Langkah Ara terasa berat ketika dirinya menyusuri selasar yang akan membawanya menuju kelas. Semalam suntuk Ara berpikir, penjelasan apa yang akan diberikan kepada Vika dan Monic mengenai keputusannya menerima tawaran Iago. Ara tahu, kedua sahabatnya itu pasti tidak bisa dengan mudah menerima keputusannya. Memang, Vika dan Monic sudah berusaha sebisa mungkin untuk membantunya, akan tetapi Ara juga tidak bisa begitu saja mengabaikan tawaran Iago. Dari segi informasi, Ara yakin jika Iago bisa bergerak lebih cepat.
Saat Ara masuk kelas, Vika dan Monic sudah duduk di bangkunya masing-masing. Melihat wajah sahabatnya, keberanian Ara menciut.
“Lo kenapa, Ra? Kusut amat mukanya,” komentar Monic.
Ara menggeleng dan mencoba untuk tersenyum.
“Lo sakit?” Kali ini Vika yang bertanya.
Dan Ara menggeleng lagi.
Vika dan Monic saling bertukar pandang, mereka tahu ada yang tidak beres dengan Ara. Namun Ara yang suasana hatinya tengah kacau balau tetap berusaha bersikap seperti biasanya.
Pelajaran pertama, kedua, ketiga ... hingga akhirnya bel istirahat pertama berbunyi, Ara masih belum bercerita kepada Vika dan Monic. Entah sudah berapa kali dia menghela napas, sedikit menyesali keputusannya kemarin. Yah, setiap keputusan memiliki risiko, bukan?
“Vi, Mon, gue mau ngomong sama kalian...” ujar Ara ragu.
“Ya tinggal ngomong aja apa susahnya sih?” sahut Vika yang diikuti anggukan oleh Monic.
Ara menarik napas dalam-dalam sebelum memulainya. “Kemarin gue jalan sama Iago—”
“Terus?” potong Monic tak sabaran.
“Gue ... terima tawaran dia buat bantuin gue.” Setelah mengatakan itu, Ara menggigit bibir bawahnya, berharap respons terbaik dari kedua sahabatnya.
“Apa?!” Vika menggebrak meja. “Lo bikin keputusan tanpa bilang sama kami lebih dulu? Gue sama Monic ini sahabat lo, Ra. Kenapa lo malah lebih nurut sama Iago?”
Ara membiarkan Vika menumpahkan kekesalannya. Ara tahu dalam hal ini dia salah, tetapi jika mereka merasakannya sendiri mungkin cara pandang mereka akan berbeda.
“Lo sebenernya ada hubungan apa sama Iago? Bukannya lo benci banget sama dia? Atau ... lo nggak yakin kalau gue sama Vika bisa bantu lo?” Kali ini giliran Monic yang mencecar Ara.
“Gue tahu gue salah karena nggak bicara sama kalian dulu.” Ara bergantian menatap sahabatnya. “Gue juga bukannya nggak percaya sama kalian. Tapi kalau ada orang lain yang mau bantu gue, kenapa nggak? Gue nggak mau mati.”
Vika menggeleng-geleng, tampak tidak bisa menerima penjelasan Ara. “Ra, lo itu masih PDKT-in Alan sama Jefrey aja, belum ke cowok berikutnya. Kenapa lo bawaannya nyerah aja sih? Padahal baru juga mulai.”
“Gue bukannya nyerah, Vi. Cuma gue ngerasa kalau cara itu nggak efektif dan ... coba lo bayangin gimana kalau lo ada di posisi gue, ngejar-ngejar cowok....” Tenggorokan Ara tercekat. “Yang bahkan mereka belum tentu masih suka sama gue,” lanjutnya pasrah.
“Ya kalau lo nggak deketin mereka, mana lo tahu gimana perasaan mereka ke lo?!”
“Iago bakal bantu gue cari tahu, soal mereka masih suka sama gue atau nggak.”
Vika meringis. “Lo lebih percaya Iago daripada sahabat lo sendiri?” sinisnya.
“Vi....”
“Udah, kenapa kalian berdua malah jadi ribut sih?” Monic mencoba untuk menengahi. “Ra, gue bukannya belain Vika, tapi sebagai sahabat lo, kami berdua ngerasa kecewa sama lo. Lo terkesan lebih milih Iago. Nggak apa-apa sih, tapi semisal dia nggak bisa bantu lo, ngibulin lo, nantinya lo bakalan lari ke gue sama Vika juga, kan?”
“Sekarang terserah lo, Ra. Gue nggak mau tahu!” Setelahnya Vika berdiri dari kursinya dan berjalan keluar kelas, pun dengan Monic. Kedua sahabat itu sama sekali tak menoleh padanya.
Mata Ara memanas. Kenapa harus seperti ini sih?
“Ramalan sialan!” geram Ara sembari menyeka air mata yang mulai tumpah dari sudut matanya.
*
Bel pulang sekolah berbunyi dan keadaan tetap sama. Vika dan Monic masih mendiamkan Ara. Mereka hanya berbicara seperlunya, itu pun jika ditanya.
Ara bertambah stres. Beberapa minggu lalu dia pusing tujuh keliling memikirkan cara untuk menemukan ‘cowok kekurangan cinta’ itu, tapi sekarang dia bertambah pusing karena kedua sahabatnya tidak lagi berdiri di sisinya.
Sedangkan Iago, cowok itu masih belum memberinya kabar apa-apa, juga sama sekali belum menghubunginya setelah kesepakatan itu terjadi. Ara menyeringai sendiri, mungkin benar apa yang Monic katakan, bisa saja cowok itu hanya asal bicara—berniat mengerjainya.
Titik ini, adalah titik terendah di mana Ara pernah jatuh. Merasa sendirian dan tak mampu berbuat apa-apa. Dia tidak mungkin bercerita pada kakak atau orangtuanya, juga rasanya tidak mungkin bercerita pada Dion atau Hendra.
Ara membuang napas pendek. Sekejam inikah perlakuan semesta padanya?
“Kalau emang harus mati, ya mati aja. Kenapa harus pakai drama kehilangan sahabat segala sih?” protes Ara menahan tangis. Marah pada semesta yang berlaku seenaknya.
*
Ara duduk seorang diri di halte depan sekolahnya. Kali ini dia tidak sedang menunggu ojek atau siapa pun, dia hanya ... tak tahu apa yang akan dilakukannya untuk memperbaiki keadaan.
“Ra....”
Ara yang semula tertunduk lesu mengangkat kepalanya dengan susah payah. Sesosok cowok ber-hoodie putih berdiri tak sampai lima langkah di hadapannya. “Lo ngapain aja sih? WA gue sama sekali nggak lo baca.”
“Gue nggak ngapa-ngapain,” sahut Ara datar.
“Lo tadi pas istirahat kedua juga nggak ikutan main ke kelas gue barengan Vika sama Monic.”
“Mereka marah sama gue.”
“Hah, kenapa? Gara-gara kita bikin kesepakatan itu?” Iago keheranan. “Lo serius?”
Ara mengangkat bahu. “Nggak. Bercanda doang,” katanya, kemudian berdiri, berniat pergi.
“Ra....” Iago meraih bahu Ara. “Lo kalau ada masalah cerita dong ke gue. Jangan diem aja.”
Ara menepikan tangan Iago dari bahunya. “Cewek marahnya lama itu biasa kok. Lagian gue baik-baik aja.”
“Bullshit!” Iago menatapnya tajam. “Mulut lo bilang gitu, tapi mata lo nggak bisa bohong! Lo itu nggak sedang baik-baik aja.”
Emosi Ara tersulut. “Tahu apa lo soal gue? Harusnya gue nggak semudah itu nerima bantuan lo dan setuju buat nolongin lo.” Ara nyengir. “Goblok banget sih gue.”
Iago meletakkan masing-masing tangannya di bahu Ara, meremasnya dengan gerakan canggung. “Gue anterin lo pulang.”
Ara menggeleng. “Plis, Go.... Hidup gue rasanya udah kacau karena ramalan sialan itu. Sahabat gue marah dan ngediemin gue. Sekarang lo mau nambahin masalah gue lagi?”
Iago terdiam. Apa pun yang tengah berkecamuk di kepalanya, itu sama sekali tidak seperti yang dituduhkan Ara. “Gue anter lo pulang,” ulang Iago. “Lo boleh marah sama gue, tapi tolong jangan tolak niat baik gue.”
“Go—”
Kalimat Ara terputus begitu saja saat Iago tanpa permisi menggandeng tangannya, menautkan jemari mereka, dan menggenggamnya erat. Perut Ara menggelenyar oleh sentuhan Iago, ada setitik kehangatan yang menjalarinya. Detak jantung Ara meronta, seperti kebingungan antara marah dan pasrah.
“Masuk,” perintah Iago, membuka lebar-lebar pintu mobilnya.
Ara masuk dengan gerakan kasar dan langsung menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi. Sejurus kemudian, Iago pun masuk, dia langsung mengemudikan mobilnya meninggalkan parkiran sekolah.
Hening. Benar-benar hening.
Kali ini tak satu pun dari mereka yang berbicara, bahkan sampai mereka tiba di rumah Ara. Cewek itu langsung keluar dari mobil tanpa mengucapkan terima kasih dan membanting pintunya keras-keras.
Ara berlari, cepat-cepat ingin masuk ke dalam rumah. Emosi di dadanya sulit dikendalikan. Semua tak berjalan seperti seharusnya.
Semuanya ... berantakan.
Ara merogoh tas sekolahnya, mencari-cari kunci rumah. Namun saking kacaunya, dia tidak bisa dengan cepat menemukan benda itu.
“Brengsek! Kenapa hidup gue jadi kayak gini sih?!” Ara menendang pintu dengan keras, tak peduli akan rasa sakit di jari kakinya.
“Eh, Ra, lo ngapain sih?” Seseorang menarik tubuhnya.
“Lepasin gue!”
Iago melepaskannya.
Pertahanan Ara jebol. Air mata yang sejak tadi ditahannya, kini meluber. Meski begitu dia tetap mencoba untuk tidak terlihat lemah di depan Iago. “Mending lo pulang aja deh,” usir Ara sembari menyeka lelehan air mata di pipinya.
Iago tak menyahut. Dia mendekat dan meraih kepala Ara, menundukkannya hingga bersandar di dadanya. “Gue akan tetep di sini meski nanti bakal jadi santapan herder lo.”
“Go—” Ara berusaha mengelak, tapi Iago menahannya, memegangi belakang kepala Ara agar tetap pada posisi seperti ini.
“Lo boleh nangis kalau emang itu bisa bikin lo lega,” ujar Iago. “Nunduk aja biar gue nggak bisa lihat.”
Menyerah, Ara pun menangis sesenggukan. “Gue nggak bermaksud ngecewain mereka. Gue—”
“Gue ngerti kok,” sela Iago, tangannya mengelus kepala Ara.
Mata Ara terpejam. Aroma Iago yang terhirup olehnya tercium seperti petrikor yang bercampur dengan keringat. Bukan aroma yang menyenangkan, tapi itu cukup untuk memberinya rasa nyaman. Bisa jadi saat ini Ara bersandar pada orang yang salah, tapi semuanya terlanjur berantakan. Dia butuh beristirahat barang untuk sejenak sebelum mulai memperbaiki semuanya.
“Gue bakal coba ngomong ke Vika sama Monic,” ucap Iago.
Ara spontan menjauhkan diri dari cowok itu. “Nggak perlu, gue bisa beresin masalah gue sendiri.”
“Gue rasa gue perlu ngomong sama mereka, ngelurusin semuanya biar nggak ada yang salah paham.”
“Nggak perlu, Go.”
“Ra...” Iago melembutkan suaranya. “Gimanapun juga, gue yang ngejar-ngejar lo. Maksa lo... Gue yang salah. Jadi gue wajib meluruskan kesalahpahaman ini.”
Namun Ara tetap menggeleng, menolak.
“Besok, waktu istirahat pertama gue main ke kelas lo,” tambah Iago seakan tak terpengaruh dengan penolakan Ara. “Sekali-kali gue juga pengin main ke kelas anak IPS. Ya udah, gue cabut dulu. Jangan nangis. Kalau ada apa-apa cerita ke gue. Gue stand by dua puluh empat jam buat lo.” Dia menepuk pelan puncak kepala Ara.
Tatapan mereka berserobok. Ada percikan ganjil yang hadir di antara mereka. Hanya samar-samar, baik Ara maupun Iago sama-sama merasakannya.
Seperti tersadar, Iago buru-buru menarik tangannya—yang terus terang saja membuat Ara merasa kehilangan sesuatu. “Gue ... pulang dulu ya, Ra,” pamit Iago agak kikuk.
Butuh beberapa detik bagi Ara untuk meresponsnya dengan sebuah anggukan. Tangannya ingin menggapai Iago, menahannya sebentar lagi. Nyatanya yang dilakukan Ara hanyalah terpaku, menatap diam punggung Iago yang berjalan menjauhinya. Ara masih tak mengerti apa yang ada di kepala Iago. Di satu sisi dunia di sekitarnya berputar begitu lambat, tapi di sisi lain, semua juga berputar begitu cepat hingga membuatnya kewalahan.
Ara memegangi kepalanya, pusing sendiri.
Apa yang terjadi besok, terjadilah.
*