Hari berlalu. Iago menepati janjinya. Cowok itu tak lagi mengejar-ngejar Ara, bahkan ketika mereka berpapasan di koridor sekolah atau di tempat parkir, Iago lebih memilih untuk memalingkan muka seolah enggan melihat Ara. Berulang kali Ara menepis perasaan yang diam-diam telah berhasil menyusupi hatinya, akan tetapi jika perasaan itu memang salah, kenapa hatinya resah setiap kali mendapati Iago tak lagi acuh padanya?
Ara melirik layar ponselnya. Hari-harinya sudah banyak terbuang sejak Iago ikut campur dalam kehidupannya. Andai saja Iago tidak pernah datang dan merecoki pencariannya.... Dan andai saja Ara tetap pada pendiriannya, mendekati satu per satu cowok yang pernah memiliki perasaan padanya.... Mungkin saja Ara sudah bertemu dengan cowok yang dicarinya.
Tak dapat dimungkiri, kehadiran Iago menambah kacau masalah Ara yang sebenarnya juga sudah kacau balau. Karena ini soal nyawa, bukan soal sesuatu yang bisa dibeli lagi ketika sudah hilang.
“Ara,” panggil seseorang sembari menepuk bahunya. “Tumben sendirian aja?”
Ara yang tersadar dari lamunannya langsung menoleh. “Eh, Hendra,” responsnya. Entah sudah berapa lama Ara tidak lagi memasukkan sosok Hendra dalam ingatannya, kepalanya penuh dengan sosok Iago, Iago, dan Iago. Cowok sinting itu benar-benar sudah menginvasi kepalanya.
“Tumben nggak barengan Vika sama Monic?”
“Oh.... Anu, eh, mereka lagi pacaran sendiri-sendiri, jadinya gue ditinggalin dong,” balas Ara dengan suara yang dipaksakan agar terdengar ceria.
Hendra tersenyum simpul. Dan anehnya, ketika melihat senyum itu, senyum di wajah Ara perlahan terbit. Berapa kali pun ditanya, perasaan Ara pada Hendra tak pernah berubah, tidak bertambah, tidak juga berkurang. Perasaan itu murni hanya sebatas pertemanan. Ara menyukai Hendra, tapi tidak mencintainya.
“Makanya, lo pacaran sama gue juga dong, biar nggak sendirian gini,” pancing Hendra. Dia memang memiliki cara sendiri untuk mendekati Ara, terang-terangan, tapi tidak terkesan frontal. Hendra hanya tidak ingin Ara merasa tidak nyaman dengan kehadirannya.
Ara terbelalak.
“Canda doang, Ra. Canda....” Hendra tertawa. “Tapi kalau lo mau, gue juga nggak keberatan. Malah menerima dengan senang hati kok.”
Ara meninju main-main bahu Hendra. “Apaan sih.”
“Kapan-kapan jalan, yuk! Nonton gitu,” ajak Hendra.
“Nonton apaan?”
“Film kesukaan kita, horor.”
Mata Ara langsung berbinar. “Wah, boleh tuh. Kapan?”
“Penginnya nanti malam, sekalian malam mingguan. Cuma sayangnya gue udah terlanjur janji sama nyokap buat nganter belanja.”
Mendengarnya, Ara terbahak. “Gue kasih tahu ya, di mana-mana cowok seumuran lo itu malam mingguan sama cewek atau gebetannya, Hen. Bukan malah belanja sama emaknya,” ujar Ara, bermaksud membalas candaan Hendra tadi.
“Kan lo tahu sendiri, Ra, kalau gue selalu tampil beda.”
Ara terkekeh. “Udahlah, makin ngaco aja lo.”
“Kalau besok gimana? Lo ada acara nggak?”
“Nggak sih.” Ekspresi Ara tampak ragu-ragu. “Cuma rencananya gue besok mau marathon drakor, hehe....”
“Hm, ya udah deh. Take your time. Kita bicarain lagi kapan-kapan. Secepatnya.”
Ara mengangguk.
“Gue duluan ya.”
“Oke.”
Dan Ara pun kembali sendiri.
Dengan langkah gontai, Ara berjalan menyusuri koridor sekolah. Suasana masih ramai, tapi tetap saja dia hanya seorang diri. Jika diingat-ingat, belum pernah Ara merasa sesepi ini, padahal ini bukan kali pertama dia pulang sekolah sendirian tanpa kedua sahabatnya. Kenapa baru sekarang semuanya terasa berbeda?
Ara menggeleng-geleng tak mengerti. Pasrah, mungkin hanya itu satu-satunya jalan yang Ara punya.
Sampai di gerbang sekolah, rupanya ada seseorang yang sudah menunggunya.
Daniel.
Cowok yang khas dengan senyum sinisnya itu melambai untuk menarik perhatian Ara. “Ra....”
Ara tertegun sejenak, tapi akhirnya memutuskan untuk menghampiri Daniel.
“Ada perlu apa, Dan?” tanya Ara.
Daniel maju selangkah, mendekati Ara. “Nanti malem lo ada acara nggak?”
“Ng....” Ara ragu-ragu. Dia ingat peringatan Iago untuk tidak dekat-dekat dengan Daniel. Namun di sisi lain, dia juga berpikir bagaimana jika ternyata Daniel adalah cowok yang dicarinya?
Sungguh, Ara sangat membenci situasi ini.
“Ra...?” Daniel menganyunkan tangannya di hadapan Ara. “Kok malah bengong?”
“G-gue nggak ada acara sih, tapi—”
“Kalau gitu jalan sama gue, yuk!”
Spontan Ara menggeleng. “Lain kali aja, Dan,” tolaknya halus.
“Kenapa?” Kening Daniel mengerut. “Gara-gara Iago?”
Ara tak menjawab.
Daniel menarik napas panjang. “Gue serius sama omongan gue tempo hari. Gue ... masih suka sama lo. Kasih gue kesempatan sekali lagi ya, Ra....”
“Lo gonta-ganti cewek setelah gue nolak lo, terus sekarang lo bilang kalau lo masih suka sama gue?” Ara meringis. “Jangan harap gue percaya.” Setelahnya Ara berpaling dan berjalan cepat meninggalkan Daniel, akan tetapi cowok itu dengan sigap menyambar lengan Ara.
“Eh, nggak gitu konsepnya, Ra,” kata Daniel, masih berusaha keras untuk membuat Ara percaya padanya. “Gue gonta-ganti cewek karena gue frustrasi nggak bisa dapetin lo.”
Ara mengembus napas berat. Capek!
“Nanti malam gue jemput lo, ya,” lanjut Daniel yang seolah tidak mau mendengar kata tidak.
“Dan—”
“Gue jemput lo jam tujuh.”
“Nggak! Nggak!” tolak Ara cepat. “Kita ketemuan di luar aja.”
Daniel berpikir sejenak. “Oke. Di mana?”
“Di rumah Vika. Nanti gue share loc rumahnya.”
“Oke sip! Jangan lupa dandan yang cantik.” Daniel berjalan mundur dengan wajah semringah. “Sampai nanti malam, Arabella.” Kemudian cowok itu membalikkan badan, berlarian kecil meninggalkan Ara yang lagi-lagi masih tak mengerti dengan situasi yang tengah dialaminya.
Keputusan spontan yang Ara buat, semoga saja menjadi keputusan yang benar. Meski hatinya masih meragu, Ara tetap mencoba untuk percaya. Mudah-mudahan, Daniel memanglah cowok yang dia cari. Sebab sejauh ini, hanya Daniel yang terus-terusan mengejar sekalipun sudah berkali-kali mendengar kata tidak darinya.
Lagi pula, cowok itu sepertinya memang sungguh-sungguh.
*
Malam ini, lo harus berhasil. Kalau nggak, lo tahu apa konsekuensinya.
Daniel menghela napas dalam-dalam saat membaca pesan itu. Sebelah tangannya mencengkeram setir mobil kuat-kuat, menahan geram dalam dirinya yang mulai meronta. Ini yang terakhir, sumpahnya dalam hati.
Setelah beberapa saat terdiam, Daniel akhirnya menelepon seseorang. “Ra, gue udah di depan rumah Vika nih, lo keluar dong,” ujarnya dengan suara yang dibuat agar terdengar seantusias mungkin.
“Oke.”
Tak lama kemudian, Ara muncul bersama kedua sahabatnya. Cewek itu mengenakan flare skirt dan cut off blouse biru muda. Rambut panjangnya dibiarkan terurai. Sedangkan wajahnya hanya terpoles bedak tipis dan lip gloss. Daniel tersenyum miring, dugaannya meleset. Ara yang dikiranya akan dandan habis-habisan dan mengenakan baju terbaik yang dia punya, ternyata hanya tampil sederhana seperti yang Daniel lihat sehari-hari. Meski begitu Ara tetap terlihat cantik.
“Kita mau ke mana?” tanya Ara setelah masuk ke dalam mobil.
“Rahasia.”
Rasa tidak nyaman perlahan menyusupi hati Ara. Tadinya dia berniat membatalkan janji dengan Daniel, tetapi Vika dan Monic kompak menentangnya. Kedua sahabatnya itu berharap Daniel adalah cowok yang dicari oleh Ara. Well, Ara pun berharap demikian. Hanya saja, hatinya merasa jika ada sesuatu yang tidak beres di sini.
“Dan, gue boleh tanya sesuatu nggak?”
Daniel mengangguk.
“Lo musuhan sama Iago, ya?”
“Eh?!” Daniel tersentak. Kaget. Namun dia buru-buru menyembunyikan ekspresinya agar tak terlihat oleh Ara. “Bokap Iago itu temen bokap gue. Tapi gue sama Iago nggak akrab-akrab banget kok. Soalnya nggak cocok. Gue orangnya bebas, Iago tertutup.”
“Oh....” Ara manggut-manggut. “Terus kenapa Iago ngelarang kita deket?”
Daniel mengangkat bahu. “Mana gue tahu. Tuh anak kan sering nggak jelas. Kemungkinan terbesarnya sih, Iago pengin lo jadian sama dia. Makanya dia ngelarang gue deketin lo.”
“Iago nggak bener-bener suka sama gue,” desis Ara.
“Hm, mungkin iya. Mungkin juga nggak.”
“Maksud lo?”
Daniel menggeleng. “Udahlah, jangan biarin tuh anak nyangkut di kepala lo, ganggu aja.”
“Gue juga nggak mau tuh anak nyangkut di kepala gue, Dan.”
“Makanya, have fun sama gue. Setelah malam ini, gue yakin Iago bener-bener nggak akan ngejar lo lagi.”
Sebuah tanda tanya besar menggantung di kepala Ara. Ingin rasanya bertanya lagi, karena—sekali lagi—terlalu banyak hal ganjil di sini. Namun Ara urung untuk mengatakannya, sebab mobil yang ditumpanginya berbelok masuk ke dalam gang dan berhenti di depan sebuah rumah kosong.
*