Loading...
Logo TinLit
Read Story - Love 90 Days
MENU
About Us  

Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam lewat ketika akhirnya Iago mengajak Ara meninggalkan rumah tersebut. Keduanya letih. Wajah mereka tak lagi semringah, sorot mata mereka pun meredup. Terlalu banyak yang terjadi, pun terlalu banyak hal yang membebani pikiran.

“Lo mau makan apa?” tanya Iago sembari membuka pintu mobilnya.

Ara mengangkat bahu. Terus terang perutnya keroncongan, tapi situasi saat ini membuat nafsu makannya menghilang.

“Gue bertanggung jawab buat kasih lo makan,” sambung Iago.

“Gue bukan kucing lo, Go!”

Iago meringis.

“Sini, biar gue aja yang nyetir. Kepala lo kelihatan kayak mau meledak. Gue nggak mau ambil risiko—”

“Lo bisa nyetir?” sambar Iago, tak bermaksud meledek.

Ara berjalan memutari mobil, menghampiri Iago yang masih memasang ekspresi terkejut. “Gue emang hampir setiap hari nebeng mobil Vika, tapi bukan berarti gue nggak bisa nyetir,” ucapnya, kemudian mengambil kunci mobil dari tangan Iago.

“Oh....” Iago manggut-manggut. “Kalau gitu gue percayakan nyawa gue sama lo.”

Apa yang terjadi belakangan ini memang terasa bertubi-tubi, datang tanpa peringatan seperti air bah. Bahkan terkadang Ara sampai bingung, mana dulu yang harus dia prioritaskan. Ara sadar bahwa dirinya harus segera menemukan ‘cowok kekurangan cinta’ tersebut, tapi di sisi lain dia juga tidak bisa menutup mata terhadap masalah Iago. Ara sudah terlibat terlalu jauh.

“Go, lo tahu nggak, akhir-akhir ini setiap kali gue bangun, gue selalu bertanya-tanya, apa lagi yang akan terjadi nanti...” oceh Ara, memecah keheningannya dengan Iago. “Dan setiap kali gue mau tidur, gue juga bertanya-tanya, kenapa hari ini gue harus mengalami hal ini.”

Iago tak langsung merespons. Cowok itu menatap lurus ke depan, entah apa yang menjadi fokusnya. “Mungkin emang sebaiknya gue nggak pernah hadir dalam kehidupan lo. Kalau gue nggak pernah minta tolong sama lo, lo nggak akan terlibat ke dalam masalah gue yang rumit.”

“Mungkin,” balas Ara tak bersemangat. Logika Ara sependapat dengan apa yang dikatakan Iago, akan tetapi hatinya menentang.

Sejak Iago hadir dalam hari-hari Ara, sejak itu pula hari-harinya berjalan seperti sebuah roller coaster. Penuh dengan hal baru yang mengejutkan. Namun tak dapat dimungkiri jika kehadiran Iago juga membuat hari-hari Ara tak lagi terasa monoton. Selalu ada pertengkaraan di antara mereka yang menyisakan sebuah PR untuk dipikirkan, dipertimbangkan masak-masak, yang tak jarang membuat logika dan hati Ara berdebat sendiri.

“Ra,” panggil Iago dengan suara serak, “gue sayang sama lo.”

Nyaris saja Ara menginjak pedal rem karena terkejut. Untungnya Ara bisa menguasai diri. Ara menarik napas kuat-kuat dan mengembuskannya perlahan.

“Gue nggak bercanda. Gue nggak nge-prank lo. Gue juga nggak sedang berpura-pura,” lanjut Iago. “Gue tahu lo nggak mungkin punya perasaan yang sama ke gue, karena gue bukan cowok yang lo cari. Gue bukan cowok yang bisa bikin lo jatuh cinta,” Iago menunduk, menarik sebelah sudut bibirnya, “gue ini hanya cowok yang bisanya cuma bikin hidup lo kacau. Gue adalah serangga yang ngerusak taman bunga lo. Sori ya, Ra.... Sori kalau selama ini gue egois. Gue cuma mikirin diri gue sendiri, gue cuma ... nggak mau pisah sama Mami.”

Setiap kata yang terlontar dari mulut Iago tertancap begitu dalam di benak Ara. Iago memang sudah menceritakan banyak hal, tapi baru kali ini ucapan Iago terasa begitu jujur. Tanpa sadar, butiran air mata tumpah dari sudut mata. Ara tak mengerti mengapa dirinya sampai menitikkan air mata hanya karena mendengar kata-kata Iago. Hati Ara mendadak terasa begitu ngilu.

“Ini bukan pertama kalinya lo bilang sayang ke gue,” lirih Ara.

Iago mengangguk. “Tapi ini akan jadi yang terakhir kalinya gue bilang sayang ke lo. Mengungkapkan sayang sama orang yang nggak mungkin punya perasaan yang sama itu rasanya sakit banget, Ra.”

Lagi, hati Ara bertambah ngilu. Sampai-sampai menarik napas pun terasa sulit. Dada Ara sesak.

“Tapi tenang aja, ke depannya lo tetep jadi teman baik gue kok,” kata Iago lagi.

Ara mengangguk. Dalam diamnya, hati Ara sebenarnya teriris. Jelas-jelas memiliki perasaan yang sama dengan Iago adalah suatu hal yang mustahil, tapi kenapa rasanya bisa sesakit ini?

“Lo nggak keberatan jadi temen baik gue, kan?”

Ara menggeleng. “Gue nggak keberatan.”

Iago menoleh, menatap Ara yang mencoba berkonsentrasi pada jalanan. “Ra, untuk terakhir kalinya gue mau bilang kalau gue sayang sama lo. Gue nggak berharap lo menerima atau membalas perasaan gue, gue cuma pengin lo tahu aja apa yang gue rasakan. Lo nggak perlu simpan semua ungkapan sayang gue. Lupain aja. Biar besok-besok kalau lo udah ketemu sama cowok itu, ungkapan sayang gue nggak akan jadi penghalang di antara kalian.”

Air mata Ara meluber. Tak ada isakan yang terdengar. Suasana di dalam mobil begitu tenang. Mungkin Ara bisa menelan isakannya, akan tetapi tetap saja hatinya terasa begitu sakit hingga Ara tidak mampu menahan air matanya.

“Jangan nangis.” Iago mengusap lelehan air mata di pipi Ara dengan ibu jarinya. “Gue jadi ngerasa semakin egois.”

Ara tersenyum canggung. “Iya. Lo egois banget karena udah bikin temen baik lo nangis.”

“Nggak akan gue ulangi. Gue nggak akan bikin temen baik gue nangis,” janji Iago yang malah membuat air mata Ara mengalir deras.

*

 

Seperti yang sudah Ara perkirakan, dia pasti akan menghadapi interogasi dari Vika dan Monic. Padahal saat ini suasana hati Ara tengah diliputi awan abu-abu tebal. Malamnya dengan Iago tidak berakhir baik. Mereka tidak jadi makan malam, bahkan Ara turun dari mobil Iago dengan mata sembab.

“Gue kemarin cabut sama Iago,” jelas Ara, bahkan sebelum keduanya bertanya.

Vika melotot. “Gue nggak salah denger?”

“Nggak. Gue nemenin dia ke suatu tempat.”

Monic mengguncang tubuh Ara. “Ra, lo beneran nggak ada apa-apa sama Iago? Kok gue ngerasa gimana gitu sama hubungan kalian....”

“Jangan mikir kejauhan,” sahut Ara.

“Lo jadi nolongin dia?” Kali ini Vika yang bertanya.

Ara mengangguk. “Seperti skenario awal. Dia bantuin gue, gue nolongin dia. Udah. Selesai.”

“Lo yakin semuanya bakal sesederhana itu?” Monic masih tak percaya.

Ara mengangguk lagi, meski dalam hatinya sendiri juga tidak yakin. Karena setelah skenario itu usai, dia pun bertanya-tanya apa yang akan terjadi pada dirinya dan Iago.

“Lo yakin setelah itu semuanya bakalan baik-baik aja?”

Ara mengangguk untuk yang ketiga kalinya. “Gue sama Iago akan tetap berteman baik,” tegas Ara, mengabaikan hatinya yang terombang-ambing di atas kebimbangan.

Tak berhenti sampai di sini, dari kejauhan Hendra terlihat berlarian kecil menghampiri Ara. Dalam sesaknya, Ara berusaha keras menarik napas untuk menenangkan diri. Seperti apa sebenarnya perasaan Ara pada Iago, itu tak boleh memengaruhinya. Ara harus bisa terlihat baik-baik saja.

“Lo kemarin ke mana sama Iago?” tanya Hendra. Tak seperti biasanya yang terlihat santai, kali ini ada aura tidak suka yang terpancar dari Hendra.

“Gue ada urusan sama Iago,” jawab Ara seadanya.

“Tapi lo kemarin udah janji bakalan jalan sama gue.” Tatapan mata Hendra menuntut penjelasan lebih.

“Gue minta maaf. Tapi emang ada hal yang harus gue beresin sama Iago.” Ara tidak ingin menjelaskan apa yang terjadi kemarin. Hendra tidak perlu tahu. “Sebagai permintaan maaf, gimana kalau hari Minggu besok kita jalan? Kayaknya ada film horor baru yang menarik.”

Mata Hendra berbinar. Tanpa meminta izin, dia menarik Ara menjauh dari Vika dan Monic. “Kali ini lo nggak bakal ingkar lagi, kan?”

“Gue janji.”

Senyum di wajah Hendra mengembang. “Oke. Nanti kita ngobrol lagi ya....”

Ara mengangguk.

“Tapi sebelumnya, ada yang mau gue tanyain sama lo,” ucap Hendra hati-hati.

“Tanya aja.”

“Lo sama Iago beneran nggak ada hubungan apa-apa, kan?”

Ara mengulas sebuah senyum tipis. “Gue sama Iago udah nggak musuhan lagi. Kami berdua sekarang jadi teman baik.”

“Tapi—”

“Dan setelah satu lagi urusan gue sama Iago selesai, mungkin aja status teman baik itu berubah jadi teman biasa atau bahkan orang asing.”

Hendra tak bertanya apa-apa lagi. Melalui dari sorot matanya, Ara bisa melihat ada banyak pertanyaan yang saat ini tengah menjejali kepala Hendra.

“Hubungan gue sama Iago emang nggak biasa. Rumit banget kalau dijelaskan, ntar salah-salah lo malah ikut pusing. Jadi gue pikir, lo cukup percaya aja sama gue. Setelah semuanya selesai, gue sama Iago akan kembali ke titik awal.”

Walau sebenarnya ragu, Hendra memilih untuk mengangguk. Hendra sadar, terkadang memang ada hal yang tidak perlu diketahui sekalipun kita menuntut untuk tahu.

“Kalau gitu, gue ke kelas dulu ya.”

“Oke.”

Ara bersedekap, menatap punggung Hendra yang semakin menjauh dengan perasaan tak menentu. Perasaan Ara pada Hendra selama ini sudah jelas. Hendra menyukai Ara, sementara Ara berusaha menghargai perasaan Hendra dengan tidak menyakitinya. Lantas bagaimana perasaan Ara pada Iago? Dimulai dari membenci, prihatin, dan sekarang malah terasa ngilu.

Ara menggeleng lemah, semesta benar-benar sedang mempermainkannya.

*

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
PALETTE
524      285     3     
Fantasy
Sinting, gila, gesrek adalah definisi yang tepat untuk kelas 11 IPA A. Rasa-rasanya mereka emang cuma punya satu brain-cell yang dipake bareng-bareng. Gak masalah, toh Moana juga cuek dan ga pedulian orangnya. Lantas bagaimana kalau sebenarnya mereka adalah sekumpulan penyihir yang hobinya ikutan misi bunuh diri? Gak masalah, toh Moana ga akan terlibat dalam setiap misi bodoh itu. Iya...
Angkara
1070      636     1     
Inspirational
Semua orang memanggilnya Angka. Kalkulator berjalan yang benci matematika. Angka. Dibanding berkutat dengan kembaran namanya, dia lebih menyukai frasa. Kahlil Gibran adalah idolanya.
WALK AMONG THE DARK
799      441     8     
Short Story
Lidya mungkin terlihat seperti gadis remaja biasa. Berangkat ke sekolah dan pulang ketika senja adalah kegiatannya sehari-hari. Namun ternyata, sebuah pekerjaan kelam menantinya ketika malam tiba. Ialah salah satu pelaku dari kasus menghilangnya para anak yatim di kota X. Sembari menahan rasa sakit dan perasaan berdosa, ia mulai tenggelam ke dalam kegelapan, menunggu sebuah cahaya datang untuk me...
Sweet Like Bubble Gum
691      478     2     
Romance
Selama ini Sora tahu Rai bermain kucing-kucingan dengannya. Dengan Sora sebagai si pengejar dan Rai yang bersembunyi. Alasan Rai yang menjauh dan bersembunyi darinya adalah teka-teki yang harus segera dia pecahkan. Mendekati Rai adalah misinya agar Rai membuka mulut dan memberikan alasan mengapa bersembunyi dan menjauhinya. Rai begitu percaya diri bahwa dirinya tak akan pernah tertangkap oleh ...
Cinta tanpa kepercayaan
506      382     0     
Short Story
ketika sebuah kepercayaan tak lagi ada dalam hubungan antara dua orang saling yang mencintai
14 Days
948      663     1     
Romance
disaat Han Ni sudah menemukan tempat yang tepat untuk mengakhiri hidupnya setelah sekian kali gagal dalam percobaan bunuh dirinya, seorang pemuda bernama Kim Ji Woon datang merusak mood-nya untuk mati. sejak saat pertemuannya dengan Ji Woon hidup Han Ni berubah secara perlahan. cara pandangannya tentang arti kehidupan juga berubah. Tak ada lagi Han Han Ni yang selalu tertindas oleh kejamnya d...
Laci Meja
486      326     0     
Short Story
Bunga yang terletak di laci meja Cella akhir-akhir ini membuatnya resah. Dia pun mulai bertekad untuk mencari tahu siapa pelakunya dan untuk apa bunga ini dikirim. Apa ini....teror?
SILENT
5406      1626     3     
Romance
Tidak semua kata di dunia perlu diucapkan. Pun tidak semua makna di dalamnya perlu tersampaikan. Maka, aku memilih diam dalam semua keramaian ini. Bagiku, diamku, menyelamatkan hatiku, menyelamatkan jiwaku, menyelamatkan persahabatanku dan menyelamatkan aku dari semua hal yang tidak mungkin bisa aku hadapi sendirian, tanpa mereka. Namun satu hal, aku tidak bisa menyelamatkan rasa ini... M...
Dosa Pelangi
634      375     1     
Short Story
"Kita bisa menjadi pelangi di jalan-jalan sempit dan terpencil. Tetapi rumah, sekolah, kantor, dan tempat ibadah hanya mengerti dua warna dan kita telah ditakdirkan untuk menjadi salah satunya."
Puisi, Untuk...
19889      3247     10     
Romance
Ini untuk siapa saja yang merasakan hal serupa. Merasakan hal yang tidak bisa diucapkan hanya bisa ditulis.