Ara memejamkan mata, mencoba untuk berpikir cepat. Hatinya tak pernah salah, keganjilan yang dirasakannya kini menjelma nyata. Daniel belum mengatakan sepatah kata pun sejak mobil yang mereka tumpangi berhenti. Ara juga terlalu takut untuk bertanya, dia hanya melirik Daniel yang jemarinya tengah sibuk mengetik di layar ponsel.
“Turun!” perintah Daniel kasar. Padahal di perjalanan tadi sikapnya begitu manis, lantas kenapa sekarang mendadak berbalik?
Ara menggeleng.
“Turun!”
Ara diam saja.
Daniel mendengus. Cowok itu mematikan mesin mobil dan keluar dengan tergesa-gesa, kemudian membuka pintu di sisi Ara. “Lo harus turun sekarang!” Mata Daniel berkilat tajam.
“Gue nggak mau!”
Merasa kesabarannya kian menipis, Daniel menarik paksa lengan Ara hingga cewek itu nyaris terjatuh.
“Ada apa ini, Dan? Gue nggak ngerti.” Suara Ara terdengar putus asa.
“Sori,” Daniel menggeleng kecil, “gue nggak mau, tapi gue harus ngelakuin ini.” Setelah mengatakan itu, Daniel buru-buru masuk ke dalam mobil dan pergi, meninggalkan Ara yang masih kebingungan dalam kegelapan.
“Dan!” Ara berteriak, takut dan kebingungan, akan tetapi mobil yang dikemudikan Daniel malah bergerak semakin jauh.
Panas merebak di mata Ara. Dia tak tahu sekarang ada di mana, Ara benar-benar tidak mengenal daerah ini, yang bisa dilakukannya hanya berusaha menghubungi kedua sahabatnya untuk meminta bantuan. “Kenapa sinyalnya jelek banget sih?” Ara mulai menangis sebab tidak berhasil menghubungi kedua sahabatnya.
Tak lama kemudian, Ara melihat ada cahaya yang berasal dari lampu mobil. Disangkanya itu adalah mobil Daniel yang kembali untuknya, tapi rupanya pemikiran itu terlalu polos. Mobil hitam itu berhenti di hadapan Ara, lalu beberapa cowok berandalan turun dan langsung menyeretnya masuk ke dalam rumah kosong itu.
“Lepasin gue!” Ara meronta, tapi percuma. Kedua tangannya dicengkeram erat oleh salah seorang dari mereka.
“Tenang, pasti kami lepasin kok. Tapi nanti, kalau misi dari bos udah selesai.”
Bos?
“Bos? Maksud kalian Daniel?!”
“Lo nggak perlu tahu dan nggak usah banyak tanya. Ngerti?!” gertak cowok bertubuh kurus dengan tato kalajengking di leher, yang sepertinya merupakan pimpinan mereka.
Ara masih mengumpulkan keberanian untuk membuka suara ketika bajunya ditarik hingga robek, lalu salah seorang dari mereka mengeluarkan ponsel dan mengambil gambar Ara yang bagian atas tubuhnya sudah terekspos.
“Kita nggak bakal ngapa-ngapain lo asalkan lo mau nurut.”
Air mata Ara tumpah. “Nggak.... Jangan.... Tolong jangan....”
Namun percuma. Dari berteriak, memohon, hingga kini suara Ara nyaris habis, mereka sama sekali tak melepaskannya. Dalam ketidakberdayaan dan tangisnya yang semakin menjadi, Ara hanya bisa melihat kehancurannya sendiri.
*
Rumah lama gue. 7.00 pm.
Iago yang baru saja bangun tidur seketika terbelalak ketika membaca pesan WhatsApp yang dikirimkan oleh Daniel. Tanpa pikir panjang, dia langsung menelepon Daniel, sayangnya ponsel cowok itu tidak aktif. Pesan itu dikirimkan Daniel sekitar pukul enam dan sekarang pukul tujuh lewat lima belas menit.
Entah apa maksudnya, yang pasti pesan itu membuat perasaan Iago tidak tenang. Dengan segera Iago berganti baju dan menyambar kunci mobil. Segala hal yang berkaitan dengan Daniel selalu membuat hatinya tidak tenang.
Selama perjalanan, Iago terus-terusan bertanya, apa maksud pesan yang dikirimkan Daniel. Iago dan Daniel tidak pernah bertukar pesan jika itu hanya berbasa-basi, jadi ketika Daniel mengiriminya pesan, Iago yakin pasti ada sesuatu.
Mobil yang dikemudikan Iago berhenti. Iago mengetuk-ngetukkan telunjuknya pada setir mobil, sejenak dia merasa ragu. Seperti rumah kosong pada umumnya, tempat ini gelap dan sepi, hanya ada satu bohlam yang nyalanya sudah redup—belum lagi rumah tersebut terletak di lokasi yang tidak strategis. Iago meraih ponselnya dan kembali menghubungi Daniel. Lagi-lagi tidak aktif.
“Maksud lo sebenernya apa?!” rutuk Iago sembari meletakkan ponselnya pada jok kosong di sebelahnya.
Merasa dipermainkan, Iago memutuskan untuk pergi. Sesaat sebelum kakinya menginjak pedal gas, matanya menangkap ada yang berbeda. Pagar yang seharusnya dirantai dan tergembok, kini posisinya sedikit terbuka. Iago mengurungkan niatnya, kemudian turun dari mobil. Dengan mengendap-endap Iago masuk ke dalam dan mendapati sebuah mobil hitam terparkir di halamannya. Dan semakin Iago masuk ke dalam, lamat-lamat dia mendengar suara cewek sesenggukan yang berbaur dengan tawa dan bentakan.
Dipenuhi oleh rasa penasaran, Iago memberanikan diri membuka pintu depan. Tak ada siapa-siapa di ruangan tanpa perabotan itu. Kosong, tapi lampu menyala. Iago berjalan masuk ke bagian dalam rumah, dia terkejut ketika mendapati ada lima cowok dan seorang cewek.
“Eh, siapa lo?!” hardik cowok bertubuh gempal.
“Tolongin gue,” rintih cewek yang pakaian atasnya sudah koyak, rambut panjangnya awut-awutan menutupi mukanya. Kedua tangannya dibekuk ke belakang dan dipengangi erat-erat oleh cowok berbadan gempal yang menghardiknya tadi.
Iago langsung mengenali suara itu. “Ara?!”
Murka dalam diri Iago tidak terbendung lagi, akal sehat yang menyuruhnya mencari bantuan tak digubris. Yang ada dipikiran Iago saat ini hanyalah ingin segera merebut Ara dari berandal itu dan memeluknya. Dengan langkah lebar Iago menghampiri cowok yang memegangi Ara dan melayangkan tinju bertubi-tubi ke wajahnya. Melihat itu, otomatis teman-temannya segera maju dan memukuli Iago. Namun Iago tak peduli, dia membiarkan punggungnya dipukuli. Fokusnya saat ini adalah meraih tubuh Ara ke dalam dekapannya.
Iago berhasil mencekal bahu Ara dan menariknya. Dipeluknya tubuh Ara erat-erat agar cewek itu tenang.
“Go...” bisik Ara sembari sesenggukan.
“Gue di sini,” balas Iago meringis, menahan sakit akibat pukulan bertubi-tubi yang diterimanya.
Mengambil napas sekali, Iago akhirnya berteriak, “Siapa yang nyuruh kalian?!”
“Lo nggak perlu tahu!”
“Lo semua dibayar berapa?”
Tak ada yang menggubris.
“Gue bayar sepuluh kali lipat,” lanjut Iago.
Berandalan itu berhenti memukuli Iago.
“Asalkan lo semua kasih tahu gue siapa yang nyuruh kalian.”
“Oke, tapi awas aja kalau sampe lo bohong. Gue bakal incar cewek lo terus!”
Iago membuang napas, berusaha untuk tenang. “Siapa yang nyuruh kalian?”
“Lisa.”
Kedua tangan Iago bergerak menutup telinga Ara. Sayangnya terlambat, Ara terlanjur mendengarnya.
“Lisa...” desis Iago. Rupanya cewek itu serius dengan kata-katanya tempo hari. Lisa akan melakukan segala cara untuk menggagalkan rencana Iago yang berniat menjadikan Ara sebagai pacarnya.
“Go—”
“Sstt, lo nggak usah khawatir,” bisik Iago menenangkan Ara yang masih gemetar dalam dekapannya. Kemudian Iago melepas hoodie-nya dan memakaikannya pada Ara. “Lo diem di sini dulu, gue mau beresin ini sama mereka. Lo nggak usah takut,” Iago tersenyum sekilas, “ada gue di sini.”
Ara tak segera merespons, terlihat masih sangat shock. Jika saja dia peka, padahal hatinya sudah mengingatkan. Iago berjalan menghampiri salah seorang dari mereka, entah apa yang dibicarakan. Tak lama kemudian Iago kembali dengan membawa sebuah ponsel—ponsel yang digunakan untuk memotret Ara tadi.
Tubuh Ara yang sudah agak tenang kembali gemetar. Apa yang terjadi tadi adalah sesuatu yang tak sekali pun pernah terlintas di benaknya—bahkan dalam mimpi-mimpi buruknya.
“Gue udah beresin semuanya,” ucap Iago datar, lalu kembali mendekap Ara dan membawanya pergi.
*