“Gue mau kita mulai dari awal lagi, Go!” rengek cewek berambut panjang sepinggang yang kini berdiri berhadap-hadapan dengan Iago.
Iago tak merespons. Melainkan hanya diam tanpa ekspresi—walau dalam hati sebenarnya dia ingin sekali meneriaki lawan bicaranya.
Berhadapan dengan cewek di depannya saat ini bukanlah keinginan Iago. Hanya saja berhubung suasana sekolah sudah cukup sepi, dia tak terlalu keberatan. Iago tidak membenci cewek tersebut, tapi juga tidak menyukainya. Mereka berdua pernah memiliki cerita—sebuah cerita yang berakhir dengan tidak menyenangkan.
“Lo sampai kayak gini sama gue cuma karena takut, kan?” sambar Iago. “Lo takut perusahaan bokap lo kehilangan investor terbesarnya. Lo takut perusahaan bokap lo kolaps. Lo takut hidup susah!”
Cewek itu menggeleng cepat. “Nggak, Go! Bukan itu alasan gue.” Dia mendekati Iago. “Gue tahu gue salah. Waktu itu gue terlena, gue—”
“Semua alasan yang lo punya nggak bisa mengubah apa yang udah terjadi,” sela Iago ketus.
“Gue baru sadar perasaan gue yang sebenarnya setelah kita putus,” balas cewek itu tak mau kalah. “Gue nggak keberatan kok, kalau kita harus pacaran sembunyi-sembunyi lagi kayak dulu, asalkan lo ngerasa nyaman.”
Sebuah seringai seketika muncul di wajah Iago. “Gue yang keberatan,” desisnya. Kedua tangan cowok itu mengepal menahan geram.
“Kenapa? Lo udah punya pacar baru? Atau, ada yang lebih cantik daripada gue?”
Iago menggeleng samar. “Gue nggak punya pacar. Lo juga masih cantik. Sayangnya gue nggak tertarik buat balikan sama lo.”
Bukannya ciut, cewek itu malah terbahak-bahak. “Penolakan lo ke gue nggak bakal ada efeknya. Lo lupa? Selain kita nggak bisa milih dari rahim siapa kita dilahirkan, kita juga nggak bisa milih dengan siapa kita jatuh cinta. Semua udah ada garisnya dan tugas kita hanya tinggal berjalan di garis itu.”
“Dan kalau gue milih belok dari garis itu?”
“Itu artinya lo egois.”
Kening Iago berkerut dalam.
“Karena lo bakal ngehancurin hidup orang lain. Nggak cuma gue dan keluarga gue, tapi juga karyawan yang bekerja di perusahaan bokap gue.”
Cukup lama Iago terdiam. Pikiran dan hatinya bergejolak penuh dilema. Napasnya terasa berat menahan sesak yang mulai menghimpit dadanya. Berani sumpah, kehidupan macam ini bukanlah yang Iago inginkan, tapi hatinya yang terlanjur dingin berhasil mengambil alih. “Ah, mungkin lo lupa sama hal ini: kalau masih ada orang egois kayak gue, yang sama sekali nggak peduli dengan nasib lo, keluarga lo, dan karyawan bokap lo,” respons Iago pada akhirnya.
Cewek yang menjadi lawan bicara Iago mendecih. Pesimis. “Terserah. Orangtua kita udah bikin perjanjian. Emangnya lo bisa nolak keputusan bokap lo?”
Lagi, Iago terdiam tanpa kata.
“Ya udah deh, gue cabut dulu.”
Iago tetap diam.
Sepeninggal cewek itu, Iago berjalan gontai ke tempat parkir dengan pikiran yang masih semrawut. Saking semrawutnya, Iago sampai salah mengambil arah—mestinya dia berbelok ke kiri, tapi kakinya malah mengambil langkah lurus. Menyadari itu, Iago buru-buru berbalik ke arah yang benar. Lamat-lamat dia mendengar obrolan dua orang cewek yang berjalan lambat di koridor.
“....three on three? Kapan?”
“Nanti sore, lo mau nonton nggak? Alan lho yang tanding.”
“Mau dong. Di mana?”
“SMA Dharma Bhakti.”
Cukup sampai situ Iago mendengar obrolan mereka. Dengan langkah lebar dia melalui kedua cewek tersebut, bergegas menuju ke tempat parkir. Sepertinya, selain tidak memiliki pilihan dari rahim siapa dia dilahirkan serta tidak memiliki pilihan kepada siapa dia harus jatuh cinta, Iago juga tidak memiliki pilihan kepada siapa dia harus meminta tolong.
*
Ara mematut diri di depan cermin, mengamati dirinya sendiri dalam balutan chevron flared skirt, kaus putih serta kardigan abu-abu tua. Rambut panjangnya dikuncir rendah dan disampirkan pada bahu kirinya.
“Dek, udah dijemput tuh.” Kak Marvel, salah seorang dari kakak kembar Ara menyelonong masuk ke kamarnya tanpa permisi.
“Astaga!” Ara mengelus dada karena kaget. “Ketuk pintu dulu kek,” protesnya sambil berjalan menuju rak sepatu yang terletak di sudut kamar. Ara mengambil sepasang sneakers putih dan duduk di tepian ranjang untuk memakainya.
“Udah dijemput tuh,” ulang Kak Marvel.
“Iya denger kok. Bentar lagi Ara turun.”
Kak Marvel yang menyender pada lemari baju Ara menyipit. “Itu pacar lo?”
Ara sontak mendongak. “Hah?!”
“Lo denger gue tanya apa.”
“Nggak, Kak.... Ara sama Alan cuma temenan,” jelasnya.
“Yakin?”
Ara memutar mata kemudian bangkit dari duduknya. “Yakiiin.” Dia menepuk-nepuk pipi kakaknya. “Dadah, Ara pergi dulu ya.”
Di bawah, rupanya Alan sedang berhadap-hadapan dengan kakaknya yang satu lagi, Kak Marcel. Mereka duduk berseberangan. Ekspresi Alan terlihat tegang saat menghadapi intimidasi dari Kak Marcel. Ara yang tak mau berlarut-larut langsung mengajak Alan pergi.
“Kami berangkat dulu, Kak,” pamit Alan pada Kak Marcel.
“Hm. Inget, pulangin adek gue dengan selamat. Utuh! Terus jangan malem-malem!”
“Iya. Iya. Apaan sih?!” Ara langsung menyambar tangan Alan, menariknya keluar rumah. “Duh, perasaan biasanya gue pulangnya juga malem-malem. Bawel banget sih mereka hari ini,” omelnya.
Alan terbahak. “Sumpah kakak lo galak banget, kesannya kayak pengin nelan gue bulat-bulat,” ucapnya sembari menyodorkan helm pada Ara.
Dengan sigap Ara menerimanya. “Sori banget ya, Al. Kakak-kakak gue suka berlebihan. Soalnya hampir nggak pernah ada temen cowok yang main ke sini. Paling banter cuma Hendra.”
“Santai, Ra. Gue bisa maklum kok. Kakak mana yang nggak was-was adik ceweknya dibawa pergi sama cowok. Mana adiknya cantik lagi.”
“Ya iyalah cantik, gue kan cewek,” respons Ara santai, sama sekali tak terpengaruh oleh pujian Alan.
Ketika hendak naik ke motor, Ara baru menyadari bila dirinya mengenakan rok. Mau kembali ke dalam untuk menggantinya dengan celana jeans, Ara sudah malas duluan karena pasti akan ditanya-tanyai oleh kedua kakaknya.
Akhirnya, dengan merapatkan roknya agar tidak tersingkap, serta tangan kanannya berpegangan pada bahu Alan, Ara berhasil naik ke motor.
“Besok-besok kalau ngajakin lo jalan, gue bakalan pinjem mobil bokap deh,” ujar Alan, tanggap akan posisi Ara.
“Salah gue juga sih, mau nonton basket malah pakai rok,” balas Ara. “Ya udah deh, yuk berangkat!”
“Pegangan ya.”
Ara mengangguk, tahu apa yang diharapkan oleh Alan darinya. Namun Ara tidak memeluk pinggang Alan, melainkan hanya mencengkeram jaket cowok itu.
Begini saja rasanya sudah aneh, apa jadinya kalau memeluk?
*
Suasana sedikit gempar saat semua melihat Alan datang bersama Ara. Bukannya sombong, Ara memang termasuk cewek populer. Itu berkat bergabungnya dia di tim cheer. Ditambah lagi, pada saat itu tim cheer dari sekolahnya berhasil menyabet juara pertama lomba pemandu sorak antar SMA. Maka dari itu ketika Ara memutuskan untuk hengkang dari tim cheer, banyak sekali yang menyayangkannya.
“Gue ... duduk di sana ya,” ujar Ara pada Alan.
Alan mengangguk. “Doain gue menang.”
“Do your best.”
Beru beberapa langkah berjalan, tiba-tiba ada sebuah sepeda motor yang menyelonong masuk dari arah gerbang, menyerempet bahu Ara hingga menyebabkan cewek itu terjatuh.
“Woy! Punya mata nggak sih lo?!” umpat Ara keras-keras, kemudian buru-buru membetulkan roknya yang tersingkap.
Alan yang sudah bersiap melakukan pemanasan, melesat menghampiri Ara. Niatnya membantu cewek itu berdiri sudah kalah duluan oleh beberapa orang yang berada di sekitar Ara.
“Lo nggak apa-apa? Ada yang lecet nggak?” tanya Alan panik, sambil mengamati tubuh Ara.
“Lecet dikit,” jawab Ara. Dia menunjuk lututnya.
Sementara cowok pengendara sepeda motor tadi memarkirkan motornya sembarangan dan bergegas mendatangi Ara. “Sori,” ucapnya gugup.
Ara tidak tahu siapa cowok tersebut. Juga, dari mana asal sekolahnya.
“Lo nggak bisa baca?!” sentak Ara.
“Bisa.”
“Tuh, di depan sana ada peraturan kalau masuk halaman sekolah, mesin motor harus dimatikan. Buta lo, ya?!” umpat Ara berapi-api.
“S-sori, gue buru-buru,” balas cowok yang sekarang ini wajahnya memucat.
“Lo ikut tanding juga?”
Cowok itu menggeleng.
“Terus?”
“G-gue cuma mau nonton.”
“Terus kenapa buru-buru? Pertandingannya belum mulai juga!”
“Gue—”
“Dih, males banget gue sama cowok gaguk gini,” potong Ara seenaknya, dia masih emosi.
“Gue kebelet. Sumpah, perut gue mules banget.”
Semua yang ada di situ sontak menyoraki dan menyuruh cowok itu pergi. Namun cowok bertubuh tambun itu masih saja diam di tempat, seakan menunggu persetujuan dari Ara.
“Mampus aja lo!” umpat Ara sekali lagi. “Udah, sana! Sana!”
“Sekali lagi maafin gue ya.” Cowok itu berjalan mundur, sesekali membungkuk untuk meminta maaf.
Seseorang yang didapuk menjadi wasit meniup peluit dan menginstruksikan pada seluruh pemain untuk segera berkumpul.
Alan, cowok itu masih berat meninggalkan Ara. Dengan dorongan dari Ara, mau tak mau Alan pun menjauh. “Udah, sana! Gue nggak apa-apa kok. Katanya lo pengin gue nonton lo main? Jangan sampai jelek mainnya. Udah gue bela-belain lecet segala nih,” kata Ara mencoba berseloroh, tahu bila Alan merasa bersalah.
Tak punya kata untuk membalas, Alan hanya mengangguk dan tersenyum untuk menyembunyikan rasa bersalahnya.
Pertandingan berjalan cukup seru di babak pertama. Masih seperti dulu-dulu, nama Alan paling sering diteriakkan oleh penonton yang mayoritas adalah cewek. Cara Alan mengecoh lawan memang menarik, dia bahkan masih berpura-pura mendribel, padahal bolanya sudah dioper ke rekan setimnya.
Beberapa kali terjadi persaingan sengit antara Alan dan Harun, kapten tim basket dari SMA Dharma Bhakti. Mereka berdua sama-sama hebat. Teknik yang dimiliki mereka berbeda, apa yang dimiliki Alan, tidak dimiliki oleh Harun. Pun sebaliknya.
Ara begitu menikmati pertandingan ini. Dalam hatinya, Ara mulai bertanya-tanya, yang membuatnya antusias menonton adalah pertandingannya yang seru, atau malah setiap gerakan Alan yang memukau?
Sampai peluit panjang berbunyi, Ara pun masih belum menemukan jawabannya.
*