“Lo mau ngajak gue ke mana, Go?” tanya Ara penasaran saat mereka sudah berada di jalan.
“Ke mal,” jawab Iago cepat—dan singkat.
“Ke mal?” Ara mengernyit. Heran. Karena menurutnya Iago adalah tipe orang yang tidak suka tempat ramai dan bising seperti mal.
Iago mengangguk. “Band asal sekolah kita diminta mengisi lagu buat acara pameran mobil. Dan lagi-lagi gue gantiin Teguh, dia masih off untuk sementara waktu,” jawab Iago menjelaskan.
“Band sekolah kita? Kok gue nggak tahu.”
“Emangnya setiap manggung harus minta izin sama lo dulu?” sahut Iago. “Nggak lama kok, cuma lima lagu. Habis gitu kita jalan-jalan.”
Ara mencebik. “Jadi lo hari ini ngajakin gue jalan cuma buat nonton lo?”
“Itu bonusnya. Gue pengin bantu lo cari cowok biar lo nggak mati.”
Suasana hati Ara langsung berubah. “Nggak usah ikut campur urusan gue,” ketusnya.
“Hati lo kenapa keras banget sih? Gue tulus pengin bantuin lo.”
“Oh ya?”
“Setengahnya gue udah pasrah soal lo mau bantuin gue atau nggak.” Iago nyengir. “Toh kalau gue harus dijodohin sama cewek yang sama sekali nggak gue suka, gue masih punya lo sebagai temen.”
Ara menggigit sudut bibirnya, merasa tak enak hati. Situasi ini seakan menempatkannya pada sebuah gang sempit. Ada keinginan untuk menolong Iago, sementara di sisi lain Ara juga masih pusing berkutat dengan masalahnya sendiri.
“Kita nggak pernah temenan, Go,” ketus Ara.
“Terserah....” Iago mendesah panjang. “Meski lo benci banget sama gue, gue nggak peduli. Lo tetep temen gue.”
“Lo emang sinting ya.”
Iago hanya mengangkat bahu sebagai respons.
“Kenapa kita nggak jadi simbiosis mutualisme aja?” tanya Iago setelah berpikir cukup lama. “Gue bantuin lo. Lo nolongin gue.”
“Gue nggak yakin kita bisa.”
“Kenapa?”
Ara menoleh pada Iago, menatap wajah cowok itu dari samping. “Ya setengahnya gue masih benci sama lo.”
Iago memukul pelan setir mobilnya, merasa jengkel. “Gue kan udah minta maaf, Ra. Kenapa lo susah banget sih maafin gue?”
“Gue juga nggak tahu, Go. Gue ... males aja punya urusan sama lo.”
Terus terang, jika ditanya apa dia masih membenci Iago, Ara tidak yakin akan memberikan jawaban seperti apa. Pertemuan pertama mereka memang meninggalkan jejak kebencian di hatinya. Lalu setelah beberapa hari dekat, timbul rasa kasihan. Sekarang ... Ara tak tahu seperti apa perasaannya pada cowok itu.
“Gue bakalan tetep bantu lo cari cowok itu.” Iago bersikeras.
“Terserah lo.”
Sampai di mal, mereka langsung menuju ke tempat pameran yang berlokasi di lantai dasar tepat di tengah-tengah mal. Para SPG sudah sibuk melayani pengunjung yang bertanya-tanya. Beberapa anak kecil berlarian mengelilingi mobil yang dipajang, sambil sesekali memegang-megangnya. Ada juga pengunjung yang berjubel hanya untuk berfoto di depan mobil berharga lebih dari satu miliyar rupiah tersebut.
“Lo duduk di situ aja ya,” beri tahu Iago, menunjuk tempat duduk yang disediakan untuk para tamu undangan.
Ara menggeleng, menatap jijik ke arah deretan kursi yang mayoritas diduduki oleh para pria paruh baya. “Gue di sini aja. Ogah gue duduk jejeran sama om-om botak gitu.”
Iago memutar mata. “Ya udah. Pokoknya jangan hilang dari pandangan gue.”
“Lo pikir gue umur berapa?” protes Ara. “Udah buruan sanaaa.” Tangannya mendorong Iago untuk menembus kerumunan yang mulai memadat.
Iago melepas hoodie-nya dan memakaikannya pada Ara. “Biar lo nggak hilang,” katanya seraya tersenyum jenaka. Setelahnya, cowok jangkung yang rupanya juga mengenakan kaus putih tersebut menghilang dari pandangan Ara dan muncul kembali di belakang drum.
Di tengah padatnya kerumunan, Ara diam-diam tersenyum. Senyum itu adalah senyum pertamanya untuk Iago. Semesta memang semaunya sendiri, bukan? Bisa dengan seenaknya mempermainkan perasaan seseorang, membolak-balikkannya sesuka hati.
Mengetahui ada penampilan musik, kerumunan bertambah padat. Terlebih ketika mereka tahu kalau Prince ada di sana, anak-anak muda yang tadinya tak acuh kini mulai merapat.
Seperti kata Iago tadi, band asal sekolah mereka akan membawakan lima lagu. Setelah lagu kelima selesai, para penonton bertambah riuh, mereka meminta band itu memainkan sebuah lagu lagi.
“Oke. Sebagai bonus, gue bakal ajak kalian untuk seru-seruan bareng buat nyanyi lagunya Sheila on 7.” Roni, vokalis berambut kriwul itu berteriak, “Melompat Lebih Tinggi!!!”
Penonton kembali bersorak, termasuk Ara. Dia ikut bernyanyi bersama yang lainnya. Suasana hati Ara yang tadinya terombang-ambing kini membaik, pikirannya sedikit terbuka. Apa yang dihadapinya bukan hal sepele dan tak seharusnya dia menolak uluran tangan dari siapa pun, termasuk Iago.
Dan mungkin ... simbiosis mutualisme itu masuk akal.
*
Turun dari panggung, Iago berpamitan pada anggota band lainnya sebelum pada akhirnya menghampiri Ara. Tak pelak hal itu menimbulkan pandangan iri, juga bisik-bisik di sekitarnya. Ara mendengus pelan setelah Iago berada di dekatnya. “Risiko banget ya jalan sama lo. Harusnya tadi gue nolak aja,” ujar Ara ketika mereka berjalan menjauhi kerumunan yang mulai merenggang. Ara melepas hoodie milik Iago dan menyodorkannya pada sang pemilik.
Iago menerima hoodie miliknya. “Risiko gimana maksud lo?”
“Risiko dimusuhin cewek se-Indonesia.”
Iago menggeleng-geleng, kemudian mengenakan hoodie putihnya dalam satu gerakan. “Lo mau makan?”
Ara melihat jam tangannya, sudah lewat jam makan siang. Hanya saja dia sedang tidak lapar sekarang.
“Kalau gue nggak kasih lo makan, nyokap lo bakal ngebiri gue,” imbuh Iago.
“Kapan nyokap gue bilang gitu?” Ara berhenti mendadak yang membuat Iago nyaris saja menubruknya. “Ngaco lo! Tapi boleh deh, gue juga pengin ngomong sesuatu sama lo.”
Setelah melalui perdebatan panjang soal menentukan tempat makan, mereka memutuskan untuk membeli makanan di restoran cepat saji dan membungkusnya.
“Gue tahu tempat yang bagus buat kita ngobrol,” kata Iago.
“Terserah lo deh, gue ngikut aja.” Kali ini tampaknya Ara tak mau berargumen dengan cowok itu.
Iago tesenyum penuh kemenangan dan menuntun Ara menuju tempat parkir.
Selama perjalanan, Ara berusaha keras menahan keinginannya untuk bertanya ke mana Iago akan membawanya. Dia gelisah, tapi juga mencoba untuk memercayai Iago.
Empat puluh menit kemudian, mereka sampai di gedung utama Kresna Grup. Iago memarkirkan mobilnya di basemen dan memberi isyarat pada Ara untuk turun.
“Lo kenapa ngajakin gue ke sini?” tanya Ara tak mengerti. “Jangan bilang lo mau ngajak gue ketemu bokap lo.”
Iago tak menjawab, tangan cowok itu membimbingnya menuju lift. Iago mengeluarkan kartu akses untuk menggunakan lift. Setelah pintunya terbuka, mereka masuk ke dalam dan Iago memencet tombol menuju lantai paling atas.
Ara pikir Iago akan mengajaknya makan di salah satu ruangan kantor milik ayahnya. Dadanya sudah berdegup tak keruan membayangkan sosok yang akan ditemuinya. Alih-alih melihat ayah Iago, ketika lift berhenti dan pintunya terbuka, yang dilihat Ara adalah sebuah taman.
Ya, taman di atas gedung.
“Lo nggak keberatan kan kalau kita makan di sini?” tanya Iago.
“Gue bisa makan di mana aja kok,” jawab Ara sembari mengembus napas lega.
Taman ini beratapkan kanopi. Adanya pohon cemara yang berjejer di sisi kanan dan kiri menciptakan suasana rindang meski tak luput dari udara panas. Hamparan rumput serta berbagai tanaman hias yang ada, sejenak membuat Ara lupa jika dirinya sedang berada di puncak gedung.
Ara dan Iago duduk bersebelahan di sebuah bangku kayu. Mereka makan dalam diam sembari larut dalam pikiran masing-masing. Hingga akhirnya Iago membuka suara terlebih dahulu. “Lo tadi mau ngomong apa sama gue?”
Ara melahap potongan terakhir kentang gorengnya. Sembari mengunyah, dia memikirkan sekali lagi dengan masak-masak. Karena ketika dia memutuskan untuk menerima bantuan Iago, itu artinya dia juga harus siap menolong Iago. Dan berpura-pura untuk menjadi pacar cowok itu ... duh, pasti rasanya sangat aneh. Lagi pula sebetulnya dia juga malas ikut campur masalah pribadi orang lain, apalagi masalah keluarga.
“Gue....” Ara menggigit sudut bibirnya.
Iago dengan sabar menanti kelanjutan kalimat Ara.
Ara menarik napas dalam-dalam. “Gue ... setuju sama teori simbiosis mutualisme lo.” Akhirnya terucap juga sesuatu yang membuatnya risau selama beberapa menit terakhir.
Mata Iago melebar. “Serius? Berarti lo mau nolongin gue?”
“Belum. Gue belum mutusin sampai ke sana. Gue masih mutusin buat nerima bantuan lo.”
“Kirain....” Iago memasang tampang kecewa, kemudian menoleh ke arah lain. Putus asa.
“Gue pengin tahu gimana cara lo bantu gue,” ujar Ara, lalu menyedot sodanya. “Karena jujur gue ngerasa kalau PDKT-in cowok yang pernah gue tolak itu nggak efektif. Gue jadi ngerasa murah aja kalau ngelakuin itu.”
Iago kembali menatap Ara.
“Tapi gue juga nggak tahu cara lainnya,” tutupnya. Ara sudah pasrah, waktunya sudah berkurang dan dia tidak tahu harus berbuat apa di sisa waktunya.
Iago tidak merespons. Wajah cowok itu datar-datar saja. Meski begitu jika betul-betul diamati, dirinya tampak sedang memikirkan sesuatu.
“Clue-nya cuma ‘cowok kekurangan cinta’?” tanya Iago dengan kening berkerut.
“Nggak juga sih.” Ara meyandarkan punggungnya pada bangku. “Peramal itu bilang gue dan cowok itu beriringan, tapi nggak bersinggungan. Emang kemungkinan besarnya cowok itu satu sekolah sama gue karena lingkup pertemanan gue juga itu-itu aja. Kan bisa dibilang gue nggak punya temen dari sekolah lain.”
Iago manggut-manggut.
“Gue berasa cari semut di pasir.”
“Cowok yang pernah nembak lo ada berapa orang?”
“Alan, Jefrey, Richard, Daniel, Kak Ardan, dan...” Ara agak ragu-ragu saat hendak mengucapkan nama itu, “...Hendra. Hendra belum nembak gue sih, tapi—”
“Dia naksir berat sama lo.”
“Gue tahu,” gumam Ara mengambang.
“Dia selalu curhat soal lo ke Brian.”
Ara nyengir. “Cowok suka curhat juga ternyata.”
“Cowok kan manusia juga, Ra....” Iago diam sebentar. “Buat permulaan, gue bantu lo cari info apa cowok-cowok yang pernah nembak lo masih punya perasaan sama lo. Gimana?”
Kening Ara mengerut. “Emang bisa segampang itu?”
“Prince can do anything.”
“Ck—”
Iago mengulurkan tangannya. “Gue bantu lo dan lo bantu gue. Deal?”
Merasa tak ada alasan untuk menolak, Ara akhrinya menjabat tangan Iago. “Deal.”
*