HARI PERNIKAHAN SEORANG MANTAN
Oleh : Heru Patria
Fairus baru saja sampai di depan pintu ruang kerjanya ketika Wigati sudah menghadangnya di ambang pintu dengan senyum paling manis. Bibirnya yang memerah tanpa sapuan lipstick menyambut kedatangan Fairus dengan simpatik.
“Kau dapat undangan, aku taruh di meja kerjamu,” kata gadis itu seraya mengibaskan rambutnya yang hitam terurai.
Sejenak Fairus terkesima. Ia bergeming menatap gadis di hadapannya dengan mata tak berkedip seolah tak mendengar apa yang baru diucapkan.
“Waduh, orang diajak bicara kok malah bengong? Woy, sadar woy! Kesambet baru tahu rasa kau!” Wigati berseru sambil menggerak-gerakkan telapak tangannya di depan wajah Fairus yang masih ternganga.
Akh! Fairus terkesiap. Sejak diputuskan pacarnya tiga bulan yang lalu, sikap Fairus sering jadi tak menentu.
“Eee, kau tadi bilang apa?” tanyanya seolah baru terjaga dari mimpi yang indah.
“Makanya punya telinga itu dipakai, jangan disimpan dalam tas,” seloroh Wigati sambil cengengesan.
“Akh, kau ini!”
“Itu … kau dapat undangan, aku taruh di meja kerjamu.”
“Undangan?”
Wigati mengangguk.
“Rapat ke mana? Hari ini?”
“Bukan undangan rapat, tapi undangan pernikahan.”
“Dari siapa?”
“Baca aja sendiri,” sahut Wigati sambil berlalu menuju ruang sebelah yang merupakan tempat kerjanya sebagai seorang pegawai administrasi.
Huh! Fairus mendesah untuk sekadar mengurangi rasa gundah yang mulai menjamah. Tak kuasa menahan rasa penasaran tentang siapa yang hendak nikah, ia bergegas menghampiri meja kerjanya. Benar saja! Di atas tumpukan map yang berisi aneka berkas, ada sebuah amplop merah muda berhiaskan gambar sepasang merpati yang sedang mengapit sekeping hati.
Bah! Perasaan Fairus semakin tak karuan. Tiap kali mendapat undangan pernikahan, jiwanya selalu meronta. Hatinya menggelinjang tak tenang hingga membuatnya merasa tak nyaman. Seharusnya tiga bulan yang lalu ia sudah menikah kalau saja Purwitasari tak mengkhianati ketulusannya. Perempuan sialan itu justru memilih pergi dengan duda beranak dua yang lebih mapan dari dirinya.
Dengan perasaan yang membuncah, ia buka plastik pembungkus undangan itu dengan serampangan. Lantas ia bentang undangan itu di atas meja. Perlahan ia cermati sepasang nama yang tertera sebagai calon pengantinnya.
Duh Gusti …! Bagai ikan terlempar ke darat, Fairus megap-megap. Sepasang nama yang hendak nikah dan mengundangnya itu tak lain dan tak bukan adalah Purwitasari dan duda beranak dua yang paling ia benci.
Seketika semangat kerja yang tadi membara di dalam dada Fairus, langsung padam dan raib entah ke mana.
***
“Wigati, menurutmu aku harus bagaimana soal undangan itu?” tanya Fairus saat mereka makan siang di kantin pada jam istirahat kantor.
“Bagaimana apanya?” Wigati balik bertanya sambil menyantap soto babad kesukaannya.
“Sebaiknya aku datang ke pesta pernikahan itu apa enggak?”
“Kalau kau masih merasa menjadi seorang laki-laki ya datang saja. Tunjukkan bahwa kau tak terpengaruh apa-apa setelah kepergiannya. Tunjukkan bahwa kau kuat!” Kali ini Wigati berkata sambil menonjolkan otot bisep di kedua lengannya yang tak seberapa berisi.
“Gitu, ya?” Ada keraguan di balik suara Fairus.
“Bahkan kalau perlu ya, kau datanglah bersama seorang gadis yang lebih cantik dari dia. Bersikaplah seolah dia adalah kekasihmu, ya meskipun dia bukan apa-apamu. Sekadar pura-pura gitu.”
“Tapi siapa gadis yang mau pergi ke kondangan bersamaku itu, Wigati?” Fairus bertanya sambil menatap gadis di hadapannya itu lekat-lekat.
“Ya, itu terserah kau sajalah.”
“Bagaimana kalau denganmu saja?”
Hek! Seketika Wigati tersedak mendengar pertanyaan itu. Sesendok soto babad yang tadinya terasa begitu nikmat, serta merta terasa seret untuk ditelan. Tanpa pikir panjang ia langsung meneguk segelas teh manis yang disodorkan Fairus hingga tinggal setengahnya saja.
“Apa kau bilang? Aku pergi ke kondangan itu bersamamu?” Wigati melotot seakan tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya dari bibir Fairus.
“Ya,” sahut Fairus lengkap dengan anggukan.
“Tap-tapi aku ….”
Belum sempat Wigati meneruskan kalimat, Fairus telah memeotongnya dengan cepat.
“Sebagai imbalannya aku traktir kau makan siang selama seminggu, terhitung mulai hari ini juga.”
Wigati terdiam sesaat. Sebagai anak rantau yang tinggal di tempat kost dapat traktiran makan siang selama seminggu tentu sangatlah berarti bagi keamanan isi kantongnya. Sepertinya tidak ada alasan baginya untuk menolak. Namun belum sempat ia menyatakan kesanggupannya, Fairus sudah kembali bersuara.
“Lagian kau kan juga pasti akan hadir ke sana? Jadi apa salahnya kalau kita sekalian pura-pura sebagai sepasang kekasih. Kau mau, ya?” desak Fairus dengan wajah nelangsa.
Wigati masih diam. Ia sengaja mengulur kesediaannya untuk menaikkan harga tawaran dari Fairus. Sikap diam Wigati membuat Fairus semakin gerah hatinya.
“Bagaimana Wigati, kau mau kan menolongku?”
Akh! Akhirnya tak tega juga hati Wigati melihat wajah dan suara Fairus yang semakin memelas. Ia pun mengangguk pelan sampai ujung poninya bergoyang ringan.
“Terima kasih, Wigati.” Fairus tersenyum girang.
“Ya sudah, aku duluan. Jangan lupa sesuai kesepakatan bayar makan siangku mulai hari ini, ya,” ujar Wigati langsung melangkah pergi meninggalkan kantin yang mulai bertambah ramai.
“Tentu saja.”
Saat sosok Wigati sudah tak terlihat lagi dari pandangan, Fairus bangkit dari duduknya dan melangkah perlahan menuju tempat pembayaran. Namun, alangkah terkejutnya ia saat merogoh isi kantongnya. Dompet hitam yang biasanya selalu bersarang di situ, tahu-tahu tidak ada di tempatnya.
Dengan menahan rasa malu yang tak terkira, Fairus terpaksa meninggalkan KTP sebagai jaminan sambil berjanji akan membayarnya saat pulang kerja nanti. Untunglah Wigati sudah tidak ada bersamanya.
***
Ah, dasar cinta! Walaupun Fairus sudah menggandeng mesra tangan Wigati saat datang di kondangan itu, tapi tetap saja dadanya berdebar hebat saat memberi ucapan selamat pada mempelai yang sedang duduk berdua di kursi pelaminan. Sungguh baru kali ini Fairus menyadari kalau berpura-pura bahagia itu ternyata jauh lebih menyakitkan dari pada sakit beneran.
Akibatnya, semua menu hidangan yang bercita rasa tinggi itu jadi tak terasa lezat lagi akibat perasaan Fairus yang tertekan sekali. Bahkan lagu-lagu merdu dari penyanyi orgen tunggal yang ada di atas panggung, justru semakin membuat hati Fairus semakin terkungkung. Terlebih lagi saat beberapa orang sempat berbisik-bisik sambil memandang ke arahnya. Fairus jadi semakin tersiksa.
“Wigati, cepat habiskan makananmu. Kita harus cepat pergi dari tempat terkutuk ini. Aku sudah gak tahan lagi,” bisik Fairus pada Wigati yang masih menikmati semangkok rawon.
Wigati yang masih sibuk mengunyah, hanya bisa mengangguk pasrah. Akibat tarikan Fairus, sisa isi mangkoknya sampai nyaris tumpah.
Dengan langkah tergesa-gesa dan muka merah menahan malu yang tak terkira, Fairus mendahului pergi. Dengan tergesa pula ia merogoh kantong celananya. Tanpa melihat ia ambil sebuah amplop yang sudah ia persiapkan dari rumah, kemudian ia masukkan ke kotak salam tempel yang tersedia.
Wigati menyusulnya sampai terengah-engah.
***
Dalam perjalanan pulang, lagi-lagi aral datang menghadang. Masih sampai setengah perjalanan, laju motornya dihentikan oleh sepasukan polisi yang sedang melakukan operasi Zebra di sebuah tikungan. Merasa bahwa perlengkapan surat motor dan SIM sudah lengkap, dengan penuh percaya diri Fairus berhenti tepat di hadapan seorang polisi yang pangkatnya paling tinggi.
“Selamat sore, Pak. Maaf mengganggu perjalanannya sebentar. Tolong tunjukkan SIM dan STNK-nya untuk kami periksa,” kata polisi itu dengan suara berwibawa.
“Siap, Pak. Ini, silakan.” Fairus mengulurkan sebuah amplop yang ia rogoh dari saku celananya.
Namun, betapa terkejutnya polisi itu saat membuka amplop yang diberikan Fairus. Amplop itu tak berisi SIM dan STNK yang ia minta. Isinya hanya selembar uang ratusan ribu.
“Oo, jadi Anda mau coba-coba nyogok polisi, begitu? Jangan harap, ya! Anda bisa terancam pidana karena hal ini!” Bapak polisi terlihat sangat murka.
“Tap-tapi Pak, saya sungguh ….!” Dengan rasa bingung yang tak terkira, Fairus masih merabai semua kantong baju dan celananya. Tapi tetap saja barang yang dicari tidak diketemukannya.
“Jangan banyak alasan! Anda harus ditilang karena tidak memiliki SIM dan STNK. Untuk itu motor ini harus kami bawa ke kantor polisi. Silakan diambil jika surat-suratnya sudah ada. Sekaligus membayar denda pelanggarannya.”
Fairus hanya bisa tertunduk dengan wajah nelangsa saat motornya diangkut ke mobil petugas. Sekarang bukan hanya dirinya yang malu, Wigati juga merasakan hal yang sama. Pipi gadis itu memerah karena mendapat tatapan sinis dari pengguna jalan lain yang menyaksikan kejadian itu.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Wigati menghentikan sebuah taxi yang segera meluncur meninggalkan Fairus yang masih berdiri bengong tanpa tahu apa yang harus diperbuat.
Setelah duduk termangu di depan sebuah toko yang sedang tutup hampir selama 15 menit, barulah Fairus menyadari kalau ia telah salah memasukkan amplop di kondangan tadi. Perasaan malu dan tertekan membuatnya bertindak ceroboh. Amplop berisi uang salam tempel yang seharusnya ia masukkan ke kotak pengantin, ada di saku sebelah kiri. Namun, akibat tergesa-gesa justru amplop di kantong kanan yang ia masukkan tadi. Dan itu berarti, SIM dan STNK-nya yang kini ada di kotak tempat kondangan!
Ya, ampun! Betapa memalukannya jika ia harus kembali ke tempat kondangan untuk mengambil amplop itu. Sedangkan kalau ia tidak mengambilnya, ia tidak akan bisa berangkat kerja setiap harinya. Benar-benar seperti makan buah simalakama. Tak sanggup rasanya ia mempermalukan diri di rumah seorang gadis yang pernah mempermalukan rasa cintanya.
Huh! Fairus jadi bingung sendiri. Tak mungkin rasanya ia tidak masuk kerja dengan alasan motornya disita polisi. Mau bolos satu atau dua hari, ia takut di PHK dengan tidak hormat. Sedangkan sekarang mencari kerja tidaklah mudah.
Oh! Faurus mengacak-acak sendiri rambutnya dengan perasaan kesal. Mengapa nasib baik seolah tak mau berpihak padanya. Mengapa keadaan buruk selalu saja datang untuk memperbesar kemaluannya. Eh, maksudnya rasa malunya.
Setelah ditimbang-timbang tanpa menggunakan alat timbang yang sesungguhnya, Fairus pun nekad memanggil seorang tukang becak untuk mengantarnya kembali ke tempat kondangan tadi. Seberapa pun rasa malu yang akan ia tanggung nanti, setidaknya ia tidak akan kehilangan pekerjaan sekaligus masih punya kesempatan untuk minta maaf pada Wigati. Gadis malang yang terseret rasa malu akibat tindakannya yang grusa-grusu.
Seiring kayuhan kaki tukang becak yang bersemangat, hati dan perasaan Fairus justru semakin pepat.
***
“Loh, kau kan tadi sudah ke sini bersama gadis berbaju merah, kok sekarang kembali ke sini? Belum bisa move on dari Sari, ya?” goda seorang perempuan berpakaian adat Jawa yang menjadi penerima tamu. Spontan semua orang yang ada di sekitar tempat itu pada tertawa ngakak.
Tak terkecuali pengantin yang masih duduk di kursi pelaminan. Mereka jadi ikut cekikikan saat melihat ke arah Fairus yang sedang dipermalukan atas keteledorannya sendiri. Muka Fairus sampai pucat pasi.
“Buk-bukan begitu maksud saya,” ujar Fairus tanpa berani mendongak.
“Kalau bukan begitu, kenapa kau kembali ke mari?”
“Sa-saya ha-hanya sa-salah mem-mem-memasukkan amplop.” Suara Fairus jadi terbata-bata dan terdengar gemetar.
“Maksudnya?”
“Amplop yang tadi saya masukkan ke kotak itu bukan yang berisi uang, tapi isinya SIM dan STNK saya. Jad-jadi bolehkah saya menukarnya?” Fairus bertanya penuh harap.
“Tentu saja, boleh. Tapi silakan minta ijin dulu pada pengantinnya, ya?”
“Apa …?” desah Fairus lemas. Bagai kerupuk kesiram air kuah, tubuh Fairus seketika lemah tanpa gairah.
Lagi-lagi Fairus merasa wajahnya sedang dikuliti. Bagaimana mungkin ia harus menghadap kedua pengantin untuk meminta ijin membuka kotak tempat amplop atas keletedoran yang telah ia perbuat. Tak urung, wajah Fairus bertambah pucat. Persis seperti mayat. Andai saja malaikat pencabut nyawa saat itu sedang lewat, Fairus pasti akan memanggilnya agar mencabut nyawa dari badannya agar selesai segala urusan yang selalu mempermalukannya. Tapi harapannya itu sia-sia adanya.
Bukan sosok malaikat yang sedang ia hadapi, tapi justru orang-orang yang sedang tertawa mencemooh akibat kelalainnya. Ingin rasanya Fairus pingsan di tempat, tapi Tuhan tidak memberinya mandat. Mungkin Tuhan sengaja menciptakan dirinya untuk menjadi makhluk yang paling memalukan di hadapan seorang mantan. Sungguh celaka!
“Sudah, buka saja kotak amplopnya. Jangan tunggu sampai dia kencing di celana,” ujar Purwitasari yang tahu-tahu sudah berdiri di hadapan Fairus tanpa ia sadari.
Seorang lelaki segera membuka dan mencari amplop yang dimaksud Fairus. Perlu waktu yang agak lama juga untuk menemukannya, sebab setelah kepulangan Fairus tamu undangan yang datang semakin banyak. Jadi amplop itu tertimbun di tumpukan amplop yang lainnya.
Hal itu berarti, semakin lama pula Fairus harus menahan malu yang mencoreng mukanya. Lelaki muda itu sampai mandi keringat dingin saking malunya. Untunglah sebelum kejadian kencing di celana benar-benar terjadi, amplop itu sudah ketemu dan langsung diberikan padanya.
“Ini amplop yang seharusnya saya masukkan ke kotak itu.” Fairus mengulurkan amplop lusuh kepada lelaki yang mengembalikan amplopnya.
Belum sempat lelaki itu menerima amplop pemberian Fairus, sang pengantin perempuan sudah mendahului merebutnya sambil berkata.
“Enggak usah! Ambil saja uangmu. Pakai untuk ongkos pulang naik becak itu.”
Duh! Seketika langit serasa runtuh menimpa pundak ringkihnya. Meski kata yang diucapkan pengantin wanita itu cukup pelan, tapi terasa seperti sebuah tamparan telak ke wajah Fairus yang sedang terjerembab ke jurang rasa malu yang paling dalam. Rasa malu yang tidak akan pernah bisa terlupakan sepanjang hidup.
Hari pernikahan seorang mantan itu membuat Fairus menyadari bahwa yang namanya pacaran adalah hal sia-sia yang lebih banyak mendatangkan kerugian. Lebih baik menunggu jodoh yang disediakan Tuhan sambil mengisi waktu dengan hal-hal positif yang berguna untuk banyak orang.
Radar Kediri, 30 Juni 2024