My Psychopaths CEO
Bagian 5 : Teka-Teki (2)
By Ika SR
“Lalu bagaimana dengan senjata pembunuhnya?”
“Itu dia yang membuatku semakin bingung. Senjata pembunuhnya sama sekali tak bisa ditemukan. Saat aku sampai di sana. Hanya ada darah menggenang dan sedikit air. Menurut identifikasi sementaraku. Senjata yang digunakan untuk membunuh korban adalah senjata yang berbentuk seperti pisau daging yang ramping. Tapi, jika dilihat lebih saksama. Tusukan di area paha, dan area lainnya memiliki panjang yang agak berbeda. Seperti menyusut. Entahlah... Selain itu tali yang sepertinya digunakan untuk mengikat korban juga tidak bisa ditemukan.”
Mendengar hal itu. Lana seperti mendapatkan sebuah wangsit yang bisa jadi merupakan solusi dari semua teka-teki ini. “Kamu tadi bilang darahnya bercampur dengan air?”
Reno mengangguk sembari menghabiskan isi gelasnya. “Aneh, kan?”
“Ren, kamu tahu apa yang ada di pikiranku? Sebuah senjata yang tidak meninggalkan jejak. Bahkan jika kau meninggalkannya di TKP sekali pun?”
Reno memandang Lana dengan ekspresi terkejut yang luar biasa. Seperti orang yang baru saja mendapatkan sebuah jackpot. “Pisau Es?” ucap mereka bersamaan.
“Huh? Iya, pisau es. Genangan air itu pasti dari pisau es yang mencair. Woah! Aku sampai merinding mengetahui hal ini. Psikopat itu benar-benar mengerikan,” ujar Reno sembari memegang kedua tangannya untuk merasakan bulu-bulu tangannya yang berdiri.
“Pembunuhnya orang yang pintar,” tambah Lana.
“Ya, kalau senjata yang digunakan untuk membunuhnya tidak ditemukan. Maka, ia tidak bisa dituduh sebagai pembunuh. Aku harus menangkapnya, dia berbahaya. Dia bermain-main dengan rasa sakit dan nyawa seseorang.”
Lana mengangguk.
Reno mengambil sebuah berkas lain dari dalam tasnya. “Kau ingat Jimmy?”
Lana berpikir sejenak, “Jimmy? Mahasiswa semester 14 yang tewas minum racun di sebuah bar?”
Reno mengangguk dengan mantap. “Ya, pria yang tewas 3 bulan yang lalu. Kau mau lihat sesuatu?” Reno mengeluarkan laptopnya dan menunjukkan sebuah video pada Lana.
“Kau lihat Jimmy?”
Lana mengamati video itu dengan saksama. “Ya, pria yang duduk sendirian itu?”
Reno mengangguk. “Entah mengapa. Aku yakin kedua kasus ini berhubungan.”
Lana memandang wajah Reno. “Kau yakin? Apa pelakunya sama? Bukankah Jimmy bunuh diri karena frustasi. Bagaimana pun ia sudah jadi mahasiwa selama 7 tahun. Dan sebentar lagi ia akan di drop out jika tidak lulus semester ini?”
“Ya, oleh karena itu banyak yang memercayainya sebagai kasus bunuh diri. Tapi, bukan itu alasan kematiannya. Aku sudah menyelidikinya lebih lanjut. Jimmy, anak itu sudah lulus sidang skripsi dan sebentar lagi akan diwisuda. Ia berusaha keras untuk itu. Bagaimana mungkin ia bunuh diri?”
“Bagaimana dengan keluarganya?” tanya Lana.
“Sama dengan kasus sopir taksi itu. Keluarganya mengatakan kalau Jimmy pasti tewas bunuh diri dan mereka menolak otopsi.”
“Hey? bagaimana mungkin keluarganya melakukan hal itu?” tanya Lana yang merasa heran.
“Entahlah?”
Mereka menonton video berdurasi 2 jam itu lagi.
“Karena keluarganya menolak otopsi. Aku hanya bisa menyimpulkan kalau Jimmy meminum bir yang mengandung racun sianida. Dilihat dari tanda-tandanya. Tapi, video ini membuatku semakin bingung. Kamu lihat, sejak menit pertama. Jimmy sudah meminum birnya tapi tak terjadi apa pun. Baru di menit ke-70 an ada tanda-tanda kalau ia mengalami keracunan dan kejang-kejang. Beberapa menit setelahnya, ia meninggal di tempat.”
Reno mempercepat videonya sampai di waktu-waktu yang dikatakannya.
“Aneh? Ren, bukankah harusnya ia sudah keracunan di menit pertama begitu ia meminum birnya. Sianida dapat mengakibatkan kematian sel, paling tidak itu akan membunuh Jimmy setelah 15 menit. Kenapa efeknya muncul setelah lebih dari satu jam kemudian?”
“Ya, itulah yang membuatku bingung.”
Sebuah ide terbesit di benak Lana lagi. “Tunggu? Jangan-jangan racun itu bukan terletak dalam bir yang diminum Jimmy? Kamu bisa memperbesar gambarnya?”
“Entahlah, resolusi video ini tidak terlalu bagus karena diambil dari cctv dalam bar.”
Mereka mengamati gambar itu lagi. Kali ini dengan lebih saksama. “Lan? Kamu lihat? Ada jeda waktu saat Jimmy meminum birnya. Dia hanya menengggak minumannya sebanyak 3 kali. Di menit pertama, menit ke-10 lalu menit ke 70. Ya, tepat ke menit 70 ia meminum birnya lagi. Lalu ia keracunan.”
Lana mengusap dagunya. “Jika bir itu beracun. Apa bedanya ia minum di menit pertama atau 70. Bukankah sama saja. Ia seharusnya sudah keracunan sejak awal. Mengapa harus menunggu begitu lama sampai tenggakan ketiga?”
“Argh! Entahlah!” kata Reno frustasi. Ia menggigit kuku jarinya dengan refleks. Seperti kebiasaanya sehari-hari. Lana langsung menurunan tangan Reno. “Ren? Kebiasaanmu kambuh deh.”
Reno hanya bisa cengegesan mendengar ucapan Lana.
Fokus mereka teralih lagi pada layar komputer. Tapi, Lana mendapatkan sebuah tiitik terang. “Ren? Kamu lihat di menit awal itu. Jimmy meminum bir dengan gelas ukuran besar. Ada sebongkah es besar juga di dalam gelasnya.”
Seolah menangkap apa yang dimaksud Lana. Reno mengulang video itu lagi. Di menit-menit yang penting. Terutama saat es itu mencair. Mata Reno membelakak lebar begitu ia mengetahui sesuatu. Yang bahkan lebih mengerikan ketimbang sebelumnya.
“Kenapa?” tanya Lana yang keheranan.
Reno menoleh pada Lana. “Es?”
“Ha?”
“Racun itu ada dalam esnya.”
Lana tidak langsung menjawab. Ia merasakan kulitnya meremang. Begitu pula dengan Reno.
“Kamu Lihat Lan? Jimmy baik-baik saja saat meminum bir itu sebelumnya. Tapi, satu jam kemudian, balok es yang mengandung racun itu mencair dan begitu Jimmy meminumnya. Ia tewas.”
“Dan jika pembunuhnya adalah orang yang sama. Ia pasti berada di lokasi kejadian untuk melihat korbannya mati perlahan.”
Lana mengangguk. “Ya, itu masuk akal.”
Reno mengacak-acak rambutnya. “Lagi-lagi es. Kau tahu apa yang membuatku semakin curiga?”
“Apa?”
“Setelah kematian korban. Baik itu keluarga sopir taksi mau pun keluarga Jimmy. Mereka yang dulunnya hidup pas-pasan tiba-tiba kehidupan mereka berubah. Mereka seperti kaya mendadak. Aku yakin pembunuh itu memberikan sejumlah uang kepada keluarga korban. Psikopat itu pastilah orang yang kaya, pintar dan berkuasa. Kau juga harus hati-hati, Lan.”
Lana mengangguk.
Lana mengamati wajah Reno yang nampak kusam dan layu. “Ren?”
“Hem?”
“Kamu sebaiknya istirahat. Ada lingkaran hitam besar yang hampir menutupi sekeliling matamu.”
Reno tersenyum, ia mengusap wajahnya.
“Ya, kau benar. Aku mau pulang dulu ya. kalau kau butuh apa pun cari aku. Kita kan tetangga sekarang.”
“Ya, aku tahu. Kamu kan yang membantuku mencarikan tempat ini.”
Reno tersenyum sembari merapikan dokumen miliknya. Berbicara dengan Lana membuatnya tenang sekarang. Beberapa masalah mulai terpecahkan. Dan ia bisa tidur malam ini. setelah 4 hari begadang.
Ia mengelus rambut Lana dan meninggalkan gadis itu sendirian.
“Hati-hati.”
Reno mengangguk dan melambaikan tangannya pada Lana.
Lana menutup pintunya. Ia menolah pada jam dinding. Sudah pukul 9 malam. Sebaiknya ia melanjutkan kegiatannya berbenah besok saja. Ini sudah malam. Sebaiknya ia tidur.