Hari Rabu.
“Nanti pas istirahat kedua kita main ke kelas 11 IPS-3, yuk!” ajak Hendra pada Brian yang tengah memotong-motong kertas lakmus biru.
“Oke,” sahut Brian. “Lo masih mau lanjut PDKT sama Ara? Nanti sore dia mau jalan sama Alan.”
Hendra yang tadinya antusias seketika berubah galau saat menerima informasi dari Brian. “Apa?!” responsnya agak terlambat. “Lo tahu dari mana?”
“Monic,” jawab Brian. “Dia ngajakin gue nonton basket juga, tapi gue nggak bisa. Ada les fisika.”
“Kok lo nggak bilang info sepenting ini ke gue?!”
Brian mengangkat bahu, wajahnya menampakkan permohonan maaf. “Sori, gue lupa. Tahu sendiri kan, kalau akhir-akhir ini kita sibuk. Kegiatan OSIS, bimbel, tugas, ulangan—”
“Sialan! Berarti gue kecolongan.” Hendra tampak kesal setengah mati. “Eh, Alan yang dimaksud itu dari kelas 11 IPA-2, bukan? Soalnya ada beberapa nama Alan di angkatan kita.”
“Yup! Alan yang itu, si kapten tim basket. Ara bakalan nemenin tuh anak tanding basket di SMA Dharma Bhakti.” Brian meletakkan potongan kertas lakmus biru itu pada plat tetes. “Katanya, Ara ngelakuin itu karena ngerasa bersalah sama Alan.”
Kening Hendra mengernyit. “Bersalah?”
“Lo lupa?” Brian balas mengernyit pada Hendra. “Tahun lalu Alan ditolak di depan umum sama Ara.”
“Oh....”
“Kata Monic, apa yang dilakuin Ara itu semacam permintaan maaf.”
“Minta maaf dengan nemenin Alan tanding basket, gitu?”
Brian mengangguk.
“Ara itu emang susah banget didapetin. Gila, selama ini gue kayak naksir sama bintang di langit. Kelihatan jelas di depan gue, tapi nggak bisa diraih.”
“Geli gue denger analogi lo.” Brian merinding sendiri.
“Terus tiap gue deketin, dia kabur,” lanjut Hendra, mengabaikan cibiran Brian.
“Ara emang ogah pacaran dulu katanya. Lo yang sabar aja nungguin dia buka hati.”
“Sampai rambut gue putih semua juga gue bakalan setia nunggu.”
“Kayak Ara masih mau aja sama lo yang ubanan.”
Spontan Hendra menempeleng kepala Brian. “Anjrit!”
Iago mendengus. Tangannya memang sibuk menulis laporan praktik, tapi telinganya mendengar obrolan kedua temannya tanpa ada yang terlewat. Arabella Levina Susanto, cewek yang menjadi most wanted hampir semua cowok di sekolah ini. Sayang, hingga detik ini tak satu cowok pun berhasil mendapatkannya.
Iago jelas tahu siapa cewek itu, tapi dia tidak pernah—dan tidak berniat—memperhatikannya. Sampai kejadian di festival musik SMA Nusantara tempo hari. Iago meyakini Ara mendengar semua obrolannya dengan Papi di telepon.
“Sialan,” desis Iago tertahan. Itu akibat kecerobohannya sendiri. Iago tidak memperkirakan ada orang di sekitar situ, sebab semua berkumpul di depan panggung.
Memantau berita yang setiap hari beredar, sepertinya cewek itu memang tidak mempublikasikan apa-apa—atau mungkin belum. Atau bisa jadi cewek itu memang tidak mendengar apa-apa.
Iago membuang napas kasar. Dia tak mau tahu, apa pun alasannya, jangan sampai apa yang didengar cewek itu terungkap ke publik.
Tak berselang lama bel istirahat berbunyi. Pak Huda menyuruh mereka semua meletakkan peralatan praktik dan keluar dari lab untuk beristirahat terlebih dahulu.
“Kalian duluan aja, biar gue yang beresin,” kata Iago pada Brian dan Hendra.
“Wah, ternyata Prince kita ini pengertian banget,” Hendra menepuk-nepuk pundak Iago, “besok gue traktir lo siomay di kantin.”
Brian menempeleng Hendra, lalu berseloroh, “Lo yakin mau traktir anak juragan tanah?”
“Oh, iya. Gue lupa.” Hendra terbahak. “Gue sama Brian duluan ya.”
Setelah keduanya berlalu, Iago mulai membereskan peralatan praktik mereka. Memasukkan pipet-pipet ke dalam satu wadah serta mengembalikan kertas lakmus ke tempatnya. Iago masih hendak melepaskan jubah lab miliknya ketika suara tawa riang seorang cewek menggedor-gedor gendang telinganya.
Iago mengorek telinganya dengan kelingking. Berhubung meja praktiknya berada di dekat jendela, dia bisa mendengar obrolan yang terjadi di luar. Terselip di antara suara-suara yang lain, Iago mendengar suara cewek itu.
Arabella.
Didorong oleh rasa penasaran, Iago akhirnya menyibakkan tirai, mengintip melalui sela-sela kain berwarna hijau pastel. Dia melihat Ara tengah tertawa-tawa bersama Hendra dan yang lainnya. Matanya menyipit ketika tertawa. Cara cewek itu menggerakkan tangan untuk membetulkan poni atau menguncir rambutnya tanpa sadar telah membuat Iago tertegun.
Sebuah ide mendadak berkelebat di kepala Iago—ide yang mungkin saja bisa menyelamatkannya dari pusaran masalahnya dengan Papi. “Tapi kira-kira, gue bisa minta tolong sama lo nggak, Ra?” bisiknya.
Sayangnya, ketika mengingat bila semua pertemuannya dengan Ara tidak berjalan dengan baik, Iago hanya bisa meringis dan menutup tirai dengan gerakan pasrah.
*
Lapangan futsal sepi, tapi Iago tahu jika seseorang yang dicarinya ada di sana.
“Dan,” panggil Iago.
Ketiga cowok yang tengah duduk bersila di tepi lapangan sontak menoleh ke arahnya.
“Wah, ada angin apa nih sampai lo mau gabung sama tim futsal gue?” balas cowok bertubuh jangkung yang perawakannya sebelas-dua belas dengan Iago.
Iago nyengir. “Gue cuma mau tanya sesuatu sama lo.”
Kening lawan bicaranya berkerut dalam. “Hm....”
“Bukan hal penting,” imbuh Iago.
“Oke.” Lalu cowok itu menoleh pada kedua temannya, “Lo berdua cabut duluan deh, gue ada urusan sama Prince.”
Tanpa bertanya atau pun basa-basi, kedua cowok yang juga merupakan anggota tim futsal tersebut langsung meninggalkan lapangan.
“Lo butuh informasi apa dari gue?”
Iago berdeham untuk membersihkan gumpalan di tenggorokannya. Sejenak keraguan menghampirinya, membuatnya mempertimbangkan kembali tujuannya kemari menemui Daniel.
“Woy! Malah bengong?!”
Iago sontak terlepas dari keragu-raguannya. “Lo dulu pernah naksir sama Ara, kan?” balas Iago dengan nada bicara setenang mungkin, langsung menuju topik pembicaraan.
“Ara? Maksud lo Arabella?”
Iago mengangguk.
Bukannya menjawab, Daniel malah menyeringai. “Naksir beneran sih nggak,” jawabnya pada akhirnya. “Tuh cewek cuma pantes buat dipamerin.” Daniel menyeringai lagi. “Cuma sayangnya gue ditolak.”
Mendengar jawaban Daniel, dada Iago bergemuruh. Meski tahu Daniel bukan cowok baik-baik, Iago tidak pernah menyangka bila Daniel rupanya sebrengsek itu.
“Kenapa emangnya? Lo naksir Ara juga?” korek Daniel, ekspresinya jelas-jelas ingin tahu.
Iago tersenyum miring, kemudian menggeleng kecil.
“Jangan bilang kalau lo masih belum bisa move on dari—”
“Gue bahkan udah lupa kalau gue pernah punya hubungan sama dia,” potong Iago. Benaknya secara otomatis bergerak mundur dan berhenti pada kejadian hari itu. Hari di mana Iago akhirnya tahu, jika seseorang yang dianggapnya teman dan seseorang yang berstatus sebagai pacarnya, bersekutu untuk bermain di belakangnya.
“Hahaha!” Daniel terbahak. “Iago.... Iago.... Lo sendiri tahu kalau dia juga bukan cewek baik-baik. Dia cuma akan menginjak perahu yang lebih besar, yang lebih aman buat dia.”
Iago tak merespons walau hatinya tak menyangkal perkataan Daniel.
“Buktinya apa? Dia sekarang ngejar-ngejar lo lagi, kan? Karena dia butuh lo—”
“Gue ke sini buat cari informasi soal Ara, bukan soal dia!” bentak Iago emosi. “Terus kalau lo pengin tahu seperti apa perasaan gue ke dia,” Iago menarik napas panjang lalu mengembuskannya dengan cepat, “gue sama sekali nggak ada rasa apa-apa, termasuk rasa benci. Mau dia mohon-mohon sampai sujud dan cium sepatu gue, nggak bakal ada efeknya buat gue. Karena ... gue udah mati rasa.”
Penjelasan panjang lebar dari Iago membuat Daniel tertegun. Mungkin Iago yang cenderung penyendiri terkesan mudah dibodohi, akan tetapi sekalinya tercacati, itu akan terus membekas sampai kapan pun.
Daniel menghela napas dan memasukkan masing-masing tangannya ke dalam saku celana. “Oke, lalu soal Ara—”
“Beri tahu gue apa pun yang lo tahu soal Ara,” sela Iago tak sabaran.
“Bokapnya kepala marketing sebuah bank swasta dan nyokapnya editor senior di salah satu penerbit. Dia punya kakak kembar cowok, semuanya masih kuliah. Ke mana-mana Ara selalu sama sahabatnya, Vika dan Monic. Makanan kesukaannya siomay dan bakso, terus dia suka minum es jeruk tapi esnya dikit doang.”
Iago mendengarkan dengan saksama, menanti informasi yang dia butuhkan. Akan tetapi Daniel malah berhenti berbicara. “Terus?”
Sebelah alis Daniel terangkat.
“Gue nggak terlalu butuh biodata Ara, yang gue butuhin itu informasi soal kenapa sampai sekarang dia nggak pernah pacaran.”
“Soal itu gue juga nggak tahu. Gue aja ditolak.”
Iago diam, mencoba memahami situasi Daniel yang juga merupakan korban penolakan Ara. “Kalau soal dia keluar dari tim cheer, lo tahu nggak kenapa?”
Sebuah senyum datar tersungging di wajah cowok berkulit sawo matang tersebut. “Oh, soal itu...” ucap Daniel menggantung. “Gue rasa Lisa yang lebih tahu jelasnya.”
Pertanyaan demi pertanyaan masih berputar-putar di benak Iago. Dan sepertinya Daniel juga tidak memiliki informasi yang dibutuhkan.
“Oke. Thanks atas infonya.” Iago menepuk ringan bahu Daniel sebelum akhirnya berlalu meninggalkan lapangan futsal.
Namun baru beberapa langkah, Daniel membuka suaranya. “Kenapa lo cari gue? Orang lain lebih banyak tahu soal Ara daripada gue. Gue juga yakin mereka nggak keberatan berbagi info soal Ara ke lo.”
Langkah Iago terhenti. Selama ini dirinya diberitakan sebagai sosok penyendiri, tapi sebetulnya dia memiliki seseorang yang dianggapnya sebagai ‘teman’. Hubungan mereka tidaklah sedekat sahabat, akan tetapi juga tidak bisa dibilang hanya kenalan biasa. Mereka tidak pernah terlihat bersama, mereka juga hanya berbicara seperlunya. Satu-satunya alasan yang membuat mereka layak disebut teman adalah karena mereka sama-sama mengetahui rahasia masing-masing.
“Gue rasa gue lebih percaya sama temen gue daripada orang lain,” balas Iago setelah cukup lama bergelut dengan pikirannya sendiri. “Oh ya,” Iago menoleh dan menatap Daniel serius, “soal Ara, gue minta lo jangan sekali pun berurusan sama dia. Banyak cewek lain yang dengan senang hati jadi barang pameran lo.”
*