Bel pergantian jam pelajaran berbunyi, diikuti dengan desahan frustrasi dari sebagian besar murid penghuni kelas 11 IPS-3. Bu Murni, selaku guru akuntansi membereskan mejanya seraya memberikan perintah, “Murid paling belakang berdiri dan mengumpulkan lembar jawaban.”
Dengan lesu Ara berdiri dan berjalan untuk mengambil satu per satu lembar jawaban milik teman-temannya. Pikirannya sudah terkuras untuk ulangan tadi, sementara stok tenaganya juga kian menipis. Perutnya sakit, badannya juga sedikit meriang. Rasanya benar-benar seperti sedang sekarat.
“Ra, lo nggak apa-apa?” tanya Monic setelah Ara kembali ke kursinya. “Lo makin pucat. Kalau lo nggak enak badan, mendingan lo izin aja deh.”
Ara menggeleng pelan. “Gue nggak apa-apa, Mon. Dua hari kemarin gue kurang tidur, palingan masuk angin dikit.”
Vika yang duduk di depan Monic membalikkan badannya. “Tapi setelah ini kan pelajaran olahraga, jangan bilang lo nekat ikut juga.”
Ara mengedikkan bahu. “Gue nggak mau bolos. Takut istirahat di kelas sendirian.”
Vika memutar mata. “Kan bisa di UKS.”
“Nggak! Nggak! Gue nggak mau di UKS!”
“Kenapa? Takut ada hantunya?!” Dion ikut-ikutan nimbrung.
Monic melempar penghapus ke arah Dion dan mengenai tepat di kening cowok itu. “Kenapa malah ditakut-takutin sih? Lo nggak lihat sepupu lo udah nyaris pingsan gini?”
“Aduh ... gue nggak apa-apa,” beri tahu Ara, berusaha meyakinkan. “Siapa tahu badan gue jadi lebih enakan setelah olahraga nanti.”
Vika, Monic, dan Dion saling melempar pandang. Mereka bertiga jelas keberatan, tapi jika Ara sudah memutuskan demikian, mereka bisa apa?
*
Seperti biasa, pelajaran olahraga dimulai dengan pemanasan berlari kecil mengelilingi lapangan basket sebanyak sepuluh kali. Teriknya sinar matahari, serta kondisi tubuh yang tidak bersahabat membuat Ara kepayahan. Ara tetap berusaha untuk berlari walau perutnya semakin mulas, pun dengan tenaganya yang nyaris mencapai titik darah penghabisan.
“Arabella!” teriak seseorang dari pinggir lapangan.
Ara berhenti. Dia mengenali suara itu....
“Bisa kita bicara sebentar?” lanjut suara itu.
Dengan berat hati, Ara akhirnya menoleh. Kak Lisa berdiri di pinggir lapangan sembari bersedekap dengan angkuh. Sebelum malam itu, Ara masih bisa mengendalikan kebenciannya terhadap cewek itu. Kali ini, semua amarahnya seakan meluap-luap.
“Apa yang lo mau dari gue?” sembur Ara tanpa perlu repot berbasa-basi.
“Nggak ada.” Kak Lisa menggeleng pelan, kemudian memamerkan senyum angkuhnya. “Oh, gue cuma minta lo sedikit tahu diri aja.”
“Kalau yang lo maksud itu soal Iago, gue kasihan sama lo,” balas Ara tak kalah tajam. Kali ini dia benar-benar sudah tidak bisa menahannya. “Lo sampai ngemis-ngemis minta balikan sama Iago. Lo juga nyuruh Daniel ngelakuin hal nggak bermutu ke gue. Lo itu bener-bener kasihan.”
“Eh! Mulut lo nggak punya sopan santun sama sekali, ya?!” bentak Kak Lisa emosi. Cewek itu mendorong tubuh Ara hingga jatuh terduduk di tepi lapangan basket. “Harusnya gue dulu patahin kaki lo sekalian.”
“Kenapa? Lo nyesel karena kaki gue nggak patah?”
“Lo—”
“Kalau lo emang mau sama Iago, ambil aja! Gue nggak butuh dia!”
Teman-teman sekelas Ara yang melihat kejadian itu otomatis berkerumun mengelilingi mereka berdua, termasuk Pak Heri, guru olahraga itu juga ingin mengetahui apa yang diributkan oleh muridnya.
“Dasar cewek gila!” Vika yang emosi langsung menarik rambut Kak Lisa. “Lo apain Ara, hah?! Ara salah apa sama lo? Lo bikin dia cacat dan dia diem aja, berusaha buat nggak ngebenci lo.... Sekarang mau lo apa lagi?!”
Monic, Dion, Pak Heri, serta teman-teman sekelas Ara yang lain berusaha melerai. Namun yang terjadi malah Vika semakin marah dan Kak Lisa terus saja melawan. Ara berusaha berdiri, tetapi perutnya terasa mulas dan pandangannya mulai berkunang-kunang. Sesaat sebelum tubuh Ara limbung, sepasang tangan dengan sigap menangkapnya.
Iago. Entah bagaimana caranya cowok itu tiba-tiba sudah berada di belakang Ara. Saat pandangan mata mereka berserobok, Ara melemparkan tatapan penuh tanda tanya pada Iago.
“Gue lagi jalan ke lab kimia,” kata Iago yang seolah tahu pertanyaan tak terucap Ara.
Rupanya di belakang Iago, Hendra dan Brian turut berlarian kecil menyusulnya. “Lo kenapa, Ra? Wajah lo pucat banget,” ujar Hendra khawatir. “Gue anterin lo ke UKS ya.”
Belum sempat Ara membuka mulut, Iago sudah mendahuluinya. “Nggak usah. Biar gue aja yang bawa Ara ke UKS. Ini salah gue, jadi gue yang wajib bertanggung jawab.” Setelah mengatakan itu, Iago mengangkat tubuh Ara, menggendongnya menuju ke ruang UKS, meninggalkan Hendra yang masih bingung dengan situasi ini.
Saat melewati Kak Lisa dan Vika yang masih saling menarik rambut, Iago sama sekali tak menoleh, fokusnya saat ini adalah membawa Ara ke UKS sehingga bisa mendapatkan pertolongan pertama.
Hendra yang masih belum beranjak dari tempatnya berdiri hanya bisa terdiam.
“Kayaknya saingan lo nambah, Bro,” kata Brian seraya menepuk-nepuk pundak Hendra.
Hendra menarik masing-masing sudut bibirnya, membentuk segaris senyum datar di wajahnya. “Mungkin,” responsnya singkat. Hendra kemudian menunduk, memunguti buku-buku Iago yang tadi dilemparkan begitu saja karena bergegas menghampiri Ara.
Terus terang respons singkat Hendra ini membuat Brian mengerutkan kening. “Tapi berhubung lo orang baik, mungkin Ara akan lebih memilih lo ketimbang Iago,” kata Brian, membesarkan hati temannya itu.
“Amin.” Hendra tersenyum tulus. Namun setulus apa pun Hendra, dia tetap saja ingin berada di posisi Iago saat ini. “Yuk, jalan!” Hendra dan Brian lanjut berjalan menuju lab kimia, mengabaikan Kak Lisa dan Vika yang sudah berhasil dilerai oleh Pak Heri.
*
Di ruang UKS, Iago membaringkan Ara di ranjang. “Lo diem di sini dulu, jangan ke mana-mana. Gue cari Bu Paula dulu,” perintahnya, lalu bergegas keluar ruangan untuk mencari penjaga UKS yang kebetulan tidak berada di tempat.
Ara memejamkan mata, saat ini dirinya sudah tidak sanggup berpikir, rasa sakit di perutnya kian menjadi. Diam-diam, sebenarnya Ara berterima kasih kepada Iago yang telah menggendongnya kemari. Cowok itu rupanya cukup tanggap dengan keadaan Ara.
Tak berselang lama, Iago kembali bersama Bu Paula. Penjaga UKS itu langsung memeriksa keadaan Ara. “Kamu demam?” tanyanya setelah menyentuh kening Ara.
“Agak masuk angin,” jawab Ara. “Um, eh, saya sakit perut, Bu,” lanjutnya, agak-agak memberi kode pada Bu Paula.
“Sakit perut?” Bu Paula menyipit. “Diare?”
Ara menggeleng. “Itu....”
“Oh, kalau gitu mending kamu izin pulang terus istirahat di rumah. Jangan lupa pakai kompres air hangat,” balas Bu Paula yang langsung mengerti apa yang dimaksud oleh Ara.
Ara mengangguk.
“Saya buatkan surat izin dulu, nanti diserahkan ke ruang piket.”
“Baik, Bu. Terima kasih.”
Pandangan Ara yang semula terarah pada Bu Paula, perlahan bergeser pada Iago yang sedari tadi berdiri di sampingnya. Tatapan cowok itu masih tajam dan tenang seperti biasanya, tetapi siapa pun yang melihatnya pasti tahu jika dia tengah khawatir.
“Gue anterin lo pulang,” ujar Iago dengan nada yang memerintah, tak ingin Ara membantahnya.
Merasa tak punya pilihan lain dan tak ingin berdebat, Ara hanya bisa mengangguk. Sebab saat ini dia jelas tidak bisa meminta tolong pada Vika yang pastinya sedang disidang di ruang BK. Mau memesan ojek online pun rasanya enggan.
“Gue ambil dulu tas gue yang masih di kelas,” lirih Ara.
“Gue yang ambilin. Lo tunggu di sini,” sahut Iago cepat.
“Eh—”
“Jangan bantah gue!” ketus Iago.
Ara diam. Membiarkan Iago pergi ke kelasnya untuk mengambil tas.
Saat ini, hati Ara mulai goyah. Kebencian yang tadi pagi masih utuh, kini entah sudah seperti apa bentuknya. Perhatian Iago telah meremukkan kebencian dalam hati Ara. Membuatnya berpikir untuk kembali berbaikan dengan Iago. Hanya saja di sisi lain, Ara juga tidak bisa mengabaikan kekacauan hidupnya yang timbul sejak kehadiran Iago.
Iago kembali dengan membawa tas milik Ara dan sebotol air mineral. “Lo minum dulu,” kata Iago seraya menyodorkan botol air mineral pada Ara.
“Makasih,” balas Ara, menerima botol yang disodorkan Iago padanya.
Hening.
Selama beberapa saat, tak ada yang bersuara. Ara dan Iago yang biasanya selalu adu mulut ketika bertemu, kini mendadak tak tahu apa yang harus dikatakan.
“Kalau lo udah agak mendingan, kita cabut,” ucap Iago setelah sempat kehilangan kata.
“Gue udah mendingan kok.”
“Gue bantu—”
“Eh, nggak usah!” tolak Ara. “Gue masih kuat jalan sendiri.”
Iago berkacak pinggang. Akan tetapi akhirnya dia membiarkan Ara sesuai dengan kemauannya.
Iago dan Ara meninggalkan ruang UKS, menyusuri koridor yang membawa mereka ke ruang piket untuk menyerahkan surat izin. Setelahnya mereka langsung ke tempat parkir untuk mengambil mobil Iago.
Ketika hendak masuk ke dalam mobil, Ara membuka tas dan mengeluarkan rok seragamnya.
“Lo mau ngapain?” tanya Iago.
“Celana olahraga gue kotor. Gue nggak mau jok mobil lo ikut-ikutan kotor,” jawab Ara.
“Oh....”
Ara meletakkan rok seragamnya di jok penumpang sebagai alas sebelum mendudukinya. Sementara Iago berdiri di samping mobil, menunggu dan memastikan Ara sudah dalam keadaan nyaman.
“Udah?” tanya Iago.
Ara mengangguk.
“Oke.” Iago yang hendak menutup pintu dicegah oleh Ara yang tiba-tiba menyambar tangannya.
“Go, makasih ya....”
Iago tersenyum tipis. Dan sebelum menarik tangannya dari Ara, dia bergumam, “Sama-sama.”
Mungkin ini hal yang tidak masuk akal, tapi hanya mendengar Ara berucap terima kasih kepadanya dengan tulus, hati Iago membuncah bahagia. Lantas ketika mengingat jika suatu hari nanti dirinya harus melepaskan Ara kepada cowok lain, hati Iago kembali menciut.
Iago rasa, sampai kapan pun dia akan merasa senang ketika mengingat ucapan terima kasih Ara.
*