteriak jengkel. “Lima di sisi kirimu.” Sekali pun begitu, Keira tetap berusaha profesional. Saat ini, keselamatan mereka lebih utama dari pertengkaran yang tidak ada artinya ini. Ingatkan dia untuk memukul kepala Velove kalau mereka sudah selesai. Menyebalkan.
Bunyi retakan terdengar nyaring beriringan dengan suara kesakitan pria yang kini terkapar tak berdaya di bawah Velove.
“Jumlah mereka terus bertambah. Dan Vee, berhenti membunuh. Cukup buat tidak sadarkan diri saja.”
“Berisik. Berhentilah mengomel.” Lalu, Velove menutup sambungan invisible micro earpiece ditelinganya, sengaja menghindari ceramah Keira. Perempuan itu selalu berisik setiap kali dirinya harus turun lapangan tanpa Girls Knight lagi.
Well, Alessia sudah menjadi ibu, dan Arabella sebentar lagi akan menyusulnya.
Pada akhirnya, yang dapat memisahkan mereka dari pekerjaan adalah ketika mereka harus memilih menjadi seorang ibu. Karena sejatinya pekerjaan mereka terlalu berisiko untuk perempuan yang sudah berkeluarga.
“Jane, di mana Vee?” Suara Galen terdengar dari arah belakang Janneyah. Perempuan itu berbalik sejenak dan mengarahkan dagunya ke sisi di mana Velove berada.
Galen mengambil posisi, membantu Janneyah di sisi barat. Begitu selesai, dia segera pergi ke tempat Velove.
“Ingatkan untuk menghidupkan earpiecenya.” kata Janneyah cukup keras. Perempuan itu masih memeriksa mereka yang terkapar sembari membentangkan borgol di tangan mereka.
Galen berdecak malas. “Dia benar-benar....” ia melangkah mendekati Velove yang masih beraksi.
Tendangan tepat di alat vital, pelipis, dagu dan ulu hati dari tangan dan kaki Velove berhasil melumpuhkan mereka. Dan seperti yang sudah diperhitungkan, mereka tumbang bersamaan.
“Sepertinya kehadiranku sudah tidak dibutuhkan.”
Velove melirik Galen, mengendikkan bahunya tak acuh sembari memeriksa denyut nadi mereka. Setelah hampir satu jam perpecahan yang terjadi, akhirnya mereka berhasil meringkus beberapa di antaranya dan membawanya ke kantor pusat.
“Hidupkan earpiecemu.”
“Dia berisik.”
Galen hanya geleng-geleng kepala.
“Di mana Gery?”
“Bersama tim medis.”
“Baiklah. Aku serahkan sisanya padamu.” Dan Velove berlalu begitu saja. Ia melepas sarung tangan dan mencepol asal rambutnya yang basah keringat.
Malam yang cukup panjang.
“Kau selalu saja mematikan sambungan semaumu. Tidakkah kau berpikir itu bisa membuatku lebih khawatir, Vee?”
Velove berdecak jengkel begitu ia memasuki mobil dan mendapat ceramahan Keira. “Mau pergi atau mengomel, huh?”
“Ish ... Kau memang menyebalkan.”
“Aku tahu.”
Andai bukan teman sejatinya, Keira tidak akan berpikir dua kali untuk memukul kepalanya dengan iPad di tangannya. Untung saja rasa sabarnya lebih banyak dari rasa kesalnya.
“Sebentar....”
Satu alis Velove terangkat, menatap Keira ingin tahu tapi tidak mengatakan apa-apa.
“Apartemen atau kelab?”
“Apartemen.” Jawab Velove singkat.
“Oke.”
“Tidak terdengar seperti dirimu. Ada apa?”
Keira menggeleng pelan. “Sedikit urusan pribadi. Aku akan langsung pulang setelah mengantarmu.”
“Kau bisa bercerita padaku.”
“Bukan apa-apa. Aku masih bisa mengatasinya sendiri. Lain kali akan kutraktir.”
“Terserahmu.”
Dan seperti yang Keira katakan, perempuan itu bergegas pergi usai menurunkan Velove di lobby apartemennya. Sejujurnya, Velove ingin menahannya, tapi dia tahu kalau mungkin Keira memang perlu waktu sendiri untuk masalah pribadinya.
Gelap. Velove menghidupkan saklar lampu dan melemparkan dirinya ke sofa. Nyeri. Nyaris seluruh sendi-sendinya terasa kebas setelah pertempuran panjangnya. Ah, kira-kira siapa yang akan bertahan melajang sampai akhir? Apakah itu dirinya atau Keira?
Velove menggeleng pelan. Merasa bodoh memikirkan akhir dari perjanjian kisah cinta Girls Knight—tentang siapa yang akan menikah lebih dulu dan siapa yang akan menjadi terakhir. Memikirkan ini, tiba-tiba saja membuat Velove tanpa sadar kembali mengingat masa lalunya yang cukup menyebalkan.
Jemari Velove meraba cincin rhodium yang menggantung di lehernya. Cincin dengan sejuta kenangan indah sekaligus menyakitkan yang cukup membuat Velove tidak bisa mencintai laki-laki lain lagi.
Bukankah ini tidak adil?
Sementara dia tersiksa bertahun-tahun di sini, tetapi berita tentang mantan kekasihnya yang Berengsek itu masih kerap kali terdengar dan makin gemilang disetiap tahun—membuat Velove dilema antara dia harusnya kesal atau ikut bahagia atas semua pencapaian yang berhasil lelaki itu buktikan. Rencana yang sempat mereka bahas namun harus berakhir kandas.
Bunyi bell apartemen Velove membuat perempuan itu keluar dari lamunan. Ia beranjak pergi membuka pintu dan menemukan Dave di sana.
“Galen memberitahuku kau sudah pergi.”
Velove hanya berkedip dua kali. Menatapnya tidak minat.
“Kau tidak menawariku masuk? Aku punya ini.” Katanya sambil mengangkat tinggi kantong belanjaan yang dibawanya.
Tanpa mengatakan apa-apa Velove menyingkir dari pintu, mempersilakan Dave masuk. Dalam diam mata hijau Velove terus mengikuti pergerakan Dave, memperhatikannya mengambil piring dan gelas untuk mereka berdua. Sebuah informasi baru, Dave sering melakukan hal-hal seperti ini, untuk itu dia sudah tidak terlalu peduli. Velove cukup malas untuk terus mengusir Dave. Alhasil, dia membiarkan lelaki itu berkunjung setiap kali mereka selesai tugas.
“Kau pasti belum makan. Duduk.”
“Kau terlalu sering mengunjungiku.”
“Aku terlalu mengenalmu, Vee. Kau tidak akan repot-repot mengisi perut dan memilih tidur di saat seperti ini.”
Memang benar. Velove akan lebih memilih tidur dibanding mengikuti waktu makannya yang jarang dia perhatikan.
“Kau tidak seharusnya terus menyisihkan waktu untukku. Aku bisa mengurus diriku sendiri.”
“Aku percaya kau bisa. Hanya saja, aku tidak bisa membiarkanmu begitu saja.”
“Dave....”
“Aku tahu. Anggap saja ini perhatian dari sesama rekan kerjamu. Kau anggota yang cukup kompeten. Kalau kau sakit, itu hanya akan menyulitkan tim-mu yang sudah kekurangan anggota.”
Dengan terpaksa Velove menarik piring yang diberikan Dave dan memakan makanannya dalam diam. Sudah cukup dia mendengar ceramah seperti ini. Velove sudah hampir bosan tapi ketika dipikir kembali itu memang benar. Saat ini, setelah Alessia Mikhayla dan Arabella Alison anggota inti Girls Knight yang sudah berkeluarga memutuskan berhenti, kini tim-nya benar-benar kekurangan kekuatan.
“Aku masih bertanya-tanya, mengapa kau mau ikut turun lapangan padahal agent mu bisa melakukannya untukmu?”
Dave menyeka bibirnya, tersenyum kecil. “FBI tidak akan hanya diam menunggu laporan dari departemenmu. Aku di sini sebagai perwakilan mereka. Walau pun aku tak seharusnya turun lapangan, melihat tim-mu kekurangan anggota tentu saja aku perlu membantu.”
“Hanya itu?”
“Selebihnya artikan sendiri.”
“Aku buruk dalam membuat prasangka.”
“Kalau begitu cukup berhenti berprasangka.”
Velove bangkit. Menemukan kotak obat dan kembali pada Dave, duduk di depannya. “Buka kemejamu.”
“Huh, apa?”
“Apa perlu aku yang melakukannya?”
Dengan menurut Dave membuka jasnya. Kemeja putihnya penuh dengan noda darah. Velove membantu menyingkap kemeja kotor Dave dan meneliti luka gores di pundaknya. Dengan telaten Velove membersihkan lukanya, mengobatinya.
Seulas senyum samar terlukis di wajah Dave. “Sepertinya aku perlu banyak berlatih lagi. Kemampuanku bahkan tidak bisa dibandingkan denganmu.” Dave memulai percakapan. Seperti biasa, Velove akan diam mendengarkan dan menjawab jika itu memang membutuhkan jawaban.
“Tim Alpha berkata kejadian ini memang sengaja mereka buat untuk memberi peringatan.”
“Tim kami berhasil.”
“Mereka tahu kekuatan tim kalian. Kupikir dia memang sengaja memancing pengerakan timmu. Apalagi tiga bulan yang lalu kalian berhasil mendapat barang bukti dari Thunder dan menyita senjata ilegal milik Claister. Kau tahu, mereka tidak akan tinggal diam.”
“Kenapa tidak langsung kau obati? Pergilah ke rumah sakit, lukamu membutuhkan beberapa jahitan.”
“Vee....”
“Aku tahu. Clan Claister mungkin menargetkan kami, tapi kau tidak perlu khawatir. Tim-ku cukup pandai dalam ini.”
“Ya, tidak ikut sertanya Ale dan Ara tidak akan memengaruhi kalian. Tetap saja aku khawatir, kau membuatku ketakutan dalam banyak hal, Vee.”
Pandangan mereka bertemu. Mata biru penuh kesungguhan Dave sejenak membuat Velove terpaku. Kejernihan matanya tanpa sadar membuat Velove perlahan mendekatkan wajahnya—tenggelam dalam kenangan dan masa lalu yang cukup Velove benci. Sayangnya, dia tidak benar-benar mampu membencinya.
Ciuman lembut itu menenggelamkan Velove lebih dalam. Dan begitu Dave menyapukan lidahnya, Velove merasakan dadanya bergemuruh—penuh dengan alunan kerinduan.
“Engh, Elle....”
Keduanya terpaku diam. Velove tiba-tiba saja menarik mundur, tersentak kesadarannya sendiri. Ia membuang pandangan ke sembarang arah dan berusaha menghindari kontak mata dengan Dave. Gemuruh dada Velove menolak keras, mengumpatinya dalam diam.
Sialan.
Apa yang baru saja dia lakukan?
Velove menelan ludah susah payah, mengepalkan tangan dan berkata lirih. “Maaf, Dave.”
____________________________________
JANGAN LUPA TINGGALKAN VOTE,
KOMENTAR AND SHARE YA BABY'S!
____________________________________