“Mulai Senin depan kita sudah harus pasang pengumuman di mading mengenai acara amal kita. Siapa pun yang ikut, kecuali anggota OSIS, harap menyerahkan data diri ke Ara. Pendaftaran ditutup pada H-3. Terus H-1 kita adakan briefing.” Hendra mengedarkan pandangan pada seluruh peserta rapat. “Ada pertanyaan?”
Semua menggeleng.
“Oke. Kalau tidak ada pertanyaan, rapat hari ini saya akhiri. Atas kehadirannya, saya ucapkan terima kasih. Silakan kembali ke kelas masing-masing.”
Vika dan Monic langsung merapat pada Ara begitu anak-anak yang lain meninggalkan ruangan OSIS. “Gimana? Gimana? Lo udah siap PDKT-in Jefrey?” bisik Vika, tak ingin orang lain mendengarnya, terutama Hendra.
“Itu dia, Vi. Gue bingung gimana mulainya. Masalahnya gue sama sekali nggak kenal sama Jefrey, dia dulu habis nembak gue malah ngacir gitu aja, bahkan gue belum sempat jawab iya atau nggak.”
Mereka menoleh perlahan pada Monic yang sedari tadi diam. “Jangan tanya gue,” ucap Monic mendahului. “Gue lagi nggak ada ide.”
“Kalian nggak balik ke kelas?” tegur Hendra seraya menyunggingkan senyum berwibawa andalannya.
“Nanggung. Sepuluh menit lagi jam keempat kelar, sekalian ditungguin sampai bel aja,” sahut Vika lantas tersenyum selebar mungkin, padahal dalam hati dia berharap cowok itu segera berlalu.
“Oke. Kalau gitu gue sama Brian duluan ya,” pamit Hendra dengan tatapan terfokus pada Ara.
Ara dan Vika mengangguk, sementara Monic melambai kecil pada Brian.
Masih juga mereka bertiga hendak lanjut mengobrol, Dion yang duduk di pojok ruang OSIS berujar, “Gue mau tidur dulu bentar. Kalau kalian balik ke kelas jangan lupa bangunin gue ya.”
“Iya,” balas Vika ogah-ogahan. “Kita kembali ke topik tadi—”
“Eh, kalau gue langsung samperin Jefrey aja gimana?” potong Ara, meminta pendapat pada dua sahabatnya.
“Terus lo udah tahu mau ngomong apa?”
“Nggak tahu.” Ara cengar-cengir.
“Dasar!” Monic menimpuk kepala Ara dengan gulungan kertas. “Tapi nggak ada salahnya juga sih. Natural aja, pura-pura nggak sengaja ketemu terus ngobrol.... Ngomongin apa aja deh yang penting jangan diem aja.”
Ara menghela napas panjang, memberi kekuatan pada dirinya sendiri. “Pokoknya gue nggak mau mati. Dan gue bakal ngelakuin apa aja biar nggak mati.”
Vika mengelus kepala Ara. “That’s my girl!”
*
Pulang sekolah, Ara berpisah dengan Vika dan Monic di depan kelas. Ara bergegas menuju ke ruang serba guna, tempat klub drama biasa berkumpul sepulang sekolah.
Setibanya di depan ruang serba guna, Ara mengumpulkan seluruh keberanian yang dimilikinya sebelum mendorong pintu.
Kosong.
“Sialan,” umpat Ara pelan.
Begitu Ara hendak angkat kaki, sosok yang dicarinya muncul dari kejauhan, cowok itu berlarian kecil menyongsongnya. “Ara? Kok lo ada di sini? Lo cari siapa?”
“Cari lo.”
Jefrey sontak kaget. “Gue?”
Ara mengangguk cepat. “Gue mau ngobrol bentar sama lo....”
“Eh? Ngobrol?”
Ara mengangguk.
“Sama gue?” Jefrey tampak kurang yakin.
Ara mengangguk lagi.
“Aduh.” Jefrey menggaruk belakang kepalanya yang sama sekali tidak gatal, terlihat salah tingkah. “Lo ... mau ngobrol soal apa?”
Mampus, batin Ara. Dia sama sekali belum memikirkan topik yang ingin dibicarakan. Pikirnya semua akan berjalan dengan alami, mengalir begitu saja seperti saat dia mengobrol dengan Hendra atau Alan. Kenyataannya, pikiran Ara malah mendadak blank.
“Ra, kok lo malah bengong?” tanya Jefrey seraya mengayunkan tangannya di depan Ara, berusaha mengembalikan fokus lawan bicaranya. “Katanya lo mau ngomong sesuatu?”
Ara menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya perlahan. “Gini, Valentine nanti OSIS bakal ngadain acara amal. Nah, klub drama mau ikutan nggak?”
“Hm....” Jefrey berpikir sebentar. “Soal itu coba nanti gue bicarain sama anak-anak lainnya dulu ya.”
Ara mengangguk. “Oke.”
Sesudahnya, mereka sama-sama diam. Ara kebingungan sendiri karena kehabisan topik pembicaraan, sedangkan Jefrey merasa seperti mendapat angin segar karena mendadak didatangi Ara seperti ini.
“Ra, lo mau langsung pulang atau—” Kalimat Jefrey macet tatkala melihat seseorang mendekat. Arah pandang Jefrey yang semula terfokus pada Ara, perlahan bergeser. “Kayaknya ada yang cari lo deh.”
“Ha?” Ara mengernyit tak mengerti.
“Itu.” Jefrey menunjuk melewati bahu Ara.
Ara menoleh malas, dipikirnya itu adalah Iago. Namun kedua matanya terbelalak saat mendapati bahwa dugaannya meleset. “Daniel?!” Ara tak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya.
Daniel mengumbar senyum. “Iya. Gue,” sahutnya santai.
“Kok lo tiba-tiba ada di sini?” Ara celingukan. “Kalau mau ke lapangan futsal atau ke tempat parkir kan nggak perlu lewat sini.”
“Masalahnya gue ada perlu di sini.”
“Oh—”
“Gue ada perlu sama lo,” sambung Daniel yang semakin membuat Ara bertanya-tanya.
“Sama gue?”
Daniel mengangguk.
Jefrey yang melihat itu perlahan-lahan menyingkir, sedikit pun dia tidak ingin terlibat urusan dengan Daniel. Cowok itu memang tidak sepopuler Prince, tapi tetap saja dirinya tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan kapten tim futsal tersebut.
“Eh, lo mau ke mana?” panggil Ara pada Jefrey. “Gue masih ada urusan sama lo.”
“Kayaknya Daniel punya urusan yang lebih penting sama lo, Ra,” balas Jefrey hati-hati. “Kita ngobrolnya kalau urusan kalian udah kelar aja.”
“Oh....” Ara tak memiliki pilihan selain mengangguk.
Sepeninggal Jefrey, atmosfer antara Ara dan Daniel masih terasa ganjil. Ngomong-ngomong soal Daniel, dulu Ara memang sempat dekat dengan cowok itu. Bukan dekat secara fisik, melainkan sebatas daring. Hampir setiap hari mereka berbasa-basi melalui WhatsApp.
“Ra....”
“Y-ya?”
“Kalau gue bilang gue masih suka sama lo,” Daniel menunduk sebentar sebelum kembali menatap Ara, “kira-kira lo mau nggak kasih kesempatan ke gue?”
“What?” Ara sampai melotot saking terkejutnya.
“Gue tahu lo udah nolak gue, tapi gue masih suka sama lo,” lanjut Daniel. “Lo tahu nggak, gue harus mati-matian ngelawan ego gue buat ngomong kayak gini sama lo. Gue sebenernya nggak mau, cuma gue nggak punya pilihan,” Daniel mengedikkan bahu, “hati gue yang maksa.”
Ara tak langsung merespons. Pikirannya kalang kabut, masih terlalu sulit bagi Ara mencerna apa yang sedang terjadi padanya. Daniel, yang notabene adalah salah satu cowok yang akan didekatinya, malah datang padanya terlebih dahulu. Aneh. Terus terang Ara tidak mengerti, ini pertanda baik atau malah sebaliknya?
Entahlah, rasanya ganjil mengingat bahwa Daniel tidak pernah menghubungi Ara lagi setelah dia menolak cowok itu. Lagi pula, setahu Ara, Daniel sudah berulang kali berganti pacar. Jadi rasanya ada sesuatu yang salah jika Daniel bilang masih menyukai Ara.
Ara menghela napas panjang, mencoba bersikap tenang. “Dan, gue—”
“Bukannya gue udah minta lo buat nggak berurusan sama Ara?!” teriak sebuah suara yang belakangan ini terus mengusik Ara.
Daniel dan Ara sama-sama menoleh ke arah sumber suara. Iago berdiri tak jauh dari situ, ekspresi wajahnya kelewat serius.
“Emang,” balas Daniel ketus. “Tapi gue pengin berurusan sama Ara. Gue suka sama dia. Apa gue salah?”
Rahang Iago mengeras. Tatapan matanya tajam dengan napas yang memburu. “Pergi lo,” geramnya pada Daniel, kemudian dia maju dan menyambar tangan Ara. “Dan lo, jangan sekali-kali lo mau dideketin sama dia.” Kali ini Iago berkata pada Ara.
“Gue suka sama Ara itu nggak ada urusannya sama lo, Go. Mending lo urusin cewek lo—”
Iago sontak naik darah. “Eh, diem lo! Nggak usah bawa-bawa soal itu!”
“Kalian berdua ada masalah apa sih?!” bentak Ara, seraya berusaha melepaskan tangannya dari cengkeraman Iago.
Tak ada yang menjawab. Kedua cowok itu saling tatap dengan tatapan yang tak dimengerti oleh Ara.
“Gue nggak ngerti kalian ada masalah apa, gue juga nggak mau ngerti. Tapi tolong, jangan libatin gue,” Ara mendecih, “karena gue udah pusing sama masalah gue sendiri.” Usai mengatakan itu, Ara menarik paksa tangannya dari Iago dan pergi.
Namun baru beberapa langkah, Iago meneriakinya, “Lo harus jadi pacar gue, Ra! Gue butuh lo banget.”
Tak mau kalah, Daniel ikut-ikutan menyatakan perasaannya, “Gue masih suka sama lo, Ra! Suka banget!”
Tanpa menggubris satu pun dari mereka, Ara menutup telinganya dan terus berjalan menjauh. Jika tadi pikirannya saja yang kalang kabut, kali ini hatinya juga ikut kalang kabut.
Rencananya hari ini adalah mendekati Jefrey, bukan Daniel, apalagi Iago. Namun kenapa malah Daniel dan Iago yang muncul bersamaan di hadapannya?
Andai saja Daniel memang cowok yang Ara cari, maka dia akan sangat senang. Sayang, hatinya dengan tegas menolak pemikiran itu.
Sedangkan Iago?
Entahlah. Sepertinya cowok itu sengaja dihadirkan semesta untuk membuat hidupnya semakin kalang kabut.
*