“Makam Bung Karno hilang!”
“Makam Pak Karno lenyap!”
“Makam Bung Karno raib!”
Teriakan wajah-wajah pias dari sederet orang yang selama ini bergantung hidup dari menjual souvenir di sekitar Makam Bung Karno memecah keheningan pagi. Padahal kokok ayam jantan belum lagi usai. Dalam tempo yang tak terlalu lama, teriak kehilangan itu telah membangunkan seluruh warga yang tinggal di sekitar makam Sang Proklamator. Mereka berbondong-bondong mendatangi area makam yang selama ini jadi sumber mata pencaharian.
Serta merta mata mereka membulat sempurna. Mereka terbelalak seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Betapa tidak! Komplek makam yang tadi malam masih berwujud bangunan megah dan menawan, di pagi buta ini telah berubah menjadi gundukan tanah kering kerontang. Semua kemegahan yang merupakan daya tarik bagi wisatawan serta merta lenyap ditelan bumi.
Mereka saling pandang dengan dada bergemuruh dan rona kesedihan yang menghias wajah. Beberapa perempuan yang biasanya menjual bunga untuk ziarah tampak tak dapat lagi menahan jatuhnya air mata. Hari-hari yang teramat berat dan mengenaskan spontan tergambar nyata dalam benak mereka. Sungguh, mereka tak sanggup kehilangan sumber pendapatan. Terlebih bagi mereka yang masih membiayai anak-anak sekolah. Raibnya makam Bung Karno seakan menjerat leher mereka dalam kedukaan.
Tanpa dikomando mereka serentak duduk bersimpuh di atas tanah kering bekas makam. Kepala mereka tertunduk ke bumi. Pikiran sederhana mereka tak sanggup mencari jawab atas misteri hilangnya makan Bung Karno yang secara otomatis juga musnahnya sumber pendapatan.
“Pakne, bagaimana nasib jabang bayi yang masih ada di dalam perutku ini jika kita tak bisa berjualan souvenir lagi?” rintih seorang ibu muda di sela isak tangisnya. Perlahan tangannya mengelus-elus perutnya yang membusung karena hamil 9 bulan.
Saeni, lelaki bertubuh kurus dan berambut ikal yang saban hari jadi juru parkir di sisi selatan makam, tak mampu menjawab keluhan istrinya. Menghapus lelehan air mata di pipi sang istri menjadi satu-satunya hal yang dapat ia lakukan. Ia sendiri sedang bingung. Pikirannya berkecamuk dengan hebat. Ia yang selama ini bergantung hidup pada ramainya pengunjung makam, tak tahu harus berbuat apa setelah raibnya makam secara tiba-tiba.
“Pikirkanlah sesuatu Pakne. Carilah sebuah solusi untuk mengatasi masalah ini.” Kembali istrinya menumpahkan keluhan.
“Tapi apa yang bisa aku perbuat Bune, keahlianku hanyalah memarkir kendaraan pengunjung,” sahutnya pasrah tanpa berani menatap wajah istrinya yang masih berurai air mata.
Saeni pilih mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Banyaknya warga yang kehilangan pendapatan sedikit meringankan beban pikirannya. Paling tidak ia merasa tak sedang sendirian dalam menghadapi masalah yang super berat ini.
“Ya Allah, apa yang sebenanrnya sedang terjadi atas makam Bung Karno ini?” batin Saeni menghiba.
Namun tentu saja pertanyaannya itu tak pernah mendapat jawaban seperti yang ia mau. Tanah area makam yang mendadak kering kerontang terasa seolah sedang mencemooh dirinya dan semua orang yang dibanjiri nestapa itu. Deretan pohon bunga Kamboja yang semula ada di sisi utara makam yang biasanya setia memberikan kesejukan, kini menyisakan hamparan tanah kosong berhias rumput berwarna coklat yang mati kekeringan.
Pandangan sayu Saeni terhenti pada sosok lelaki tua yang mengenakan baju lurik dan celana kombor hitam. Lelaki tua itu berdiri agak jauh dari kerumunan seraya mengusap-usap udeng yang menghiasi kepalanya.
“Mbah Sentul,” gumam Saeni lirih. Bahkan nyaris tak terdengar.
Serta merta timbul satu pemikiran positip di permukaan benak Saeni.
****
Di hari ketiga semenjak hilangnya Makam Bung Karno secara misterius itu, kondisi warga di sekitar makam masih terlihat berkabung. Deretan lapak pedagang souvenir belum ada satu pun yang buka. Semua masih tertutup rapat seperti tertutupnya pintu rejeki yang didamba. Begitu pun deretan rumah yang menyediakan jasa parkir kendaraan, semua tertutup rapat seakan tiada lagi denyut kehidupan. Hanya nampak satu-dua orang yang berdiri di depan lapak terkunci sembari memandang bekas area makam dengan tatapan kosong.
Dari hasil rembug warga selama dua hari ini, diperoleh kata sepakat bahwa mereka hari ini akan mendatangi kantor dewan guna meminta solusi atas permasalahan yang telah mengakar dalam hati. Saeni ketiban sampur sebagai juru bicara yang harus menyampaikan uneg-uneg keresahan warga yang kehilangan sumber pendapatan akibat raibnya makam Bung Karno di hadapan para anggota dewan yang dulu mereka dukung pencalonannya.
Misi mulia itu dijalankan Saeni dengan mulus. Dengan suara baritone yang jelas dan tegas, Saeni sukses menyuarakan aspirasi warga yang jadi akar atas hilangnya salah satu icon yang membuat Blitar kawentar. Sayang pihak dewan belum berani mengambil satu tindakan seperti yang warga harapkan. Dengan alasan harus bersidang dahulu sebelum membuat satu kebijakan, dewan meminta warga untuk pulang dan bersabar sementara waktu.
“Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu semua. Kami para wakil rakyat juga merasa sangat kehilangan dan sangat bersedih atas hilangnya makam Bung Karno secara misterius itu. Sebagai akar kawentar dari kota Blitar tentu ketidakberadaan makam itu akan mempengaruhi perputaran roda ekonomi dari sector pariwisata. Bukan hanya kalian yang kehilangan pendapatan tapi pemerintah juga merasakannya. Namun perlu diketahui bahwa kinerja dewan memiliki prosedur yang harus dilalui sebelum mengambil suatu kebijakan. Jadi berilah kami waktu untuk bersidang dulu guna menentukan tindakan yang tepat guna bagi semua warga. Sekarang silakan Bapak-Ibu pulang dan bersabar dulu menunggu hasil sidang yang akan secepatnya kami sampaikan,” kata Ketua Dewan.
Tak ada suatu hal yang warga lakukan selain melangkah lunglai meninggalkan kantor dewan dengan keluh-kesah yang semakin memanjang. Hati memang bisa saja bersabar tapi kebutuhan perut kian mengejar.
Saeni dan istrinya semakin gusar. Jabang bayi yang menghuni perut semakin membesar dan mendekati waktu keluar. Sementara uang yang mereka sisihkan dari hasil berjualan selama ini, kian menipis untuk menutupi kebutuhan beberapa hari ini. Padahal uang itu sedianya untuk biaya melahirkan.
Seperti angin kering yang bertiup menggoyangkan hamparan rumput kerontang di area bekas makam, pikiran Saeni kian terombang-ambing oleh ketidakpastian. Keyakinannya untuk bertahan hidup serasa hampir goyah. Hingga muncul penyesalannya, mengapa dirinya tidak ikut sirna saja bersama raibnya makam Bung Karno yang menyisakan kepedihan.
Saeni sendiri heran bagaimana ia mampu berbicara begitu lantang di dalam kantor dewan tadi siang. Padahal sekali pun ia belum pernah belajar berpidato di depan orang. Entah kekuatan dan keberanian darimana yang membuatnya mampu melakukan tindakan besar itu. Mungkinkah aura Bung Karno sebagai Singa Podium telah menitis pada dirinya?
Akh, mustahil! Makam Bung Karno sebagai akar kawentar kota Blitar kini telah lenyap. Tak mungkin arwah Bung Karno hinggap pada tubuh kotor seperti dirinya. Tanpa sadar Saeni menggeleng-gelengkan kepala di depan pintu rumahnya yang lengang.
****
Huff! Saeni menghela napas panjang sambil mengusap perutnya yang keroncongan. Kesedihan mendera dadanya saat ia tatap sejumlah souvenir yang mulai berdebu di lapak istrinya yang tertutup rapat. Ia tak tahu lag hendak dikemanakan semua dagangan itu. Padahal sebagian dagangan itu adalah milik para pengrajin yang sudah ia pesan dan harus dibayar secara berkala. Sementara sejak raibnya makam Bung Karno, belum ada yang terjual sama sekali.
Dalam kebuntuan pikirannya Saeni tak habis mengerti mengapa makam Sang Penyambung Lidah Rakyat yang selama ini jadi magnet pendatang rejeki tiba-tiba hilang tanpa diketahui di mana rimbanya. Salah dan dosa apa yang telah dilakukan warga sekitar sehingga makam Bung Karno moksa layaknya Syodanco Supriyadi. Ia yakin pasti ada factor penyebab di balik musibah ini. Arwah Bung Karno tak mungkin tega menyaksikan masyarakatnya menderita.
Dari buku-buku sejarah yang pernah dibacanya, Bung Karno adalah sosok yang dekat dengan rakyat. Seluruh hidupnya dihabiskan untuk berjuang memerdekan rakyat dan mengabdi untuk kepentingan rakyat. Bahkan setelah wafat, makamnya masih mampu mendatangkan rejeki bagi masyarakat. Pengunjung dan peziarah yang tak pernah sepi adalah bukti nyata betapa Beliau masih jadi Penyambung Lidah Rakyat secara nyata.
“Pakne, sampai kapan kondisi mengenaskan ini harus kita jalani? Uang dari mana yang akan kita berikan pada para pengrajin souvenir bila sewaktu-waktu mereka datang meminta upahnya?” Suara sang istri membuyarkan kecamuk yang bersarang di benak Saeni.
“Entahlah, Bune. Aku sendiri juga bingung. Otakku terasa buntu,” sahut Saeni tanpa berpaling dari deretan souvenir yang diselimuti debu kering.
“Apa ndak sebaiknya Pakne tanyakan pada orang pintar begitu.”
“Maksudmu, dukun?”
“Ya semacam itu, Pakne. Siapa tahu ada yang bisa ngasih jalan keluar.”
“Tapi siapa ya Bune kira-kira orang pintar yang mumpuni?” Kali ini Saeni bertanya seraya menatap wajah istrinya dengan lekat.
Oh! Ada rasa iba yang memenuhi rongga dada Saeni. Belum genap seminggu kondisi susah melanda, wajah istrinya terlihat semakin menua. Kiranya beban pikiran yang teramat berat telah menggerogoti jiwa istrinya yang sedang hamil tua. Mungkin dua atau tiga hari lagi jabang bayinya akan segera menghirup udara kotor di dunia.
“Bagaimana kalau tanya ke Mbah Sentul, Pakne?” usul istrinya setelah berdiam diri beberapa saat.
“Mbah Sentul?” ulang Saeni.
Sang istri mengangguk pelan.
“Ya, ya, di hari lenyapnya makam Bung Karno itu sebenarnya aku sudah kepikiran akan hal itu. Tapi pikiran itu lenyap ketika aku didaulat warga untuk jadi juru bicara di kantor dewan. Untung sekarang kau ingatkan, Bune.”
“Kalau begitu bergegaslah temui dia, Pakne,” dorong istrinya.
“Ya, aku pasti akan segera menemuinya Bune. Jadi sekarang aku harus mencari kembang telon dan ubo rampe lainnya sebagai syarat.”
“Ya cepatlah Pakne, mumpung masih pagi.”
“Baik Bune, aku berangkat. Doakan membawa hasil baik, ya.”
“Tentu Pakne. Doaku menyertaimu.”
Saeni melangkah pergi, meninggalkan istrinya yang memanjatkan doa terbaik walau hanya terucap dalam hati.
****
Adzan Ashar baru saja berkumandang saat Saeni menghadap Mbah Sentul di pendopo rumah Joglo-nya. Belum sempat Saeni mengutarakan maksud kedatangannya, lelaki tua itu sudah pula menyambutnya dengan pernyataan yang membuatnya tercengang.
“Saeni, Sampeyan datang ke sini pasti hendak menanyakan perihal raibnya makam Bung Karno kan? Sampeyan dan warga lain yang selama ini bergantung hidup pada keramaian pengunjung makam pasti bertanya-tanya ada apa di balik semua peristiwa ini?”
“Iya, Mbah.” Saeni mengangguk sopan.
“Sekarang lebih baik Sampeyan pulang saja, nggak ada yang bisa Sampeyan perbuat di rumah ini.”
“Mak … maksudnya Mbah?”
“Nanti malam kumpulkan semua warga di bekas area makam. Di bawah bulan purnama nanti akan aku jelentrehkan sebab-musabab raibnya makam Bung Karno yang misterius ini,” ujar Mbah Sentul seraya memilin jenggotnya yang sudah memutih semua.
“Baik, Mbah.”
“Satu hal lagi ….”
“Apa Mbah?”
“Sampai di rumah sebungkus bunga telon yang kau bawa itu, kau rendamlah di dalam sebuah degan ijo yang dipotong bagian bawahnya. Jangan lupa tetesi dengan munyak Japaron tiga kali.”
Hah! Keyakinan Saeni untuk mendapat solusi semakin menjadi. Lagi-lagi Mbah Sentul mampu membeberkan kebenaran yang belum sempat Saeni katakan. Tak salah kiranya jika warga sekitar begitu menyegani sesepuh ini.
“Nanti tepat jam tujuh, Sampeyan harus berangkat duluan ke bekas area makam Bung Karno. Taburkanlah bunga dan air degan ijo itu ke atas gundukan tanah yang paling tinggi sambil berputar tujuh kali,” lanjut Mbah Sentul.
“Baik, Mbah. Terima kasih.”
“Ya, sekarang Sampeyan pulanglah.”
Tanpa menyahut, Saeni berdiri dengan membawa serta sebungkus kembang telon yang belum sempat ditunjukkannya pada Mbah Sentul. Sebotol kecil minyak Japaron juga masih utuh di saku celananya. Sambil membungkuk santun, Saeni menjabat tangan sesepuh itu.
Ada secercah ketenangan batin yang mulai merayap di dinding hati Saeni. Keyakinan akan mendapatkan solusi atas masalah ruwet yang sedang terjadi, membuat langkah Saeni terasa ringan ketika meninggalkan halaman rumah Joglo itu.
Mbah Sentul menatap kepergian Saeni dengan pandangan penuh arti. Wangi bunga melati bercampur dengan aroma dupa mengiringi langkah Mbah Sentul beranjak ke kamar semedinya.