Ara gelisah. Sejak tadi dia sudah berulang kali mengubah posisi tidurnya. Keberadaan Iago yang duduk di dekat meja belajarnya sembari membaca buku tak ubahnya seperti malaikat pencabut nyawa yang tengah menanti waktu untuk merenggut hidupnya kapan saja. Yah, meski terlihat membaca, Ara tahu cowok itu tak pernah luput memperhatikannya.
Terus terang saja, akur dengan Iago malah membuat atmosfer yang menaungi mereka semakin aneh.
“Go, mending kalau lo nggak mau balik ke sekolah, lo pulang aja deh. Gue nggak nyaman,” ujar Ara.
Iago menutup buku yang dibacanya, lalu beralih memandang Ara. “Nanti. Kalau temen-temen lo udah dateng,” balas Iago.
Ara mendesah pelan, rasanya sudah kehabisan akal. Tak ada ide lagi untuk membuat Iago angkat kaki dari rumahnya.
“Raaa.... Gimana keadaan lo sekarang?!” Tiba-tiba suara cempreng itu menggedor-gedor telinga Ara, tak lama kemudian muncul si pemilik suara yang langsung menerobos masuk ke kamar Ara. “Ups!” Langkah cepat Vika tiba-tiba terhenti saat melihat ada orang lain di kamar Ara.
“Ternyata bener, yang di bawah tadi itu mobilnya Iago,” ujar Monic yang muncul setelah Vika.
Lalu di belakang Monic masih ada Dion, Brian, dan Hendra. Suasana mendadak canggung tatkala Hendra mendapati Iago berada di kamar Ara, dia jelas merasa tidak nyaman, tetapi mengingat jika antara dirinya dan Ara masih belum ada hubungan yang jelas, Hendra memilih untuk mengabaikan rasa cemburunya.
Iago menarik napas dan berdiri dari kursi yang didudukinya. “Berhubung temen-temen lo udah dateng, gue cabut dulu,” ucapnya pada Ara. Iago lalu menghampiri Ara, menepuk-nepuk pelan puncak kepala cewek itu. “Lo juga banyak-banyak istirahat. Kalau ada apa-apa gue stand by buat lo.”
“Lo bukan bodyguard gue, Go,” balas Ara cepat.
Namun Iago hanya menganggapinya dengan seulas senyum datar. “Buku lo gue pinjem dulu.”
“Oke. Jangan ditekuk. Jangan dicoret-coret.”
Iago mengangguk. “Semuanya, gue cabut dulu ya,” pamit Iago, kemudian pergi.
Sepeninggal Iago, atmosfer canggung masih menaungi, membuat mereka semua yang biasanya akrab tiba-tiba kehilangan kata. Bahkan Dion yang paling berisik juga mendadak terdiam.
Ara memandangi satu per satu temannya, mengamati raut wajah mereka yang terlihat menyimpan segudang pertanyaan. “Gue sama Iago nggak ada hubungan apa-apa, kami berdua juga nggak ngapa-ngapain meski cuma berdua di kamar,” terang Ara, berupaya memecah atmosfer canggung yang memenuhi kamarnya. “Iago nganter gue pulang dan,” Ara mengangkat bahunya, “ngerawat gue. Ya gitulah pokoknya. Kalian nggak perlu mikir macem-macem.”
Monic menghampiri Ara, duduk di tepian tempat tidur. “Ra, kayaknya lo sendiri yang over thinking deh.”
Vika mengangguk. Setuju. “Malahan sikap lo yang panik ngejelasin gini bikin kita mikir kalau ada something antara lo dan Iago.”
“Nggaklah!” elak Ara. “Gue sama Iago cuma sedang akur aja.”
“Oh....” Monic manggut-manggut, seulas senyum jahil jelas terpampang di wajahnya. “Bagus deh kalau lo udah akur sama Iago. Capek ngelihat kalian berdua kayak Tom & Jerry.”
“Udah. Udah. Cukup bahas gue sama Iago,” kata Ara. “Eh, Vi, lo tadi disidang di ruang BK?”
“Hm.” Vika mengedikkan bahu sok cuek. “Yah, mau gimana lagi? Gue emosi ngelihat Kak Lisa yang seolah mengintimidasi lo. Tuh cewek kayak nggak ada puasnya deh. Padahal kan lo udah keluar dari tim cheer, kenapa dia masih juga cari gara-gara sama lo?”
“Oh, soal itu....” Kalimat Ara macet. Vika dan yang lainnya tidak tahu jika alasan Kak Lisa mengintimidasinya sama sekali tidak ada hubungannya dengan tim cheer, melainkan soal Iago. Ara yakin selain Daniel, tak ada yang tahu hubungan Iago dan Kak Lisa. “Kayaknya Kak Lisa nggak terima karena ada kabar yang beredar kalau gue keluar dari tim cheer karena dia.” Ara terpaksa berbohong. Menceritakan apa yang sebenarnya sama saja dengan memperumit masalah yang sebenarnya sudah sangat rumit ini. Selain itu, Ara tak ingin teman-temannya terlibat lebih jauh.
“Kenyataannya emang gitu, kan?” sinis Vika.
“Vi....” Monic mencubit lengan Vika, memberinya kode agar tidak membahas masalah ini lebih jauh.
Vika mendesah panjang, berusaha membuang emosi yang menyesaki dadanya. “Lo udah makan?” tanyanya, banting setir mengalihkan topik pembicaraan.
Ara menggeleng.
“Jadi Iago nggak ngasih lo makan?” Kali ini Dion yang menanggapi.
“Ngasih gue makan?” Ara nyengir. “Lo kira gue kucingnya Iago?!”
“Kalau gitu lo mau makan apa? Biar gue beliin,” tanya Hendra.
Ara tertegun. Menghadapi cowok yang super duper baik membuat Ara jadi salah tingkah.
“Gue nggak laper,” jawab Ara. “Gue pengin jus jambu biji.”
“Oke!” seru Monic. “Gue, Vika, Dion, sama Brian beli jusnya dulu.” Lalu Monic menunjuk Hendra. “Lo tetep di sini. Jagain Ara.”
Ara memutar mata. “Gue bukan anak TK kali, Mon. Gue bisa urus diri gue sendiri.”
“Eits! Jangan protes! Badan itu lagi kurang sehat, harus ada yang jagain.”
“Iya! Iya!” Ara akhirnya menurut, walau sebetulnya dia sendiri tahu maksud Monic.
“Gue segera balik kok. Bye, Ara....”
Berdua saja dengan Hendra selalu saja seperti ini. Jika menemukan topik pembicaraan yang pas, rasanya begitu santai. Ssbaliknya, ketika berada di titik beku, suasana otomatis berubah menjadi ganjil.
“Gimana keadaan lo?” tanya Hendra, memulai pembicaraan.
“Udah mendingan,” jawab Ara. “Makasih ya udah mau jengukin gue.”
Hendra terkekeh. “Lo itu ngomong apa sih? Kesannya sungkan banget sama gue.”
“Kadang-kadang lo emang bikin gue sungkan.”
“Kenapa?”
“Nggak tahu. Aura lo kadang bikin gue segan.”
“Gue harus gimana biar lo nggak segan sama gue?”
“Hah?” Ara terperangah, tidak menangkap ke mana arah pembicaraan Hendra.
“Lo ... kayaknya udah akur sama Iago, ya?” tanya Hendra, tiba-tiba saja mengalihkan topik pembicaraan.
Ara mendesah panjang. “Bisa dibilang iya. Tapi gue sama Iago nggak berniat akur selamanya kok. Setelah urusan gue sama dia kelar, semua bakalan balik ke titik awal. Ke titik di mana gue dan Iago belum saling kenal.”
Hendra tak langsung merespons. Dia masih menantikan kelanjutan kalimat Ara. Namun yang ditunggu-tunggu tampaknya tidak berniat untuk melanjutkan kalimatnya.
“Ngelihat lo sama Iago akur, gue ngerasa iri,” ucap Hendra.
“Iri?” Ara mengernyit. “Bagian mana yang bikin lo iri?”
Hendra menarik napas dalam-dalam, lantas menoleh ke arah lain sebelum akhirnya menatap Ara lurus-lurus. “Lo sama Iago bisa dibilang baru aja kenal, tapi di antara kalian berdua kayak nggak ada jarak. Sedangkan sama gue yang lo udah lumayan lama kenal, gue ngerasa kalau kita berdua nggak pernah bener-bener deket.”
Ara terdiam. Dalam hati sebenarnya dia tidak mengelak kalimat Hendra. Ara bukannya tidak tahu penyebabnya, hanya saja jika dikatakan, dia tahu itu akan menyakiti Hendra.
Siapa pun tahu—termasuk Ara sendiri—bila Hendra menyukainya, menginginkan hubungan lebih dari sekadar teman dekat. Sementara Ara berusaha keras untuk menahan hubungan mereka untuk tetap berada di zona pertemanan. Selain tidak memiliki perasaan yang sama dengan Hendra, Ara tidak ingin hubungan pertemanan yang sudah dibangun dengan sangat baik menjadi rusak hanya karena mereka bertengkar.
“Entah sedang musuhan, saling benci, atau akur, lo sama Iago itu terkesan lepas. Ekspresi lo saat itu adalah perasaan lo yang sebenarnya,” lanjut Hendra.
“Oh ya?”
Hendra mengangguk. “Lo ... suka sama dia?”
“Hah?” Ara melotot. “Gue masih waras, Hen! Otak gue masih ada di kepala, belum melorot ke mata kaki. Yang ada, Iago adalah cowok yang paling nggak mungkin gue sukai.”
Perlahan, garis senyum muncul di wajah Hendra. Membuat wajah cowok itu terlihat begitu semringah. “Berarti gue masih ada kesempatan dong?”
“Kalau disuruh milih antara lo dan Iago, gue jelas-jelas lebih milih lo,” balas Ara berseloroh, tanpa bermaksud memberikan harapan pada Hendra. “Udah. Udah. Jadi aneh banget kalau bahas beginian.”
“Terus lo maunya bahas apa?”
“Gue mau tidur bentar. Nanti kalau yang lain udah balik, lo bangunin gue ya.”
Hendra mengangguk. “Oke.”
Ara menarik selimut dan memiringkan badannya, memunggungi Hendra. Dalam diamnya Ara berpikir, Hendra memang terlebih dahulu datang mengisi hari-harinya, tapi kedatangan Iago membuat segalanya berubah. Bukan berubah menjadi indah, melainkan menjadi kacau. Yah, Ara dan Iago selalu bertengkar.
Tiba-tiba sebuah pertanyaan terbersit di benak Ara, jika saja dirinya dan Iago akur, akankah hari-harinya akan berubah menjadi indah?
*