Rasa kesal di dada Ara masih utuh. Pertemuan absurdnya dengan Iago tadi sukses merusak suasana hatinya—atau lebih tepatnya membuat suasana hati Ara bertambah buruk.
Sejak kejadian di festival musik tempo hari, rasa-rasanya Ara terus bersinggungan dengan Iago. Padahal sebelumnya, dia sama sekali tidak pernah berhubungan dengan cowok itu. Sebuah helaan napas panjang lolos dari bibir Ara, firasatnya mengatakan jika ini bukan pertanda bagus.
Ara tidak pernah tahu seberapa besar peruntungannya mengenai cowok. Hanya saja saat ini dia harus fokus mencari si ‘cowok kekurangan cinta’, bukannya malah berurusan dengan cowok sinting yang dengan seenak jidat menuduhnya menguping.
Apa mungkin gue emang kena azab gara-gara keseringan nolak cowok, ya?! tanya Ara dalam hati. Namun detik berikutnya Ara segera menepis pemikiran absurd tersebut dan mencoba fokus pada pelajaran yang tengah berlangsung. Bisa gawat jika Pak Waluyo memergokinya sedang melamun.
Lima menit lagi bel istirahat pertama berbunyi. Di tempat duduknya, Ara mulai terlihat gusar. Materi sosiologi yang diterangkan oleh Pak Waluyo sama sekali tidak mengendap di kepalanya. Untung saja guru senior berambut jarang itu sedang tidak mengadakan sesi tanya jawab.
“Mon, gue harus gimana nanti pas PDKT sama Alan?” bisik Ara pada Monic yang duduk di sebelahnya. Ini tak ada bedanya dengan menjilat ludah sendiri. Alan yang pernah ditolaknya, kini harus dikejarnya.
Monic membetulkan kacamatanya. “Natural aja. Seringnya kalau istirahat pertama Alan kan main basket tuh, nanti waktu mau ke kantin kita muter lewat lapangan basket.”
“Terus?”
“Ya lo sapa dia. Coba minta maaf dulu, lo dulu pernah nolak dia mentah-mentah di depan orang banyak, kan?”
Ara menggigit bagian dalam pipinya. Kejadian itu kira-kira sudah hampir setahun yang lalu, saat mereka masih sama-sama duduk di kelas 10 dan menjadi teman sekelas. Waktu itu tim basket dari kelas mereka, 10-D baru saja menang melawan tim dari kelas 10-A. Sebagai bintang lapangan, Alan dengan percaya diri mengutarakan perasaannya pada Ara. Sedangkan Ara yang tidak siap langsung menolaknya dengan mengatakan kalau dia menyukai cowok lain.
Padahal itu jelas-jelas bohong. Seumur-umur Ara belum pernah menyukai cowok mana pun yang membuatnya harus menolak perasaan Alan.
Tiba-tiba Vika yang duduk di depan Monic menoleh. “Lo santai aja. Kami berdua nanti bakal temenin lo kok,” katanya dengan suara pelan.
Bel istirahat akhirnya berbunyi. Pak Waluyo menyudahi pelajaran dan langsung keluar kelas. Dion yang duduk di depan Ara ikut-ikutan menoleh ke belakang. “Kalian mau nonton basket?” tanyanya polos.
“Dih, nguping aja kerjaan lo,” cibir Monic.
“Gunanya kuping emang buat dengerin, kan?”
“Dan kadang-kadang buat diginiin,” ucap Vika sambil menjewer Dion. “Kami bertiga ada urusan. Kalau mau ke kantin, lo duluan aja.”
“Yah, Beb.... Gue makan sendiri dong?”
Vika mengelus-elus kepala Dion. “Nanti pasti gue susulin, Sayang....”
Ara dan Monic saling bertukar pandang dengan ekspresi jijik.
“Lebay sumpah,” ejek Ara.
Tak menanggapi, Vika langsung berdiri dari kursinya. Dia menarik tangan Ara dan menyeretnya keluar kelas, mengabaikan ekspresi bingung Dion. “Inget, kalau misalnya Alan PDKT lagi sama lo jangan ditolak, biarin aja,” bisiknya memberi arahan.
Ara mengangguk.
Ketiga cewek itu berhenti di pinggir lapangan basket, celingukan mencari sosok Alan. Benar saja, cowok berambut jabrik dengan tinggi badan di atas rata-rata itu tengah mendribel bola dan bersiap melemparkannya ke arah ring. Ketika melihat Ara, cowok itu langsung mengurungkan niatnya. Dengan masih memegang bola basket, Alan berlarian kecil menghampiri Ara.
“H-hai,” sapa Ara canggung tanpa berani memandang Alan yang kini sudah berdiri di hadapannya.
“Lo cari gue?” tanya Alan dengan senyum lebar—penuh harap.
“Errr.... Gue kebetulan lewat aja.” Ara menoleh kikuk pada Monic dan Vika. “Um, kami mau ke kantin,” lanjutnya.
“Gue boleh gabung?”
“Tapi kan lo baru aja main,” balas Ara.
“Iya tuh, keringetan aja belum,” timpal Vika.
Alan terkekeh. “Kalau disuruh milih antara main basket atau nemenin Ara makan, gue milih nemenin dia makan lah,” ucapnya percaya diri.
“Cieee...” seru Monic dan Vika bebarengan.
Vika mendorong Ara hingga menabrak Alan. “Udah, sana.... Kapan lagi bisa makan bareng sama kapten tim basket?”
“Kalau gitu kami berdua duluan ya. Dadaaah....” Monic menarik paksa lengan Vika dan mengajaknya berlalu.
Ditinggal begitu saja oleh Vika dan Monic, Ara tentu saja kelimpungan. Namun demi memperjuangkan hidupnya, dia harus bisa. Kedua sahabatnya sudah membantu, kini gilirannya berusaha sendiri.
“Lo mau makan apa?” Alan menanyai Ara ketika mereka sudah berada di kantin.
“Siomay aja deh.”
“Minumnya?”
“Es jeruk, tapi esnya dikit aja.”
“Oke, bentar gue pesenin.”
Tak lama kemudian Alan sudah kembali duduk di hadapannya. Tanpa perlu bertanya pun, Ara sudah tahu jika Alan menyimpan sebuah tanda tanya besar di kepalanya. Dan benar saja, cowok itu langsung menanyainya, “Lo ada perlu apa, Ra?”
Ara meremas jemarinya, gugup. “Jadi gini, sebenernya gue mau minta maaf karena pernah nolak lo dan bohong sama lo. Gue tahu kejadiannya udah lama—”
“Lo bohongin gue?” Alan menyipit pada Ara.
Ara tak punya pilihan selain mengangguk. “Sebenarnya waktu itu gue nggak lagi suka sama siapa-siapa. Masalahnya lo nembak gue di depan orang banyak. Gue kaget dan nggak siap.”
Alan menyimak.
“Jadi gue minta maaf ya.”
Lawan bicaranya tak langsung membalas, mungkin masih berpikir. Baru setelah beberapa saat, Alan mulai membuka omongan, “Jujur gue malu banget waktu itu dan gue sempat benci sama lo. Gue kecewa berat, Ra. Tapi lama-lama gue sadar kalau perasaan kan nggak bisa dipaksain.” Alan tersenyum miring. “Gue aja yang ke-pede-an. Percaya banget lo bakalan nerima gue.”
Mendengar itu, rasa bersalah yang sudah sekian lama Ara abaikan muncul lagi ke permukaan. Sungguh, dia tidak punya niat untuk mempermalukan Alan. “Gue harus gimana buat nebus kesalahan gue? Gue ngerasa berdosa, nggak enak banget pokoknya.”
Obrolan mereka disela oleh Budhe Yati yang mengantarkan pesanan. Wanita bertubuh tambun itu senyum-senyum kepada Ara. “Kok tumben sama cowok?”
“Ada urusan, Budhe,” jawab Ara seraya memutar mata, sebal dengan Budhe Yati yang terkesan ingin tahu.
Untung saja Budhe Yati tidak bertanya lebih lanjut, melainkan hanya manggut-manggut sebelum akhirnya kembali melakukan pekerjaannya.
“Rabu sore lo ada waktu?” tanya Alan.
“Gue anak IPS, Al. Nggak sesibuk lo yang anak IPA.” Ara coba berseloroh untuk mencairkan suasana.
“Anak IPA nggak segitunya juga kali, Ra.” Alan terkekeh. “Jadi gimana, lo ada waktu?”
“Yup!”
“Hari Rabu gue ada pertandingan three on three di SMA Dharma Bhakti, lo mau nonton gue main?”
Ara masih memikirkannya saat Alan buru-buru menambahkan, “Gue nggak maksa kok. Gue cuma ... yah, pengin aja ditonton sama lo.”
Sampai di sini Ara mulai goyah. Hanya saja seperti kata Vika tadi, kalau memang Alan berniat mendekatinya lagi, dia tidak boleh mengeraskan hati. Ara harus membiarkan Alan mendekat. Setelah mereka dekat nanti, barulah perasaan yang dimilikinya akan jelas.
Entah itu akhirnya cinta atau malah benci, yang pasti mereka harus dekat terlebih dahulu.
“Gue mau kok nemenin lo. Sejak keluar dari tim cheer, gue nyaris nggak pernah nonton basket,” ucap Ara setelah cukup lama bergelut dengan pikirannya sendiri.
Keputusan Ara untuk keluar dari tim cheer memang mengejutkan banyak orang, tak terkecuali Alan. Apa pun alasannya, keputusan Ara yang sangat tiba-tiba itu dinilai sangat konyol—tidak masuk akal. Tim cheer telah memberi Ara kepopuleran yang selalu diidamkan oleh cewek-cewek seusianya.
Alan menggeleng pelan sebelum akhirnya menatap Ara, berharap menemukan jawaban pada kedua bola mata yang kini berbinar penuh keraguan. “Lo kenapa keluar? Kan lo digadang-gadang bakal gantiin Kak Lisa sebagai ketua tim.”
Senyum datar tersungging di wajah Ara. “Gue susah bagi waktu antara kegiatan OSIS sama cheer. Jadi mau nggak mau gue harus ngorbanin salah satu. Biar hidup gue nggak sibuk-sibuk amat.” Itu yang selalu dikatakan Ara ketika ada yang bertanya mengenai alasan kenapa dia keluar dari tim cheer. Rasa enggan langsung mengambil alih, membahas soal itu, rasanya seperti mengorek luka yang sedang berusaha untuk diabaikannya. “Hari Rabu, gue bakal nonton lo,” putus Ara kemudian menyendok siomay-nya dan mulai makan.
Kalimat terakhir Ara disambut Alan dengan sukacita. “Gue jemput lo—”
Ara refleks menolaknya dengan gerakan tangan. Namun, ketika ingat bila dia harus membiarkan Alan mendekat, Ara buru-buru mengangguk. “Oke. Gue tunggu. Nanti gue share loc rumah gue. Nomor WA lo tetep, kan?”
Alan mengangguk, lalu meraih jemari Ara. “Thanks.”
Untuk kali ini Ara hanya membalasnya dengan anggukan kecil.
*
Jam kosong—menjelang istirahat kedua pula!
Bu Eli, guru sejarah yang terkenal judes dan pilih kasih tersebut berhalangan hadir dikarenakan sakit. Otomatis itu menjadi angin segar bagi para siswa yang sedari pagi otaknya sudah bekerja keras.
Meski ini adalah jam kosong, para siswa tidak diperbolehkan untuk berkeliaran di luar kelas, apalagi jajan di kantin. Alhasil para siswa memanfaatkannya untuk tidur ayam, menonton drama, main game, dan mengobrol. Pokoknya tidak boleh berisik hingga mengganggu kelas tetangga—kurang lebih begitu peraturannya.
Di pojok belakang kanan ruang kelas, Vika dan Monic begitu antusias mendengarkan Ara yang bercerita mengenai pertemuannya dengan Alan tadi.
“Sejauh ini perasaan lo ke Alan gimana, Ra?” korek Vika.
Ara mengetuk-ngetukkan telunjuk ke dagunya. “Hm, biasa aja sih. Malahan rasa bersalah gue ke dia yang makin gede.”
“Lo itu nggak salah, Ra. Cara lo nolak dia aja yang kurang elit,” anggap Vika.
Monic menangkup wajah Ara dengan kedua tangannya. “Fokus, Ra.... Fokus! Lo nggak perlu nengok ke belakang. Tujuan lo sekarang adalah cari cowok itu, jadi jangan mikir yang lainnya. Tapi Alan nggak benci atau dendam gitu kan sama lo?”
Ara menggeleng cepat.
“Bagus!” Vika bertepuk tangan kecil. “Semangat, Ra! Lo pasti bisa!” lanjutnya mencoba menyemangati Ara. “Pokoknya jangan sampai lo mati, Ra....”
Terus terang disemangati seperti ini membuat Ara menjadi optimis. Ara melirik bergantian kedua sahabatnya. Untuk pertama kalinya sejak dia menceritakan mengenai ramalan itu, Vika tampak begitu cemas. Mata sahabatnya itu sampai berkaca-kaca. Berbeda dengan Monic yang selalu berekspresi sesuai dengan perubahan suasana hatinya. Vika itu kebalikannya. Sikap antusiasnya selama ini mungkin hanya sekadar kedok untuk menutupi kekhawatirannya.
“Udah, nggak usah mewek!” Ara mencubit pipi Vika. “Gue nggak bakalan mati. Lagian kalau gue mati, lo bakalan tidur di mana kalau dikunciin sama nyokap lo?”
“Hehe.”
“Tapi, gimana gue bisa tahu cowok seperti apa yang sedang gue cari?” Nada bicara Ara terdengar ragu-ragu. “Ada petunjuknya nggak sih? Sesuatu yang membedakan ‘cowok kekurangan cinta’ itu dengan cowok normal?”
“Lo bakalan kena sial kalau dekat dengan cowok yang salah,” ceplos Vika cepat.
Mata Ara menyipit.
“Biasanya nih ya, kalau udah menyangkut ramal-meramal kayak gini, kesialan juga turut nyamperin lo,” imbuh Vika menjelaskan.
“Kok bisa gitu, Vi?” tanya Monic yang juga kelihatan bingung.
“Kan di film-film seringnya gitu, hehe.”
“Kampret!” umpat Ara dan Monic bersamaan.
“Gue tanya beneran, Vi,” lanjut Ara.
Vika yang diserang kedua sahabatnya segera mencari kalimat yang tepat untuk menerangkan. “Kata peramal itu selama ini lo menerima terlalu banyak cinta, kan? Nah, karena semesta ini menginginkan keseimbangan di sisa waktu lo yang tinggal sembilan puluh hari—”
“Nggak sampai sembilan puluh hari, Vi,” potong Ara mengingatkan.
“Iya, maksud gue di sisa waktu yang lo punya,” koreksi Vika menurut. “Jadi mestinya cinta yang selama ini lo terima sedikit demi sedikit mulai berbalik menjadi kesialan,” terang Vika yang seketika membuat Ara bergidik.
Kesialan?
Ara menggigit bagian dalam pipinya. Kesialan apa yang bakal gue terima?
“Hm, masuk akal,” gumam Monic. Raut wajahnya tidak terlihat yakin, tapi kepala cewek itu menganguk-angguk, seperti mengamini apa yang Vika katakan. “Coba deh, Ra, lo inget-inget, setelah lo diramal sama Madam Maris, ada kesialan yang nyamperin lo nggak?”
Ingatan Ara otomatis kembali ke malam itu. Festival musik dan ... Iago! Sial, rupanya tanpa Ara sadari kesialan itu sudah menghampirinya tak lama setelah dia meninggalkan stan Madam Maris—bahkan kesialan itu sudah menyapanya di saat dia belum menceritakan apa pun kepada Vika dan Monic.
Namun Ara menggeleng pelan. “Nggak. Gue belum pernah sial sekali pun,” pungkasnya, mengingkari sesuatu yang sudah terjadi.
*